Memulai kembali duduk di bangku sekolah setelah bertahun-tahun meninggalkannya tentu bukan hal yang mudah. Itu yang saya rasakan ketika memasuki kelas pertama saya dan memulai hari-hari sebagai mahasiswa S2. Sebenarnya selama bekerja pun saya terkadang masih duduk di kelas, karena pernahbeberapa kali saya mendapatkan training formal yang menuntut untuk berada di kelas dari pagi hingga sore. Namun mengikuti kelas sebagai seorang mahasiswa tentu berbeda rasanya. Bagi saya yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak menjadi mahasiswa, banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Saya juga harus menyesuaikan diri ketika memulai kembali hidup baru di Swedia. Apalagi pekerjaan saya bukan di bidang akademik ataupun riset, sehingga cukup berat awalnya bagi saya untuk memproses hal-hal yang saat ini menjadi tanggung jawab saya sebagai mahasiswa.
Oleh karena itu, dalam post ini saya akan membagikan beberapa tips, berdasarkan pengalaman saya sebagai seseorang yang mengambil S2 di Swedia setelah bertahun-tahun lulus dari S1, yang bisa kalian gunakan untuk mempersiapkan mental sebelum memulai kembali masa-masa kuliah.
Pertama: Bersiap merubah rutinitas menjadi duduk di kelas dan belajar mandiri di luar kelas
Terbiasa dengan rutinitas berangkat pagi dan pulang sore menjelang malam setiap harinya, menghadapi email, berdiskusi dengan tim dan mengikuti rapat, membuat saya cukup merasakan culture shock waktu pertama kali menerima jadwal kuliah untuk periode pertama. Ketika itu saya hanya perlu mengikuti satu mata kuliah saja selama dua bulan awal, dan kelasnya tidak selalu ada setiap hari. Kalau hanya melihat jadwal, saya membayangkan punya banyak waktu luang di sela-sela kelas. Tapi kenyataannya, selain kelas, kami dituntut untuk belajar mandiri di luar kelas. Membaca buku referensi dan jurnal menjadi salah satu yang harus saya lakukan di sela-sela kelas agar tidak ketinggalan dan mampu mengikuti diskusi yang dilakukan saat seminar.
Kedua: Bersiap membaca banyak jurnal dan menulis paper tentangnya
Buat saya, hal ini menjadi tantangan yang cukup berat untuk dilakukan. Apalagi ketika S1 pun saya hanya ‘terpaksa’ banyak membaca jurnal saat melakukan skripsi. Tapi di Swedia, saya dituntut untuk membaca tiga sampai lima jurnal setiap minggunya untuk kemudian mendiskusikan hasil pemahaman saya dengan teman-teman lainnya di kelas seminar yang sifatnya wajib. Terkadang ada juga yang meminta hasil dari membaca tersebut dituangkan dalam bentuk tulisan, contohnya paper sebanyak 500 kata, atau paper sepanjang 2 halaman. Dan tulisan-tulisan tersebut harus dibuat dengan kata-kata saya sendiri, berdasarkan pengertian dan pendapat saya, serta mencantumkan referensi yang digunakan. Selama bekerja, saya hanya terbiasa untuk menulis email dan membuat report singkat. Karena itu, membuat tulisan berdasarkan hasil membaca jurnal, yang pastinya tidak sama dengan membaca buku fiksi, bukanlah hal yang mudah awalnya.
Perlu diketahui juga bahwa di Swedia, plagiat itu hal yang dilarang keras dan pelanggaran terkait plagiat akan ditindak dengan serius oleh universitas. Hal ini selalu disampaikan di berbagai kesempatan kelas jadi jangan coba-coba untuk melakukan plagiat ketika kalian nanti melanjutkan kuliah di Swedia!
Ketiga: Ingat, energimu ada batasnya!
Memiliki teman-teman sekelas yang berumur 20-an terkadang membuat saya minder, karena mereka memiliki semangat serta energi yang besar di kelas. Tetapi kalau saya coba ingat kembali, saya pun memiliki passion dan semangat yang sama ketika masih seusia mereka. Ini yang membuat saya sadar untuk tidak membandingkan diri dengan mereka. Bukan berarti saya jadi tidak semangat ya, hehe, tapi justru saya jadikan motivasi untuk bisa melakukan yang terbaik di kelas dengan cara dan standard saya sendiri, karena kita yang paling tahu batasan diri kita sendiri seperti apa. Don’t forget to be kind to yourself!
