“……
Walaupun banyak negeri ku jalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah ku rasa senang
Tanahku tak ku lupakan
…….”
Foto: Perayaan hari kemerdekaan di Wisma Duta KBRI Stockholm
Begitu kira-kira beberapa penggal lirik lagu Tanah Airku yang diciptakan oleh Ibu Sud. Tentu lagu ini bagi sebagian besar orang Indonesia tidak asing, apalagi bagi perantau yang jauh di luar negeri seperti teman-teman pembaca sekalian. Lagu ini memiliki makna yang dalam, yang menyangkut bukan hanya kecintaan pada tanah air, namun juga kewarganegaraan, identitas diri sebagai bagian dari bangsa, yang tak jarang jika didengarkan saat homesick saat di rantau bisa membuat air mata secara tak sadar jatuh. Meskipun, begitu tulisan ini, secara keseluruhan, tidak akan menerjemahkan lirik lagu Tanah Airku.
Menjadi warga negara bukan hanya sebatas sebagai pengenal atau pengakuan dalam bentuk passport maupun KTP kita, lebih jauh, status warga negara menjadi identitas diri dimana karakteristik, kecenderungan, dan perilaku dibentuk dari lingkungan sekitar kita. Hal-hal tersebut lantas membentuk ciri khas yang membedakan warga dari satu negara dengan negara lainnya.
Ada peran keluarga, teman, dan lingkungan selama proses identitas tersebut terbentuk, dan menumbuhkan sikap memiliki kepada mereka. Kecenderungan inilah yang membuat kita menyebut tanah air sebagai kampung dan halaman, yang menciptakan rasa tenang, tentram, dan selalu dirindukan saat berada jauh di tanah rantau. Sehingga, urusan merantau bukan lagi hanya sebatas urusan jarak, namun juga tekad dan keberanian untuk menempa diri jauh dari lingkungan yang menjadi sumber dukungan kita.
Fenomena merantau untuk menimba ilmu di luar negeri seakan sudah menjadi fenomena umum, dimana ribuan warga Indonesia setiap tahunnya berangkat untuk kuliah di luar negeri. Kondisi ini juga diperkuat dengan hadirnya lembaga-lembaga pendanaan seperti LPDP atau lembaga-lembaga penyedia beasiswa dari negara lain. Memperluas wawasan dan mendapatkan pengalaman hidup baru menjadi alasan utama yang sering disebut calon mahasiswa luar negeri. Memang tidak dapat dipungkiri, perkembangan pengetahuan dan teknologi yang pesat di suatu negara dapat menjadi daya tarik suatu kampus untuk menjaring calon-calon mahasiswa dari berbagai penjuru dunia.
Swedia sebagai salah satu negara tujuan tempat studi bagi pelajar Indonesia, menawarkan berbagai macam fasilitas yang menunjang kegiatan belajar dan kehidupan sehari-hari bagi setiap orang yang menuntut ilmu disana, seperti digambarkan dalam blog berikut ini, https://ppiswedia.se/masakini/keistimewaan-menjadi-seorang-pelajar/ .
Setelah merasakan kehidupan luar negeri selama menimba ilmu, muncullah pertanyaan akan kembali ke Indonesia atau tidak? Apakah jika bekerja di Indonesia dapat memberikan gaji sepadan atau di atas gaji yang didapatkan jika bekerja di Luar negeri? Apakah ada jenis pekerjaan yang sesuai dengan hal-hal yang dipelajari selama studi di Luar negeri? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul hampir di setiap diskusi dan kongkow pelajar-pelajar Indonesia.
Tantangan Brain Drain
Keputusan untuk bekerja di luar negeri setelah menyelesaikan studi merupakan fenomena brain drain dimana seseorang yang dikatakan pintar memilih bekerja di luar negeri. Kondisi ini bertolak belakang dengan brain gain yang dimaknai sebagai fenomena orang pintar (setelah selesai studi) memilih kembali ke negara asal mereka. Dua konsep ini berkaitan erat dengan pertanyaan-pertanyaan di atas.
Faktor sosial ekonomi menjadi kunci fenomena brain drain ini terjadi. Selain urusan gaji, sistem kehidupan yang (mungkin) lebih baik, lingkungan yang lebih kondusif, profesionalisme di lingkungan pekerjaan yang lebih baik, dan kesempatan untuk berkembang lebih besar, menjadi alasan-alasan mengapa menetap setelah studi dijadikan pilihan dibandingkan kembali ke Indonesia.
