Oleh: Lukitawesa
Sebelumnya saya ingin menyampaikan disclaimer mengenai kata alone di judul ini. Saya tidak benar-benar sendiri di kota ini, kata alone saya artikan sebagai satu-satunya orang Indonesia di kampus University of Borås dan lingkungan sekitar kampus radius 2 km.
Tentang Borås
Suasana Kota Borås
Borås terletak 60 km arah timur kota kedua terbesar Swedia, Gothenburg. Kota kecil ini memiliki jumlah penduduk 66,273 jiwa dengan luas area 31.40 km2. Dengan kepadatan penduduk yang relatif rendah, kota ini akan terlihat sepi di atas jam 7 malam, dan hanya terlihat ramai pada saat akhir pekan dan festival musik musim panas (Sommartorsdag). Bagi orang kita (Indonesia), cara membaca kata Borås ini agak unik yaitu dibaca Boros (lawan kata hemat) karena å dibaca seperti o pada kata soon . Asal katanya sendiri dari Bor (tinggal) dan ås (bukit) yaitu tinggal di bukit. Memang kota ini terletak sedikit lebih tinggi dari kota tetangga, Gothenburg dengan ketinggian 143 mdpl. Di kota ini awan serasa lebih dekat dengan pandangan mata kita. Apa yang spesial dari ketinggian ini? Hujan! Ya, kota ini terkenal sering hujan. Intensitas hujannya cukup kerap sepanjang tahun dibanding kota lain di Swedia. Borås memiliki 2 pusat kota yaitu daerah centrum di seputaran Allegatan dan Knalleland di sebelah utara. Menghabiskan waktu berkeliling di antara kedua pusat kota ini pun bisa dilakukan dengan jalan kaki seharian. Selain itu, berbelanja kebutuhan sehari-hari pun bisa dilakukan sekaligus di satu-dua lokasi.
Menjadi seorang mahasiswa Indonesia di University of Borås: observasi tetangga
Borås memiliki sebuah universitas yaitu University of Borås. Menurut pengamatan saya, kampus ini bisa dibilang internasional karena banyaknya mahasiswa pertukaran dari berbagai belahan dunia yang silih berganti datang. Dari Amerika latin hingga Taiwan pun ada.
Berapa jumlah mahasiswa Indonesia di universitas mini ini? Pada semester musim semi lalu (2016) mahasiswa Indonesia yang melakukan pertukaran pelajar kesini mencapai 4 orang sedangkan mahasiswa tetapnya 1 orang, yaitu saya sendiri. Pada semester musim gugur ini hanya tinggal saya seorang mahasiswa Indonesia yang bersekolah di kampus ini. Boleh kan saya merasa unik di sini? Merasa sendiri? Tidak selalu. Kebetulan saya tinggal di salah satu apartmen koridor yang lokasinya 150 m dari kampus dan apartmen ini terkenal di kalangan mahasiswa internasional sebagai pitstop atau tempat mampir. Saya mendapat banyak sekali kesempatan untuk berkenalan dan menjalin pertemanan dengan mahasiswa dari berbagai belahan dunia, seperti Jerman, Belanda, Taiwan, Hong Kong, Iran, Austria, Swiss, Norwegia, Finlandia, Belanda, Amerika Latin, Pakistan, Syria, Nigeria, Kenya, Brazil, Iraq, Australia, Turki, dan dari Swedia sendiri.
Hidup di tengah-tengah orang asing dari bangun tidur sampai tidur lagi, bagi saya yang kurang jago bahasa inggris, menjadi ajang untuk melatih bahasa inggris. Ditambah lagi karena tidak ada orang yang saya ajak berbicara lisan dalam bahasa Indonesia, pikiran saya ter-setting harus berbicara bahasa Inggris setiap saat. Mungkin hal ini sepele bagi orang lain, namun bagi saya, rasa rindu bercanda tawa ala Indonesia pun timbul juga (jujur bagi saya orang bule itu kalo bercanda lucunya tidak seberapa). Selain itu, secara tidak langsung, saya sedikit mempelajari kosakata dalam bahasa Swedia dengan mendengarkan tetangga-tetangga saya berbicara dalam bahasa Swedia. Karena sering, perlahan-lahan saya bisa menangkap apa yang mereka bicarakan dengan merangkai kata kunci yang saya tangkap. Saya pun tidak sungkan mensitesa sendiri kalimat bahasa Swedia dan dikoreksi oleh tetangga dan teman saya. Orang Swedia terbuka sekali ketika ada orang asing yang ingin mempelajari bahasa mereka.