Keempat: Bagi waktu dan tanggung jawab dengan baik
Dengan angka umur yang tidak kecil lagi, tentu tanggung jawab yang kita miliki jadi lebih banyak dibandingkan saat kita masih lebih muda. Tanggung jawab kepada keluarga, tuntutan sosial, bahkan mungkin dengan tempat kerja yang kita tinggalkan, menjadikan kuliah bukan menjadi satu-satunya prioritas kita. Sehingga saya merasa penting sekali untuk memikirkan kembali tujuan utama kita berkuliah di Swedia apa, dan bagilah waktu dengan bijak sesuai tujuan dan prioritas yang sudah kita tetapkan. Tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti semua kegiatan yang ditawarkan ataupun mengejar target di luar batas kalian. Yang penting adalah, bisa fokus dengan tujuan awal kalian dan tetap memenuhi tanggung jawab yang dituntut terhadap kalian.
Kelima: Be OPEN-minded!
Tips kelima ini adalah tips penutup yang menurut saya paling penting untuk kalian persiapkan. Pengalaman hidup yang lebih beragam dibanding teman-teman sekelas yang kebanyakan lebih muda dari saya, tidak membuat saya menjadi lebih pintar atau lebih tahu di kelas. Bahkan dosen di course pertama saya menekankan bahwa dia bisa saja tidak tahu atau salah, dan kami sebagai mahasiswanya boleh menambahkan, mengoreksi, ataupun mendebatkan apa yang beliau sampaikan di kelas. Sehingga, dari awal saya berusaha untuk selalu terbuka dengan pengalaman ataupun pendapat yang disampaikan di dalam kelas, entah itu dari dosen ataupun dari teman-teman sekelas, apalagi program yang saya ambil termasuk program multi-disiplin. Saya pun harus terbuka dengan kritik atau saran yang dilontarkan oleh teman-teman ke saya. Dengan beragamnya latar belakang, budaya, dan pendidikan yang dimiliki saya dan teman-teman sekelas, penting sekali untuk berpikir terbuka supaya kita tidak baper. Jadikan pengetahuan dan informasi baru yang diterima sebagai bahan untuk berkembang dan menjadi kita yang lebih baik. Kapan lagi kan, kita bisa merasakan berada di lingkungan internasional dan keluar dari zona nyaman kita di Indonesia?
Terakhir, tidak ada yang salah kalau kalian merasa stress berat saat memulai hidup baru di Swedia. Pasti banyak sekali hal yang berubah, seperti rutinitas, lingkungan, cuaca, support system, dan hal-hal lainnya yang bisa membuat kalian tertekan dan mempertanyakan keberadaan kalian di sini. Mungkin juga kalian kesulitan mengikuti kuliah dan akibatnya stress karena takut tidak bisa mengejar ketertinggalan dengan teman-teman kelas lainnya. Jika kalian mengalami hal tersebut, jangan sungkan untuk menghubungi studenthälsan (student health) yang tersedia di seluruh universitas di Swedia. Mereka menyediakan counseling gratis untuk mahasiswa yang punya berbagai masalah mulai dari stress, speech anxiety, procrastinating sampai ke hal-hal yang lebih serius. Swedia adalah negara yang sangat mementingkan kesehatan mental, jadi gunakan fasilitas yang ada jika kalian merasa membutuhkan.
Begitulah sharing saya tentang menghadapi dunia perkuliahan bagi kalian yang sudah lama lulus dari kuliah S1 dan bukan bekerja di dunia akademik ataupun riset. Semoga tips-tips yang saya bagikan bisa memberikan gambaran tentang kuliah master di Swedia dari perspektif seorang ’saya’ dan bisa menjadi penyemangat kalian bersiap diri untuk melanjutkan kuliah di sini.
Disclaimer: Tulisan ini murni berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Lagi-lagi perbedaan latar belakang pekerjaan dan pendidikan di Indonesia, maupun perbedaan program dan universitas di Swedia bisa menjadikan tips-tips yang dibagi penulis kurang valid.
’Take what you need, and leave the rest’ 😊
Farah Hasanah
Master’s programme in Human-Computer Interaction, Uppsala University
Editor: Devi Anasava