Oleh Satu Cahaya Langit. Bulan Ramadan telah tiba. Umat muslim di seluruh dunia bersuka cita merayakan dan berpuasa bersama. Tidak terkecuali teman-teman mahasiswa Indonesia di Swedia sini. Berpuasa di salah satu negara paling utara memberikan keunikan tersendiri. Misalnya saja, durasi puasanya tujuh jam lebih lama daripada berpuasa di Indonesia. Kemudian suasana yang tidak semeriah puasa di tanah air. Susah enggak sih, berpuasa 20 jam?
Awalnya saya mengira puasa 20 jam itu akan sulit sekali. Terutama bagi saya yang orangnya suka minum dan mudah haus. Walaupun kedengarannya Swedia itu negeri yang dingin, tapi pada musim panas suhunya bisa mencapai 30 derajat Celsius, hampir sama dengan suhu di Jakarta. Setelah menjalaninya, ternyata tidak sesulit yang dibayangkan. Malahan, tantangan terbesarnya bukan dari lapar atau hausnya, melainkan rasa segan dan awkward jika berada di pertemuan bersama orang bule dan semuanya makan. Cobaan lainnya mungkin ketika melihat unggahan foto makanan di sosial media oleh teman di Indoneia. Sedangkan 20 jam puasanya? Terasa sama saja dengan puasa 14 jam di Indonesia.
Dinamisnya waktu puasa di Swedia
Tapi durasi 20 jam itu hanya berlaku di bagian selatan Swedia. Puasa itu kan: tidak makan dari matahari terbit hingga matahari terbenam, nah di Swedia bagian utara ada fenomena musim panas yang dinamakan midnight sun, atau matahari yang tidak pernah terbenam. Puasa di bagian sana tentunya akan lebih dari 20 jam. Memang selalu ada yang bisa kita syukuri ya – (berpuasa “hanya” 20 jam).
Yang kita bahas 20 jam ini adalah ketika bulan Ramadan jatuh pada musim panas. Di mana siangnya jauh lebih panjang daripada malam. Bagaimana ketika musim dingin yang malamnya lebih banyak daripada siang? Tentu saja puasanya jadi lebih cepat. Pada musim dingin matahari baru terbit pada pukul delapan dan sudah terbenam lagi di pukul tiga sore. Saya selalu bilang pada teman saya: hanya seperti makan siang yang terlambat.
Yang berbeda dari puasa di Indonesia
Selain durasinya, suasana Ramadan di Swedia juga terasa sangat berbeda. Jika di Indonesia suasana bulan penuh berkah ini akan terasa begitu kental, di sini justru kebalikannya. Orang di jalan makan-minum seperti biasa, tidak ada pulang kantor lebih cepat, tidak ada break buka puasa, dan yang paling saya rindukan: tidak ada jajanan buka puasa. Jajanan yang di Indonesia selalu diramaikan aneka jajanan lezat. Tapi ketiadaan jajanan itu menjadi pelajaran juga bagi saya; jangan-jangan memang tidak baik jajan berlebihan seperti yang selalu kita lakukan ketika menjelang buka puasa?
Berpuasa sambil bertualang
Ketika bulan Ramadan datang di musim panas, artinya berbarengan dengan musim libur. Beberapa mahasiswa yang tidak pulang kampung biasanya berwisata ke kota dan negara sekitar. Apa kuat berwisata sambil puasa 20 jam? Yang ini pasti lebih sulit daripada jika kita tidak ke mana-mana. Tapi tidak sampai membuat kita buka puasa di jalan atau membatalkan puasa. Alias masih bisa diakali. Misalnya dengan makanan yang baik (biasanya ketika berwisata, kita tidak terlalu memperhatikan makanan), kalau saya suka minum madu, makan buah, dan makanan berserat.
Kegiatan bersama di bulan Ramadan
Walaupun jumlah muslim di Swedia tidak banyak, kegiatan bersama tetap diadakan di berbagai komunitas. Sebut saja di masjid, yang walaupun jumlahnya sedikit, tetap mengadakan buka puasa bersama dan juga ceramah keagamaan sebelum waktu buka puasa. PPI kota-kota di Swedia pun berkumpul untuk buka bersama. Di Stockholm malah juga ada program mengaji bersama one day one juz. Masyarakat Indonesia yang sudah menetap di Swedia juga umumnya mengadakan kegiatan serupa. Jadi tidak akan terasa sepi.
Jadi buat kamu yang tahun ini baru akan datang untuk kuliah di Swedia dan khawatir akan puasa di sini, sekarang sudah tahu kan kalau puasanya gampang kok. Malah memberi pengalaman berharga. Kapan lagi kan, puasa 20 jam, iya nggak?