Oleh Fida Amalia Fathima / Foto oleh Shubesh Aggarwal
Swedia, terutama kota-kota besarnya, adalah tempat yang kosmopolitan. Sebagai negara yang sangat ramah pada pendatang, pemandangan akan budaya yang bukan swedish adalah hal yang sangat wajar ditemui. Mulai dari budaya Asia Barat, negara-negara Balkan, Amerika Latin, sampai dengan Asia, terutama Thailand. Akan tetapi, representasi budaya Indonesia adalah hal yang sangat jarang ditemui. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang meneruskan studi ke Swedia mungkin mengamati hal yang sama dengan saya. Bahkan di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia adalah negara yang paling tidak terbersit di radar penduduk Swedia.
Maka dari itu, ketika tahun lalu sampai ke Uppsala, kami mahasiswa Indonesia bertekad untuk menyajikan apa yang kami bisa. Suatu acara tahunan di kota Uppsala, Kulturenas Karnival, adalah suatu titik awal yang menarik bagi kami. Kulturenas adalah suatu event yang diadakan pada akhir pekan di minggu terakhir bulan Mei di kota Uppsala sebagai ajang untuk menampilkan aspek-aspek dari budaya-budaya siapapun yang ingin berpartisipasi. Mulai dari kostum, tarian, penampilan musik, makanan, sampai dengan kerajinan semua disajikan selama 2 hari dan berpusat di Engelska Parken.
Wacana ini terus dihidupkan dan direnungi sejak tahun lalu, dikawal terutama oleh Jody. Tentu sebagai mahasiswa, kami tidak bisa mengerahkan terlalu banyak usaha, terlebih lagi perkenalan budaya Indonesia pada penduduk Uppsala lewat acara semacam ini sepertinya belum pernah dilakukan sebelumnya. Banyak diskusi kami lakukan terutama di pertemuan bulanan, kegiatan apa yang paling mungkin kami lakukan untuk berpartisipasi dalam acara ini? Akhirnya diputuskan bahwa kami akan ikut serta dalam karnaval mengenakan baju-baju adat Indonesia.
Kontak pun dilakukan ke KBRI Swedia, mencari tahu kira-kira bantuan apa yang bisa kami dapatkan. Syukurlah, ternyata kami bisa meminjam baju adat dan beberapa set alat musik angklung. Massa pun dihimpun, walau mungkin “massa” itu berlebihan, karena jumlah kami tidak lebih dari 30 orang.
Arlita yang berpengalaman melatih Tari Saman lalu mendapat tugas untuk mempersiapkan kami menampilkan tarian itu di titik-titik tertentu selama parade. Pada pengepasan kostum kami mencoba baju-baju adat yang tersedia, yang sungguh indah-indah dan semarak.
Pada hari acara, kami mulai berkumpul dari titik awal di Engelska Parken dan berbaris menyusuri jalan di pusat kota Uppsala. Melihat delegasi delegasi lain yang diiringi musik dan tarian, kami sempat berdiskusi cepat mencari ide supaya tidak kalah meriah. Kami semata hanya mahasiswa bukan pegiat seni tradisional, yang terbaik yang bisa kami lakukan adalah menyanyikan bersama beberapa lagu tradisional seperti “Ampar-ampar Pisang”, “O Ramko Rambe Yamko”, ditambah menggetarkan angklung dan melakukan langkah-langkah yang unik selama karnaval.
Walaupun cuaca mendung dan udara cukup dingin, jalanan begitu padat dengan penonton. Suasana pun sangat meriah dengan kostum-kostum dari berbagai penjuru dunia. Beberapa penonton karnaval mengajak foto bersama. Kami juga menyadari satu hal, bahwa ternyata sekedar berjalan-jalan sambil berusaha bernyanyi dan tetap ceria itu cukup melelahkan!
Untungnya Asa dan Michael selaku “kru panggung” selalu siap sedia mengawal dengan air minum dan cemilan. Di akhir karnaval, kami makan siang bersama di taman dengan makan siang yang disediakan Bu Jojo.
Setelah acara Indonesian International Lunch pada bulan yang sama, sungguh menyenangkan jika karnaval ini bisa memantik ketertarikan akan keberagaman budaya negeri kita terutama di Swedia. Sembari mencari-cari bentuk dan wadah yang tepat, partisipasi kami pada Kulturenas adalah bagian dari rangkaian kontribusi kecil kami dalam memperkenalkan keindahan Indonesia.