Satu bulan terakhir liburan musim panas yang lalu saya jalani di Indonesia untuk bertemu keluarga, khususnya anak saya yang masih 1 tahun dan keponakan-keponakan yang masih imut-imut.
Kala itu memang sempat bimbang antara pulang atau tidak, kemudian jika akan pulang apakah prosedurnya akan sulit, apa saja yang harus dipersiapkan, apakah nanti harus karantina, apakah ada pesawat yang terbang ke Indonesia, apakah harga tiket pesawatnya mahal, dan puluhan pertanyaan lainnya yang mengitari alam pemikiran saya. Karena seperti yang kita ketahui, sejak awal tahun ini, situasi di muka bumi ini berubah dengan adanya COVID-19, termasuk di sektor transportasi.
Masih sangat jelas di ingatan saya, banyak teman-teman internasional yang “terkunci di Swedia karena tidak bisa kembali ke negara asalnya dikarenakan kebijakan-kebijakan yang ada terkait pandemik. Saya sempat mengurungkan niat. Namun, pada bulan Juni ada satu teman saya mahasiswa Indonesia yang berhasil pulang liburan ke Indonesia. Ternyata asa masih ada.
Tahap pertama yang saya lakukan adalah bukan mencari tiket pesawat, namun terlebih dahulu mendaftar swab test agar dapat sertifikat PCR yang menurut info teman yang sudah di Indonesia akan ditanyakan ketika tiba di bandara Soekarno-Hatta. Dikarenakan sertifikat PCR hanya berlaku 7 hari sejak dikeluarkan, maka saya mendaftar untuk test tersebut menjelang di rencana kepulangan. Pemerintah kota Stockholm memiliki layanan swab test gratis untuk penduduknya. Saya harus mendaftar online terlebih dahulu di 1177.se. Memang, pemerintah tidak akan tes bagi orang yang sehat, akhirnya ketika daftar online saya menjawab beberapa pertanyaan yang diberikan bahwa saya tidak enak badan dan mungkin memiliki simptom. Walhasil pendaftaran saya pada hari Sabtu, 4 Juli diterima. Nah yang uniknya, kita bisa memilih apakah ingin di tes di lab atau di rumah sendiri. Saat itu saya memilih tes di rumah sendiri. Menurut website tersebut, nanti perlengkapan tes akan dikirimkan beberapa hari kedepan dengan taksi dan saya disuruh tunggu saja. Sebenarnya paling tidak suka menunggu tanpa kepastian, semacam lagi di php kalo bahasa kaum gen Z saat ini.
Selang beberapa hari, tepatnya pada hari Senin tanggal 6 Juli di pagi hari jam 9:30 tiba-tiba saya mendapat telepon. Ternyata beliau adalah bapak supir taksi yang membawa perlengkapan tes. Saya turun ke bawah untuk mengambil perlengkapan tersebut dan si bapak taksi menunggu disitu sampai saya selesai mengambil sampel diri saya sendiri di kamar. Perlengkapan tes tersebut bisa dilihat di gambar di bawah. Untuk membimbing prosesnya, ada buku petunjuk, tapi tentu saja pakai bahasa Swedia. Google Translate memang menjadi aplikasi wajib untuk pendatang di Swedia. Sampel ini dilengkapi oleh barcode yang harus saya scan dan nanti akan terhubung dengan akun saya di website ketika mendaftar, sehingga tidak akan tertukar dengan sampel orang lain. Untuk tes ini saya tidak disuruh memasukan alat yang mirip korek kuping, hanya ukurannya lebih panjang, ke dalam hidung, tapi cukup untuk mengorek tenggorokan bagian paling belakang. Saya kira lebih mudah, tapi ternyata sama aja tidak enak. Berkali-kali muncul perasaan ingin muntah. Setelah tes selesai, saya berikan lagi sampelnya kepada si bapak kurir.
