My English speaking was bad, and writing had always been difficult. However, throughout 6 months of ups and downs, I managed to learn tons of life changing experiences in the capital of Sweden: Stockholm.
Pergi melanjutkan studi ke Eropa merupakan mimpi bagi sebagian orang. Saya masih ingat di pertengahan tahun 2006 melalui Edensor, Andrea Hirata adalah orang pertama yang meletupkan mimpi di hati kecil saya. Namun, kenyataan bahwa akhirnya saya berada di Stockholm sekarang merupakan sebuah cerita yang panjang. Karena sejujurnya, Swedia bukanlah merupakan pilihan pertama yang saya ambil dulu.
But, I have never been so wrong.
—
Kegagalan demi kegagalan yang saya temui ketika mengajukan aplikasi ke berbagai program master di Eropa akhirnya berujung manis pada InnoEnergy Masterschool. Melalui program MSc SENSE (Master program in Smart Electrical Networks and Systems), saya diterima menjadi mahasiswa dengan beasiswa penuh di KTH Royal Institute of Technology. Sebuah fasilitas yang cukup untuk membuat saya berpikir ketika menginjakkan kaki di Bandara Arlanda untuk pertama kalinya: saya ingin menjadi sesibuk mungkin untuk mencari pengetahuan apapun yang dapat saya ambil disini.
Saya memulai awal semester dengan mendaftar sebagai anggota KTH Formula Student. Sebuah aktivitas kemahasiswaan dengan tujuan akhir membuat mobil listrik untuk dilombakan dalam ajang balapan dengan mobil listrik dari universitas-universitas lain (pernah dibahas disini). Selain itu, saya juga terlibat aktif pada kegiatan bermain Gamelan di Wisma Kedutaan Besar Republik Indonesia setiap Jumat petang. Saya juga menyusun, rencana daftar tempat-tempat yang akan saya datangi di setiap liburan; lengkap dengan perincian jumlah biaya beserta uang yang harus disisihkan setiap bulannya untuk menghidupkan mimpi saya menjadi backpacker keliling Eropa ala Edensor.
Awalnya, saya berekspektasi bahwa kegiatan perkuliahan bukanlah merupakan hal yang berat, sehingga saya dapat fokus kepada berbagai kegiatan sambil mengejar straight A’s pada kuliah. Selain itu, saya yang masih sangat naif saat itu bahkan juga berambisi untuk mengambil kerja part-time disela-sela waktu kuliah untuk menambah penghasilan. Kesimpulan ini saya ambil dari kenyataan bahwa saya merupakan sarjana lulusan sebuah institusi ternama di Indonesia dengan IPK yang cukup memuaskan.
Tapi kenyataannya ternyata tidak semudah itu, Ferguso.
Secara umum, materi kuliah yang saya dapatkan sewaktu menempuh studi sarjana dan master berangkat dari dasar keilmuan yang sama. Namun KTH membawa level pembelajaran ke tingkat pendalaman yang lebih tinggi. Peserta didik dituntut bukan hanya dapat menyelesaikan masalah dasar dengan menggunakan rumus-jadi, namun sampai ke tahap pengertian bahwa pemecahan sebuah masalah dapat datang dari berbagai macam pendekatan adalah hal yang biasa. Pada mata kuliah tertentu, syarat untuk lulus bukanlah hanya mendapatkan nilai minimum yang disyaratkan di ujian, namun juga kewajiban menyelesaikan tugas, projek, laboratorium dan seminar. Semua faktor ini membuat setiap peserta didik –atau setidaknya saya– harus melakukan kerja keras hanya untuk mendapatkan predikat “Pass” pada sebuah mata kuliah.
Keadaan ini membuat saya pontang-panting menyesuaikan diri. Saya, yang datang ke Swedia dengan ego dan hati setinggi langit perlahan berubah menjadi seonggok daging tanpa nyawa melihat padatnya perkuliahan dan tugas yang harus dikerjakan dalam satu semester. Harapan saya untuk melakukan part-time dan menjadi backpacker ala-ala untuk dipamerkan di Instagram pupus sudah. Perlahan saya sadari, bahwa melalui masa-masa sulit inilah ternyata banyak pembelajaran yang dapat saya ambil untuk dapat mentransformasikan diri untuk menjadi pribadi yang dewasa.