Fenomena brain drain juga pernah mencuat di Korea Selatan pada rentang tahun 1960-1980, ketika persentase pelajar Korea Selatan di Amerika meningkat dan kondisi perekonomian Korea Selatan belum semaju sekarang ini. Proporsi lulusan doctoral yang kembali ke Korea Selatan pada tahun 1960 lebih kecil dibandingkan proporsi lulusan doctoral (tiga tahun setelah lulus) yang kembali ke negara asal tahun 1980an (Song, 1996). Peningkatan ini beriringan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi negara dan kebijakan-kebijakan negara sebagai usaha memulangkan diaspora-diaspora bertalenta tersebut.
Fenomena brain drain, dalam konteks Indonesia, dapat menjadi tantangan, terutama dalam menghadapi bonus demografi tahun 2030-2040. Pada dekade tersebut, jumlah usia produktif diproyeksikan berjumlah 60 persen, dan menjadi peluang bagi Indonesia untuk melakukan strategi-strategi untuk menjadi negara yang lebih maju. Kualitas sumber daya manusia kemudian menjadi titik kunci bagaimana strategi-strategi tersebut dapat diimplementasikan.
Salah satu pembicaraan mengenai brain drain dari sudut pandang pelajar Indonesia yang menempuh studi di Swedia bisa kita simak di dalam blog berikut https://ppiswedia.se/masakini/potensi-kontribusi-alumni-swedia-bagi-indonesia/ .
Masalah brain drain memang menjadi masalah klasik, bahkan jauh sebelum reformasi 1998 terjadi di Indonesia. Bpk. BJ. Habibie, presiden ketiga republik Indonesia, menjadi salah satu contoh diaspora yang bertalenta tinggi dibuktikan dengan banyaknya kepemilikan hak paten di dunia penerbangan. Presiden sebelumnya melakukan strategi untuk memulangkan beliau, salah satunya dengan diwadahi di PT. Dirgantara Indonesia, yang akhirnya juga memberikan peluang pada beliau untuk membuat pesawat N-250.
Pertanyaannya, apakah perlu membuat suatu “wadah” khusus untuk lulusan luar negeri dibandingkan lulusan dalam negeri, seperti yang dilakukan oleh presiden kedua kepada Bpk. BJ Habibie? jawabannya bisa saja, namun hal tersebut mungkin lebih relevan pada abad 20an.
Fenomena brain drain sekarang ini telah berevolusi dan tidak hanya terbatas pada diaspora yang berstatus ilmuwan, namun juga diaspora yang berkarir di berbagai bidang pekerjaan. Strategi pemulangan akhirnya tidak lagi urusan penyediaan pekerjaan yang bergaji tinggi, namun juga perbaikan sistem kehidupan yang lebih baik untuk semua, seperti perbaikan birokrasi dan pemberantasan korupsi yang lebih baik. Hal-hal tersebut menjadi pertimbangan karena dapat menciptakan peluang yang lebih besar untuk berkembang dan mengembangkan keahlian seseorang, terlepas berstatus diaspora atau tidak.
Kembali ke tanah air
Belajar di luar negeri memang merupakan privileged, dimana kepemilikan atas kesempatan untuk berjejaring secara internasional lebih terbuka secara lebar, yang akhirnya membuat peluang pengembangan karir juga lebih luas. Memang, bekerja dan tinggal di luar negeri menjadi pilihan bagi sebagian orang, namun, kembali ke Indonesia juga tidak lantas dimaknai akan memiliki kehidupan yang tidak lebih baik dibandingkan jika bekerja dan tinggal di luar negeri setelah masa studi selesai.
Ada faktor sosio-kultural, dimana seseorang terikat secara emosional terhadap bangsanya. Faktor keluarga, teman, dan lingkungan sehingga mendorong seseorang untuk lebih memilih kembali ke tanah air tidak dapat dipandang sebelah mata. Keterikatan emosional pada keluarga memang menjadi salah satu karakteristik ikatan kekeluargaan di Indonesia terbentuk. Dukungan-dukungan moril dalam menghadapi berbagai problema kehidupan juga menjadi peran keluarga yang tidak dapat dielakkan.
Sehingga, ada trade-off jika bekerja dan tinggal di luar negeri secara pendapatan mungkin akan lebih besar, namun kembali ke tanah air juga memiliki keuntungan non materiil berupa lebih dekat dengan lingkungan dimana seseorang tumbuh dan berkembang.
Dalam suasana kemerdekaan ini, dengan semangat persatuan, pertimbangan untuk kembali ke tanah air dan turut memajukan bangsa tidak hanya urusan diri sendiri, namun juga memperbaiki kehidupan keluarga, sanak saudara, teman, anak cucu, dan orang-orang yang kita kasihi untuk memiliki hak kehidupan yang lebih baik.
Song, H. (1996). Reversal of Korean brain drain: 1960s-1980s. International Scientific Migrations, 010022327-27.
Darmawan Prasetya
MSc In Welfare Policies and Management
Lund University
Editor: Mochamad Sunaryadi
Sumber foto: Annusyirvan Ahmad Fatoni