“Ellen, mumpung kuliah di sini, paling ngga kita harus cobain ikut kompetisi. Minimal sekali.”
“Eh, emang kamu pernah Min?
“Pernah. Sekali doang sih. Itu pun ga menang. Tapi aku bahagia banget dapet banyak pengalaman”
Itulah sekilas pembicaraan saya dan teman saya, Yasmin Nabila di tengah-tengah fika break dalam acara TEDxLund. Pembicaraan itu masih melekat di benak saya hingga sekarang karena dari situlah awal saya memantapkan diri untuk ikut kompetisi.
Jangan Ditunda
Saya masih ingat, sebelum bertemu Yasmin di acara TEDxLund, ada pengumuman kalau kompetisi tahunan “Climathon” akan segera diadakan. Sebagai mahasiswa jurusan Environmental Studies and Sustainability Science, kompetisi ini lumayan populer di jurusan saya. Maklum, sehari-hari isu climate change selalu menjadi bahasan pokok di kelas saya, dan pada dasarnya kompetisi Climathon merupakan business idea competition yang berfokus pada pengembangan ide bisnis untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Tahun ini tema yang diangkat yaitu limbah plastik. Sempurna. Begitu pikir saya ketika melihat pengumuman kompetisi itu. Tahun ini saya harus ikut. Saya tidak mau menyesal seperti tahun lalu ketika saya sudah terdaftar menjadi peserta, namun pada hari-H saya malah mangkir dengan alasan terlalu capek, terlalu banyak tugas, “terus kalau lomba, kapan saya dapat mencuci baju kotor yang sudah menumpuk?”, mager, mood sedang tidak baik, dan berjuta alasan lainnya. Kali ini saya harus ikut. Wah, kalau misalkan ada efek animasi, pasti mata saya sudah ada kobaran api tanda bahwa saya sangat ingin ikut kompetisi ini. Uyeah!
Namun ambisi yang kuat sering kali tidak dibarengi dengan eksekusi yang tepat. Ketika saya akan mendaftar untuk ikut kompetisi Climathon, terpampang jelas di websitenya bahwa pendaftaran sudah ditutup. Oh tidaaaaaaakkkkk!!!!! Betapa bodohnya saya ketika menyadari bahwa deadline pendaftaran lomba sudah berakhir. Mengapa saya malah terlambat mendaftar di saat saya ingin sekali ikut berpartisipasi dalam lomba? Demi menghindari rasa sesal yang berkepanjangan, saya kemudian memberanikan diri untuk mengirim email ke panitia Climathon untuk menanyakan apakah ada spot yang tersisa untuk saya. Seperti yang sudah saya tebak, jawaban dari mereka adalah tidak ada spot yang tersisa. Apa boleh buat. Hingga akhirnya satu hari sebelum kompetisi dilaksanakan, saya iseng mengecek email saya. Tidak disangka, panitia Climathon mengirim email kepada saya dan memberitahukan bahwa ada satu spot yang tersisa untuk saya. Hore! Tanpa berpikir panjang, saya langsung mengkonfirmasi kehadiran saya pada kompetisi tersebut.
Tidak mudah
Keesokan harinya, saya sudah berada di bus kota menuju ke lokasi kompetisi. Saya tinggalkan sejenak segala deadline tugas yang masih membayang di kepala. Kala itu saya ada deadline final paper dengan bobot 70% dari keseluruhan nilai mata kuliah tersebut. Sedangkan progress saya? Masih nol. Ide saya masih berantakan dan saya bahkan belum memulai menulis sedikit pun. Ah kala itu baru terasa ternyata mengikuti kompetisi memang tidak mudah. Namun bila dipikir-pikir, tugas kuliah, group work, presentasi memang tidak pernah ada habisnya. Justru dengan mengikuti kegiatan lain di luar kuliah, seperti kompetisi, kita jadi belajar mengatur waktu yang kita miliki dengan baik. Bukankah begitu?