Dua hari kemudian, Rabu, 8 Juli, hasil tes bisa dilihat di website. Alhamdulillah saya negatif. Langsung saya berburu tiket pesawat. Ini bukan promosi tetapi ingin berbagi tips, dari dulu, saya selalu mencari tiket pesawat di www.skyscanner.com, karena search engine ini membantu mencarikan tiket pesawat dengan harga yang murah. Alhamdulillah untuk proses mencari tiket pesawat, saya tidak menemukan hambatan, bahkan harganya pun sangat masuk akal, sekitar kurang lebih 5600 SEK pulang-pergi. Rutenya Stockholm – Frankfurt – Hongkong – Jakarta. Transit lebih dari satu kali bukan menjadi masalah bagi saya, justru sebaliknya, saya sangat suka transit karena selain untuk menghindari rasa bosan berjam-jam di pesawat, juga bisa jalan-jalan meski hanya di dalam bandara saja. Jadwal terbang saya adalah 15 Juli dan tiba di Indonesia 16 Juli. Lho berarti akan sudah kadaluarsa satu hari dong tiba di Indonesia? Benar sekali. Yang membuat saya percaya diri adalah karena teman yang sudah tiba di Indonesia memberikan info bahwa surat PCR dia juga kadaluarsa satu hari ketika tiba di Indonesia, namun tetap diterima. So, saya juga pede dong yah.
Singkat kata, tibalah saat-saat yang dinantikan. Saya berangkat ke Arlanda dengan bus dari Stockholm City, masih tanpa memakai masker layaknya orang-orang di Swedia. Setibanya di bandara, hampir semua orang disana menggunakan masker, maka saya pun akhirnya menggunakan masker. Sepanjang perjalanan di pesawat pun diwajibkan menggunakan masker, kecuali ketika makan. Situasi di pesawat sangat nyaman, karena tidak seperti biasanya, dalam keadaan new normal ini, bangku pesawat tidak diisi full. Sehingga kursi sebelah kosong dan bisa leluasa untuk selonjoran. Tips saya ketika check-in minta di deretan paling belakang karena kosong sekali. Setelah total perjalanan selama kurang lebih 30 jam, tibalah saya di tanah air.
Gambar 3. Situasi di dalam pesawat yang lebih sepi dibanding biasanya
Sebelum keluar mengambil bagasi, para penumpang diminta untuk mengisi formulir mengenai kesehatan dan selanjutnya harus mengantri untuk dicek oleh beberapa dokter yang bertugas yang tentu saja mereka mengenakan APD. Yang mengantri bukan hanya rombongan pesawat saya, tetapi digabung dengan rombongan dari pesawat lain. Kesimpulannya, antrian panjang sekali, padahal saat itu saya tiba jam 23 WIB tengah malam. Setelah dua jam mengantri, akhirnya saya bertemu dokter bertugas dan dengan jantung berdebar deg-degan terkait surat PCR yang kadaluarsa satu hari. Jreng-jreng, mbak dokter bilang tidak diterima dan saya harus mengantri lagi ke tahap berikutnya bersama rombongan orang-orang yang akan di karantina. Disitu saya harus mengantri kurang lebih 30 menit. Mas dokter bertanya dari mana dan aktivitas di negara tersebut apa. Kemudian ditanya apakah saya ingin karantina di hotel namun harus bayar sendiri atau di wisma atlet yang gratis. Saya memutuskan untuk karantina di hotel. Kemudian saya diminta ke post selanjutnya untuk lapor ke bapak TNI yang bertugas untuk didata dan kemudian mendapatkan ID card. Setelahnya saya baru diperbolehkan mengambil koper dan dicek kembali ID card beserta paspor oleh beberapa anggota TNI yang bertugas. Setelah dicek, saya dipersilakan untuk mengambil kotak snack yang tersedia (tahu aja yang kelelahan mengantri dan mengurus ini itu selama kurang lebih tiga jam).
Gambar 4. Situasi ketika baru mendarat di bandara Soekarno-Hatta dan harus mengantri panjang untuk dicek apakah membawa surat PCR/ tidak.
Proses terakhir adalah melapor lagi ke anggota TNI sebelum pintu keluar bandara bahwa ingin karantina di hotel. Kemudian saya diarahkan ke marketing hotel. Awalnya saya memilih sebuah hotel di Kemayoran, namun di pintu keluar bandara, yang gercep adalah marketing dari hotel di daerah Cikini, yang tidak jauh dari rumah. Namanya juga marketing, pintar ngomong, dan dengan magnetnya mampu membujuk saya untuk karantina disana. Harga normal per malam Rp.750.000 sudah lengkap dengan tes PCR, makan pagi, siang dan malam. Hanya belum tahu akan berapa malam karena intinya tergantung berapa lama tes PCR saya akan keluar. Namun diasumsikan 4 malam, sehingga saya harus bayar 3 juta rupiah. Akhirnya segala proses sudah dijalani dan saya diantar marketing ke mobil jemputan untuk diantar ke hotel tersebut. Adik-adik saya yang menjemput di bandara, harus kembali pulang dengan tangan kosong.
