Siapa yang tidak mengenal IKEA, H&M, Volvo, dan Ericsson atau tidak pernah menggunakan Skype dan Spotify? Siapa yang tidak pernah mendengar Nobel Prize, tanda kehormatan akademik paling bergengsi di dunia? Yap, tentu kita akrab dengan brand-brand terkenal dan ajang penghargaan tersebut. Semuanya berasal dari Swedia. Tidak heran apabila rilis terbaru Global Innovation Index 2017 menyatakan Swedia sebagai negara paling inovatif kedua di dunia dan dijuluki sebagai Europe’s Hotbed of Innovation. Keberhasilan start-up dan inovasi di negara ini tentu mengundang rasa penasaran mengenai sistem pendidikan yang mereka terapkan sehingga melahirkan generasi yang berpikiran terbuka dan penuh dengan ide-ide segar. Tidak hanya itu, Swedia juga memiliki kebiasaan unik yang mewarnai pengaplikasian sistem perkuliahannya.
Hubungan informal mahasiswa-dosen
Academic culture shock yang lazim dialami mahasiswa internasional di Swedia adalah memanggil para dosen dengan nama pertama, tanpa diawali “Sir”, “Madam” atau bahkan tanpa gelar akademik seperti “Professor”. Hubungan mahasiswa-dosen yang terkesan tidak berjarak menciptakan atmosfer belajar yang santai dan interaktif sehingga mahasiswa tidak segan untuk berinteraksi secara langsung dengan dosen. Mahasiswa-dosen pun tidak harus selalu sependapat. Fleksibilitas dan keterbukaan pikiran ini menjadi salah satu faktor utama yang menjadikan mahasiswa Swedia cukup kritis dalam berpikir dam berani berpendapat.
Diskusi sebagai sumber pembelajaran utama
Di Swedia, aktivitas mendengarkan dosen dan mencatat cukup jarang. Perkuliahan didominasi dengan diskusi dalam berbagai skala, seperti per 4 orang, per 10 orang, hingga dalam satu forum besar. Diskusi pun tidak dijadikan sebagai ajang untuk mengutarakan pendapat siapa yang paling benar atau siapa yang lebih memahami suatu teori. Seorang dosen berpesan, “Kalian berasal dari berbagai latar belakang pendidikan S1 dan negara yang memiliki regulasi dan pengaplikasian ilmu yang berbeda-beda. Jadikan momen diskusi sebagai tempat kalian mengutarakan pendapat dari sudut pandang kalian sehingga bisa dikolaborasikan dan dikembangkan untuk kebermanfaatan global”. Proses pembelajaran berbasis diskusi dan student-centric seperti ini menghasilkan karakter yang kreatif dan forward-thinking, sehingga tidak heran apabila lulusan universitas-universitas di Swedia kerap inovatif dalam mendirikan start-up baru dan sangat diincar di dunia kerja.
Academic Quarter
Tradisi academic quarter sudah melekat di sebagian besar universitas di Swedia, yaitu kelas dimulai 15 menit setelah waktu yang ditentukan. Misalnya, jika di jadwal tertulis kuliah jam 08.00, maka kelas tersebut akan dimulai jam 08.15.
Tradisi ini berawal ketika pada zaman dahulu mahasiswa tidak memiliki jam dan menjadikan lonceng jam gereja sebagai acuan waktu mereka. Maka ketika lonceng berbunyi, mereka masih memiliki waktu 15 menit untuk sampai di kelas.
Teknologi memang semakin canggih dan semua mahasiswa membawa smartphone ke manapun mereka pergi, tetapi tradisi unik ini terus berjalan dan tetap dipertahankan.
Istirahat 15 menit
Di Indonesia, waktu yang diakomodasikan untuk perkuliahan digunakan semaksimal mungkin. Apabila kelas mata kuliah A berlangsung selama 90 menit, maka keseluruhan waktu tersebut akan digunakan untuk proses belajar-mengajar. Berbeda halnya dengan Swedia, durasi perkuliahan sudah termasuk istirahat 15 menit untuk setiap jamnya. Adanya istirahat di sela-sela kelas bukannya tanpa alasan. Dengan istirahat setiap jam, maka mahasiswa dan dosen memiliki kesempatan untuk mengistirahatkan pikiran sehingga kembali fokus dan siap memberikan/menerima ilmu. Tradisi khas Swedia, fika (minum kopi), juga dimanfaatkan selama 15 menit ini. Dari aspek kesehatan, mahasiswa juga bisa berdiri dan menggerakkan badan sejenak sehingga mengurangi resiko nyeri pinggang akibat duduk terlalu lama.
Masih banyak lagi serba-serbi pendidikan di Swedia yang memberikan atmosfer baru dan “angin segar” setiap harinya. Belajar di Swedia tidak hanya mengetahui dan menghapal teori, tetapi juga menjawab tantangan global. So, are you ready to come to Sweden and be an innovator and global change agent?
Oleh: Sekar Sedya Pangestika-Uppsala Master Programme in Biomedicine, Uppsala University