Kalau boleh jujur, kompetisi Climathon memang bukan perkara mudah. Kompetisi ini diadakan 24 jam non stop, di mana peserta dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai tema spesifik yang dipilih untuk mengurangi limbah plastik. Iya, 24 jam non stop. Banyak peserta yang tidak tidur semalaman dan tetap stay di lokasi kompetisi demi membuat ide bisnis mereka menjadi lebih konkret dan menarik bagi para investor. Brainstorming ide dilakukan setiap waktu untuk menganalisis target pasar, uniqueness of the product, dan lain sebagainya. Beberapa pakar dan pelaku bisnis sengaja diundang oleh panitia untuk memberi coaching gratis kepada setiap kelompok yang ikut berkompetisi. Bahkan ada sesi how to deliver a good pitch yang super keren di mana kami banyak belajar bagaimana mengemas produk yang “kita jual” dalam sebuah presentasi singkat yang apik dan berkesan. Sesi ini sangat penting mengingat di akhir kompetisi, setiap kelompok hanya mendapat waktu dua menit untuk pitching idea. Jadi, bagaimana caranya memanfaatkan dua menit tersebut menjadi sebuat presentasi yang singkat, padat, dan tentunya menarik. Capek? Jangan ditanya. 24 jam otak kita diperas untuk mengembangkan ide bisnis. Belum lagi kita akan sekelompok dengan orang-orang baru yang berasal dari jurusan dan negara yang berbeda-beda. Ya benar, group work memang sudah menjadi hal lazim di dunia perkuliahan Swedia. Namun, group work bersama completely new people menjadi sebuah tantangan tersendiri. Setiap orang punya preferensi masing-masing dan tentu saja untuk mencapai kata sepakat dalam waktu kurang dari 24 jam memang teramat sulit. Saat itu sebenarnya saya ingin pulang, menyerah. Namun saya katakan kepada diri saya bahwa saya harus bertahan sampai akhir.
Tiba saatnya final pitch session di mana kelompok saya berkesempatan untuk menyampaikan ide bisnis yang sudah kami siapkan. Karena waktu yang disediakan hanya dua menit, hanya dua orang dari kelompok saya yang akan berbicara di depan panggung. Beruntung, dua orang teman saya tersebut merupakan performer yang baik. Mereka menyampaikan ide kami dengan penuh semangat, body language dan eye contact yang baik, serta gaya bicara yang on point. Belum lagi ditambah dengan ide bisnis kami yang memang menarik dan masuk akal. Hal inilah yang kemudian mengantarkan kelompok kami menjadi juara pertama Climathon Lund 2018. Wah betapa senangnya!
Terlepas dari kemenangan yang kelompok saya dapatkan, ada sebersit rasa sedih dalam diri saya karena saya merasa saya kurang berkontribusi dalam kelompok. Saya menyadari, performa saya di kelompok memang belum maksimal. Selebihnya, dengan mengikuti kompetisi ini saya banyak belajar hal baru, seperti misalnya teamwork, dasar-dasar ide bisnis, cara membuat slide presentasi yang menarik dengan urutan yang tepat, bagaimana menjadi seorang pitcher yang baik, dan masih banyak lagi yang mungkin tidak didapatkan dari perkuliahan biasa. Walaupun kompetisi bukan perkara menang atau kalah, justru saya harus bersyukur berada di kelompok yang menang, karena itu berarti saya dapat menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dari apa yang sudah kelompok saya menangkan. Setuju?
Masih berlanjut
Sekitar satu bulan sejak berakhirnya Climathon 2018, saya diajak teman saya, Cynthia, untuk mengikuti kompetisi lain yang bernama “Lund Innovation Boot Camp”. Konsep kompetisi ini sebenarnya hampir sama dengan Climathon, yaitu tentang ide bisnis. Cynthia mengajak saya ikut kompetisi ini karena dia sering melihat saya membuat tempe di dapur housing kami. Saya memang suka membuat tempe sendiri karena di Swedia, harga tempe cenderung mahal. Sebagai fans tempe, tentu hal ini merupakan kesedihan yang mendalam bagi saya. Oleh karena itu, berangkat dari ide untuk mengembangkan bisnis tempe di Swedia, saya, Cynthia, Nia, dan Izzan yang semuanya merupakan mahasiswa master dari Indonesia yang sedang berkuliah di Lund University mendaftarkan diri sebagai kelompok yang akan berpartisipasi dalam kompetisi Lund Innovation Boot Camp. Awalnya sangat sulit bagi saya untuk berkata “ya” atas ajakan Cynthia untuk mengikuti kompetisi ini. Bagaimana tidak, kompetisi ini akan berlangsung selama tiga hari lamanya dan dalam waktu yang bersamaan, tugas kuliah juga sedang datang bertubi-tubi. Alamak, Climathon yang berlangsung hanya satu hari saja sudah membuat saya begitu lelah, apalagi tiga hari? Begitu pikir saya. Namun setelah berpikir panjang, akhirnya saya mengiyakan ajakan Cynthia.