Selain bahasa, saya juga sering mengamati kebiasaan makan orang muda dari berbagai belahan dunia. Secara garis besar, orang Eropa seperti Jerman, Belanda, dan Swedia tidak menyukai sarapan yang berat dan hangat. Mereka lebih memilih penganan ringan seperti biskuit gandum (Knakkerbröd) dengan timun, tomat, keju, dan ham atau kombinasi yogurt, dan kacangan, simple bukan? Untuk makan siang dan malam pun mereka memasak makanan yang simple seperti pasta, kentang panggang, quorn dan kentang, roti, atau sup. Di sisi lain, kita sebagai bangsa asia relatif lebih kompleks dalam urusan makan. Semester lalu, setiap malam saya menjumpai tetangga saya yang dari hongkong masak hidangan makan malam khas cina. Lidah kita sebagai bangsa rumpun Asia memiliki demand yang lebih tinggi akan rasa. Bagi orang yang memiliki kemampuan memasak makanan asia se-sederhana apapun, menyiapkan bumbu yang bisa memakan waktu cukup lama pun dilakoni demi tercapainya rasa masakan seperti di rumah. Sebagai contoh, jika kita membuat tumis sayuran maka, demi rasa yang maksimal, kita harus mengupas bawang putih dan bumbu mentah yang lain, sedangkan bagi orang Eropa menggunakan bumbu bubuk sudah cukup. Bagi saya, menggunakan bumbu basah instan merupakan salah satu solusi praktis untuk memasak, walaupun saya harus ke Gothenburg dahulu untuk membelinya. Bagaimana dengan vegetarian? Sejauh ini sudah ada 5 tetangga saya yang vegetarian dan 1 rekan kampus yang vegan. Menjadi vegetarian di sini agaknya lumayan menyenangkan karena berbagai produk tersedia di swalayan terdekat. Bedanya, lidah tetangga saya ini tidak serewel lidah saya. Mereka terbiasa memakan makanan tawar dan mentah, berbeda jauh dengan orang Asia seperti saya yang menginginkan rasa pada setiap masakan.
Bersama teman-teman koridor menyantap makan malam
Sedangkan dalam hal olahraga, sebagian besar tetangga Swedia saya sangat menyukai olahraga. Walaupun hujan salju di luar, mereka tetap memiliki motivasi untuk pergi ke pusat kebugaran. Bahkan beberapa dari mereka selalu rutin pergi ke pusat kebugaran setiap hari biasa pukul 6 pagi sebelum memulai aktivitas, cukup sehat bukan? Topik pembicaraan mereka pun sering berisi tentang kebugaran dan olahraga baik laki-laki maupun perempuan. Selain orang Swedia, tetangga saya yang asli Jerman dan Austria pun begitu adanya.
Menghadapi kesendirian ber-Indonesia di Borås
Bagi saya, bertemu dengan orang Indonesia kenal maupun tidak, adalah suatu rezeki tersendiri bagi saya. Alhamdulillah, Sinta, Mba Meiti, Mas Joko, Mas Dwi, dan beberapa tamu kampus yang datang silih berganti di bulan Januari-Juni 2016 menjadi pengobat rindu saya akan ber-Indonesia. Saya pun memiliki keluarga Indonesia di Borås yaitu Mas Abi dan Mba Fera yang rumahnya 2.3 km dari kos-kosan saya. Di momen seperti Idul fitri saya biasa mendatangi rumah mas Abi ini. Di akhir pekan, kadang saya pergi ke Gothenburg untuk mengikuti acara Snacka PPI Gothenburg dan bertemu rekan-rekan sesama mahasiswa Indonesia di sana.
Bersama teman kerja dan tiga staff pertukaran dari ITB
Merasa sendiri? Tidak selalu. Puji syukur, saya dikelilingi oleh rekan kantor saya (orang Swedia dan Iran) dan rekan lab saya (orang Nigeria, India, dan Yunani) yang membuat saya tidak merasa sendiri. Kesempatan saya untuk bertukar pikiran dan mengamati attitude kerja dan bersosialisasi pun terbuka lebar (walaupun guyonan kurang lucu untuk orang Indonesia).
Lalu bagaimana saya biasanya mengenalkan Indonesia? Bali, ya. Jika saya bertemu orang dari negara lain yang tidak tahu tentang Indonesia, maka kata bantu pertama yang saya gunakan adalah Bali meskipun saya penduduk asli Yogyakarta. Sebagian besar orang asing yang saya temui mengenal Bali seperti mengenal Hawaii. Saya pun selalu mengatakan bahwa saya berasal dari Yogja/Jogja bukan Jogjakarta supaya mereka tidak salah kira dengan Jakarta (berdasar pengalaman pribadi saya beberapa kali menjawab).
Dari semua pengalaman saya hidup “sendiri” di Boras, perasaan sendiri itu bukanlah hal yang harus ditakuti selama kita membuka diri dengan tetap menjaga keIndonesiaan kita. Mata kita akan lebih peka terhadap kultur negara tersebut. Menurut saya, tidak ada manusia di dunia ini yang sempurna. Kebiasaan baik patut dicontoh, dan bisa kita bawa pulang. Sementara, kebiasaan yang kurang baik, bisa kita tinggalkan.