—
Pembelajaran utama yang saya dapatkan adalah tentang bagaimana menjadi humble dan menghargai seseorang.Tidak peduli seberapa pintar dan cemerlang anda di almamater dahulu, akan selalu ada langit diatas langit. Saya belajar, bahwa kesombongan ketika pertama kali datang kesini tidak akan membawa saya kemana-mana kecuali kegagalan. Pengalaman bahwa saya pernah mempelajari subjek yang sama dibangku kuliah ternyata tidak bisa dibandingkan dengan pengalaman orang lain yang telah lebih dahulu bekerja bidang tersebut. Tidak peduli seberapa bagus dan meyakinkan anda, akan selalu ada ruang untuk belajar dan berkembang.
Lebih jauh, saya juga belajar bahwa setiap orang memiliki spesialisasi dan perjuangannya masing-masing. Melalui Formula Student, saya belajar bahwa tidak ada seorang Super-man, yang ada hanyalah Super-team. Seseorang yang tidak dapat melakukan operasi matematis praktis bisa jadi merupakan orang yang sama yang mampu menjabarkan algoritma machine learning yang kompleks. Pada rekan-rekan saya sesama mahasiswa baru, saya melihat bahwa orang yang kehidupan akademiknya biasa-biasa saja ternyata memiliki kesibukkan part-time yang mampu membuat dia bertahan hidup di Swedia secara self-funded; sebuah pencapaian yang tidak bisa saya capai dan menurut saya lebih berharga dibanding indeks mata kuliah apapun. Melalui diskusi bersama PPI Stockholm, saya mengerti bahwa perpaduan fluktuasi beban kerja, cuaca dan perasaan rindu kampung halaman yang dirasakan ketika menempuh studi di Swedia bukanlah hal yang mudah dijalani bagi setiap orang. Depresi adalah hal yang nyata dan sangat mungkin terjadi, namun membuat hal tersebut menjadi bahan olok-olok dan menerapkanstandar ketahanan psikologis yang sama untuk setiap individu adalah hal yang sangat tidak bijak. Berdasarkan fakta-fakta diatas saya mengerti, bahwa tidak pernah ada ruang toleransi untuk kesombongan dan rasa tinggi hati terhadap sesama.
Jika ada satu hal yang paling saya suka dari budaya barat, mungkin itu adalah tentang filosofi work hard, play hard.Kemampuan untuk membentuk kesadaran bahwa ada saat untuk bermain dan ada saat untuk belajar/bekerja adalah suatu kualitas yang menurut saya pantas untuk ditiru. Ketika saya ingin bermain Gamelan di hari Jumat, saya harus mengkompensasi hal tersebut dengan menyelesaikan mayoritas tugas kuliah di hari Kamis. Ketika saya ingin bermain Dota seharian di hari Sabtu, saya harus membaca materi kuliah hingga larut malam di hari Jumat. Keseimbangan antara hak dan kewajiban adalah sebuah hal yang fundamental, sehingga porsi yang berlebih di satu sisi dapat membuat kita menjadi stress atau bahkan terseok-seok di akademik.
—
Menutup apa yang telah saya sampaikan diatas dan menyambung dengan kalimat saya pada bagian awal tulisan, saya ingin menunjukkan rasa terima kasih saya kepada KTH Royal Institute of Technology. Rasanya sangat tidak pantas apabila saya mengatakan bahwa “saya memilih Swedia”. Karena pada kenyataannya, Swedia lah yang memilih saya untuk dapat merasakan suasana belajar disalah satu universitas teknik terbaik di dunia. Tidak hanya itu, masyarakat Swedia sangat terbuka terhadap keberagaman dan mayoritas dari mereka mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Hal ini terasa sangat menyenangkan karena mempermudah saya untuk dapat belajar dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Datang dan menempuh studi di Swedia adalah salah satu keputusan besar yang saya ambil dihidup saya. Namun dengan segala kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan di salah satu negara paling utara di Eropa ini, saya tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan betapa saya bersyukur bisa duduk dan menulis tulisan ini sekarang. Apabila saya dapat memutar waktu kembali ke masa pendaftaran kuliah master dahulu, saya akan memprioritaskan dan mempersiapkan diri untuk mendaftar studi di KTH Royal Institute of Technology. Overall, I am pleased to call this country another home of mine.
Enam bulan kebelakang hanyalah menjadi awal dari perjalanan saya di Negeri Viking. Masih akan ada banyak hal dan pembelajaran baru yang akan saya dapatkan hingga akhirnya saya lulus nanti. Satu hal yang pasti, saya tidak akan pernah berhenti untuk belajar. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Menyesuaikan diri dan mengambil kearifan positif lingkungan sekitar yang bermanfaat untuk pengembangan diri saya kedepannya.
“In matters of style, swim with the current; in matters of principle, stand like a rock.”—Thomas Jefferson
Adrian Dewanto
Master Program in Smart Electrical Networks and Systems (SENSE)
KTH Royal Institute of Technology