Selama tiga hari berturut-turut saya bersepeda ke lokasi kompetisi di tengah dinginnya suhu Swedia kala itu. Berangkat sekitar pukul 07.30 pagi dan pulang pukul 21.30 malam. Semua terasa berat. Saya selalu membayangkan betapa enaknya bila weekend seperti ini saya habiskan untuk mengerjakan tugas di kamar. Yang tidak saya sadari, ada berjuta ilmu yang menanti saya di kompetisi tersebut hingga di akhir kompetisi saya sadar bahwa ilmu itu harus dijemput, bukan ditunggu.
Peserta Lund Innovation Boot Camp lebih banyak daripada Climathon. Pun pelaku bisnis yang dihadirkan untuk memberikan feedback pada masing-masing kelompok. Jumlah mereka lebih banyak dan berasal dari beraneka ragam latar belakang, seperti teknologi, makanan, properti, jasa, dan lain sebagainya. Ah betapa beruntungnya saya dapat menjadi bagian dari kompetisi tersebut. Kapan lagi saya dapat belajar bisnis langsung dari ahlinya? Terlebih lagi di negara Swedia, negara yang terkenal akan inovasinya. Selain itu, pengalaman kelompok saya memenangkan Climathon saya jadikan bahan masukan bagi kelompok “Super Tempe” kami. Alhamdulillah karena kala itu kelompok saya memenangkan Climathon, saya memiliki insight yang cukup tentang sesi presentasi produk, misalnya saja bagaimana urutan slide presentasi yang baik agar dari awal produk yang kita jual sudah menarik perhatian juri, bagaimana menjadi performer yang baik, bagian mana yang perlu dijelaskan secara detail, bagian mana yang hanya butuh dijelaskan secara singkat, dan lain-lain yang saya pelajari dari teman satu kelompok saya saat Climathon. Ternyata semua itu bermanfaat.
Alhamdulillah, di akhir kompetisi, Super Tempe berhasil meraih juara tiga Lund Innovation Boot Camp. What an achievement! Ide yang awalnya masih berantakan, akhirnya mampu kami kembangkan hingga kami berhasil menang. Sesi presentasi berlangsung sangat baik. Selama 15 menit, setiap anggota kelompok kami berhasil menyampaikan ide dengan jelas dan menarik perhatian para juri dengan spesialisasi kami masing-masing. Di akhir kompetisi, saya juga berkesempatan untuk pitch idea selama dua menit di hadapan lebih dari 100 peserta lainnya. Sungguh sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Tentu saja semua ilmu dan pengalaman ini tidak akan saya dapatkan bila saya memilih untuk berkutat dengan tugas-tugas saya di kamar.
Lalu bagaimana kabar tugas-tugas saya? Pada akhirnya mereka selesai juga di tengah waktu yang sedikit akibat keikutsertaan saya dalam kompetisi. Namun saya tidak menyesal. Keluar dari zona nyaman ternyata membuat saya lebih efisien dalam memanfaatkan waktu. Nilai plusnya, ilmu dan pengalaman saya menjadi bertambah walaupun memang badan dan pikiran saya menjadi jauh lebih capek dari biasanya. Sekali lagi, ilmu itu memang harus dijemput, bukan ditunggu. Ada tenaga, keringat, bahkan air mata yang mungkin harus dikorbankan. Namun percayalah, semua itu sepadan dengan apa yang akan kita dapatkan. Percayalah.
Ellen Putri Edita – Lund
Environmental Studies and Sustainability Science
Master Program, Lund University