Swedia merupakan salah satu negara tujuan studi yang banyak diminati oleh mahasiswa Indonesia. Salah satu negara yang berada di kawasan Skandinavia ini terkenal dengan sistem pendidikan yang seimbang antara pemahaman ilmu, beban studi mahasiswa dan kehidupan sosialnya. Interaksi antara mahasiswa dan staf kampus (mulai dari lecturer, program coordinator, sampai professor) berlangsung dengan santai, sehingga diskusi keilmuan yang kita lakukan berlangsung secara lebih lancar. Selain itu mayoritas pengajar dan teman kuliah di Swedia bisa berbahasa Inggris dengan lancar, sehingga mempermudah komunikasi kita di lingkungan akademik maupun sosial.
Namun, kuliah di Swedia bukanlah tanpa tantangan. Swedia sebagai negara yang terletak lumayan utara di hemisfer, memiliki musim dingin yang cukup panjang dibandingkan negara Eropa lain. Memasuki penghujung tahun (sekitar bulan Oktober akhir), intensitas cahaya matahari cukup redup walau jam menunjukkan waktu tengah hari. Durasi sinar matahari pun semakin memendek (saat artikel ini ditulis, matahari terbit sekitar pukul 07.30 dan terbenam pukul 15.20). Pada kondisi tersebut,langit seringkali berawan, diselingi hujan dan angin yang kencang.
Kombinasi antara lingkungan yang gelap, cuaca yang tidak bersahabat, dan suhu dingin tentu mempengaruhi mood kita sebagai mahasiswa perantauan. Beberapa dari kita mungkin akan merasakan rasa kantuk saat siang hari, kelelahan, sulit berkonsentrasi, suasana hati yang tertekan, dan kehilangan minat pada hal yang biasanya menyenangkan. Hal ini dapat menyebabkan gangguan siklus tidur dan makan, turunnya performa akademik dan interaksi sosial, perasaan putus asa dan tidak berharga, dan pada beberapa kasus yang berat dan tidak ditangani, dapat mengakibatkan pikiran berulang untuk mengakhiri hidup.
Keadaan perubahan suasana hati yang berdampak pada aktivitas sehari-hari mungkin dapat menjadi tanda seseorang mengalami gangguan afektif musiman (seasonal affective disorder / SAD). Dalam klasifikasi terbaru Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health Disorders, Fifth Edition (DSM-5) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association, SAD merupakan salah satu tipe depresi yang khas terjadi pada musim tertentu (pada umumnya musim dingin), yang berlangsung minimal selama 2 tahun. Pada orang-orang yang mengalami SAD, gejala depresif membaik ketika musim dingin telah terlewati. Untuk mahasiswa Indonesia yang berasal dari negara tropis yang senantiasa dilimpahi cahaya matahari, musim gugur akhir dan musim dingin dapat menjadi tantangan tersendiri (apalagi yang sedang studi di kota-kota yang berada di wilayah agak utara seperti Umeä, Uppsala dan Stockholm).
Walaupun tantangan ’unik’ ini dapat mempengaruhi keadaan mahasiswa Indonesia, ada banyak strategi untuk menghadapi gangguan afektif musiman. Menjaga kesehatan diri sendiri – seperti makan makanan bergizi, olahraga yang teratur, berusaha untuk stay connected dan berkumpul bersama teman-teman yang mengerti anda merupakan salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan. Fika ataupun ngabotram dengan sahabat-sahabat seperantauan PPI seringkali mampu memperbaiki mood kita.
Jika perubahan suasana hati yang dialami mengarah ke SAD dan menggangu aktivitas sehari-hari, kampus-kampus di Swedia pada umumnya memiliki psikolog dan konselor di student health center / studenthälsan yang stand by pada hari dan jam kerja untuk menegakkan diagnosa dan membantu mengelola mood kita. Beberapa kampus, seperti Uppsala University, memiliki light room, ruangan serba putih dengan cahaya putih yang dapat memperbaiki siklus jam internal tubuh (circadian rythm). Bila gangguan ini terus berlanjut, konselor dan/atau psikolog akan melakukan rujukan ke vardcentral untuk ditangani oleh dokter dan psikolog klinis.
Mungkin, kuliah di Swedia mungkin memang cukup dingin dan gelap di autumn dan winter. Namun, gangguan afeksi musiman yang kadang menyebalkan dapat dicegah dan dikelola dengan support system yang ada di sekitar kita. Last but not least, spring will definitely come after this long autumn and winter.
A. Charles
Master Student in Infection Biology
Uppsala University
Editor: Ria Ratna Sari