Sesampainya di hotel, pak supir diharuskan menurunkan saya di basement, bukan di lobby. Proses cek in memang dibedakan dengan tamu hotel biasa. Di basement sudah menunggu staf hotel untuk cek in yang ditemani oleh anggota TNI. Cek in usai barulah saya ke kamar di lantai dua. Jadi di lantai dua hotel tersebut khusus untuk tamu-tamu yang sedang karantina. Di koridor lantai tersebut dijaga oleh seorang anggota TNI. Di depan kamar ada beberapa meja untuk staf hotel meletakkan makanan kami. Jadi makan pagi, siang, malam diantar ke meja tersebut. Jika sudah diantar, kami akan diinformasikan via telepon. Selama karantina, kami tidak diperbolehkan keluar kamar atau bertemu dengan tamu hotel lainnya. Jika ingin membeli sesuatu dari luar hotel, nanti akan dibantu staf hotel dan dikenakan charge Rp.30.000,-.
Gambar 5. Meja di depan kamar untuk staff hotel meletakkan makan pagi, siang dan malam. Satu meja difungsikan untuk empat kamar.
Hari esoknya, saya diantar oleh supir hotel, seorang anggota TNI dan dokter bertugas (dan tentu saja mereka semua mengenakan APD) untuk tes PCR di sebuah hotel di Gajah Mada. Disana sudah menunggu banyak dokter dan orang-orang yang akan dites. Alhamdulillah tidak mesti menunggu lama, cukup 15 menit saja. Ketika giliran saya dipanggil, saya maju ke depan, duduk di bangku yang disediakan. Masker dan kacamata wajib dibuka. Kemudian ibu dokter meminta saya untuk agak melihat keatas. Ibu dokter perlahan-lahan memasukkan semacam korek kuping dengan ukuran panjang ke dalam hidung saya. Mungkin benda tersebut sepanjang 10 cm masuk ke dalam hidung saya. Begitu benda tersebut dicabut, langsung secara otomatis saya batuk-batuk dan keluar air mata – memberikan pemandangan menakutkan kepada orang-orang yang menunggu giliran. Rasa tidak enak ini berlangsung selama kurang lebih 10 menit.
Gambar 6. Situasi di dalam mobil hotel menuju tempat swab tes, diantar oleh supir hotel dan seorang anggota militer. Keduanya menggunaman APD.
Singkat kata, hasil PCR saya keluar selama 4 hari berikutnya. Jadi total saya menginap di hotel selama 5 hari. Akhirnya bebas dan diperbolehkan untuk pulang ke rumah.
Gambar 7. Senangnya bisa berkumpul dengan bocah-bocah kesayangan
Sebulan lebih berlalu, tibalah hari Rabu 26 Agustus, dimana saya harus kembali ke Swedia. Ketika check-in muncul drama episode baru. Mbak petugas check-in berkata bahwa pesawat saya dengan Jakarta – Singapura – Frankfurt – Swedia tidak bisa terbang karena Singapura tidak menerima penumpang transit. Langsung sontak darah mengalir ke kepala dan saya agak emosi. Teman-teman si mbak petugas menghampiri dan menyarankan saya untuk menelefon perwakilan maskapai tersebut, yang ada di Bangkok, Thailand. Masih jelas di ingatan, saya menelepon maskapai sambil marah-marah dengan nada yang tinggi sehingga jadi pusat perhatian di terminal 3, saya minta bicara dengan managernya (jadi mirip Karen). Intinya saya tidak bisa terbang dengan maskapai itu. Walhasil saya beli tiket pesawat single dengan maskapai yang tidak melewati Singapura, sebut saja maskapai Q. Sambil menunggu waktu check-in, saya perhatikan di counter tempat saya check-in tadi, juga banyak warga internasional yang bernasib sama seperti saya, dan mereka pun kesal. Lalu bagaimana nasib tiket pesawat yang tidak terpakai? Setelah korespondensi email berkali-kali dengan nada kesal dan bahkan saya sempat menulis “I will sue you!!!”, akhirnya tiket tersebut dibuat menjadi “open”.
Pengalaman pulang ke Indonesia ketika pandemik ini memang unik sekali dan melelahkan, namun semua rasanya tidak tertandingi dengan momen berkumpul bersama keluarga. Terlebih lagi, saya jadi mempunyai cerita untuk disebarkan, bukan?
Annusyirvan Ahmad Fatoni
Master’s in Media Management
KTH Royal Institute of Technology
Editor: Badai Kesuma