Sebagai mahasiswa SASCO (nama program master bidang Sosiologi) di Lund University, saya tidak hanya mendapat kesempatan untuk belajar dari dosen-dosen di program studi saya saja. Pada semester 3, saya dibebaskan untuk memilih beragam kelas yang ditawarkan di portal universityadmissions.se, termasuk kelas-kelas yang ditawarkan oleh departemen lain, fakultas lain, atau bahkan universitas lain. Ketika pendaftaran course untuk autumn semester mulai dibuka di portal University Admissions, saya langsung melihat daftar mata kuliah yang bisa saya ambil sebagai bagian dari studi master saya. Berbekal ketertarikan untuk belajar tentang kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), saya pun memberanikan diri untuk mendaftar dua kelas sekaligus yang membahas seputar AI, yaitu AI in Society dan Artificial Intelligence: An Intersectional Perspective. Mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya, kok mahasiswa sosiologi malah belajar tentang AI, sih? Emang yang dipelajari apa? Yakin bakalan paham dengan istilah-istilah teknisnya? Nah, saya juga sempat bertanya-tanya demikian. Oleh karena itu, saya ingin membagikan pengalaman saya selama mengikuti dua kelas ini. Semoga bisa membantu teman-teman sesama mahasiswa ilmu sosial yang ingin belajar tentang AI.
- Kenapa Belajar Tentang AI?
Pertama-tama, saya ingin terlebih dahulu memberi gambaran mengenai pentingnya mempelajari AI. Seperti yang kita tahu, perkembangan teknologi berbasis kecerdasan buatan sudah banyak memberi manfaat dalam membantu dan mempermudah pekerjaan manusia. Mulai dari mesin pencari (search engines), berbagai fitur media sosial, financial trading networks, serta beragam perangkat lunak yang kita pakai sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri, kemampuan teknologi AI juga dapat membantu mengatasi berbagai tantangan yang berat dan kompleks seperti mengurangi kecelakaan lalu lintas, memerangi perubahan iklim, atau memprediksi ancaman keamanan siber. Hal ini tidak terlepas dari kemampuan AI dalam melakukan unlimited loop of learning, reasoning, dan self-correcting. Akan tetapi, keberadaan teknologi berbasis AI dalam kehidupan sehari-hari juga membawa dampak pada perubahan sosial masyarakat. Tidak hanya itu, beberapa masalah sosial seputar ketidakadilan, rasisme, diskriminasi, distorsi sosial dan berbagai masalah sosial lainnya justru bisa semakin menguat karena keberadaan AI. Salah satu contohnya adalah adanya kemungkinan terjadinya echo chamber effect atau penyebaran paham atau ide tertentu secara berulang-ulang dalam suatu komunitas yang ditimbulkan oleh micro-targeted advertisements. Tentunya fenomena tersebut dapat mengganggu proses demokrasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam upaya pembuatan kebijakan atau regulasi terkait AI, keterlibatan ahli dari berbagai disiplin ilmu menjadi penting. Tidak hanya para ahli teknologi, untuk membuat kebijakan terkait AI pun dibutuhkan ahli di bidang sosiologi, politik, maupun hukum. Dari sinilah saya merasa perlu untuk mengambil kelas tentang AI sebagai bagian dari studi saya di Lund University.
- Pendekatan Multidisipliner Dalam Dua Kelas AI
Bisa dibilang, saya cukup nekad waktu mengambil dua kelas AI sekaligus. Bagaimana tidak? Jika dibandingkan mahasiswa teknik, wawasan saya seputar AI mungkin belum ada apa-apanya. Awalnya saya memang cukup kaget ketika melihat bahwa saya eligible untuk mendaftar dua kelas AI via portal University Admissions. Adapun yang membuat saya yakin untuk mendaftar kelas-kelas tersebut adalah karena dua kelas AI tersebut justru dinaungi oleh Faculty of Social Sciences, Lund University. Meskipun demikian, keduanya berfokus pada konteks yang berbeda. Kelas AI in Society berada di bawah naungan Graduate School, Lund University. Kelas ini berfokus pada pembahasan AI dalam konteks sosial, dengan mengusung topik-topik seputar penggunaan dan penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan (use and misuse of AI technology), efek yang disengaja dan tidak disengaja dari teknologi kecerdasan buatan (intended and unintended effects of AI technology), tata kelola dan regulasi (governance and regulation), serta hubungan internasional (international relations). Dosen yang mengajar di kelas ini tidak hanya berasal dari berbagai disiplin ilmu sosial-humaniora, melainkan juga dari fakultas teknik. Dengan demikian, pembelajaran dan pembahasan seputar AI jadi lebih inklusif dengan beragam perspektif yang ditawarkan.
Sementara itu, kelas Artificial Intelligence: An Intersectional Perspective berada di bawah naungan Department of Sosiology of Law, Lund University. Oleh karena itu, kelas ini lebih berfokus pada konteks sosial dan legal dari AI. Kelas ini memiliki empat modul, antara lain etnisitas, eksploitasi dan penindasan (ethnicity, exploitation and oppression); gender, tantangan demokrasi dan kehidupan berkelanjutan (gender, democratic challenges and sustainable life); manajemen populasi (population management); serta ajudikasi AI dan digitalisasi (adjudicating AI and digitalization). Sebagian besar pengajar di kelas ini berasal dari bidang sosiologi hukum. Akan tetapi, mahasiswa-mahasiswa di kelas ini berasal dari berbagai disiplin ilmu.
Dari dua kelas AI yang saya ikuti tersebut, saya menyadari betapa pentingnya pendekatan multidisipliner dalam mempelajari teknologi kecerdasan buatan. Kami jadi memiliki kesempatan untuk saling bertukar pikiran, berdiskusi dan berbagi pengetahuan baru sesuai bidang kami masing-masing. Saya juga belajar banyak konsep-konsep teknis yang sebelumnya tidak begitu saya pahami. Selain pendekatan multidisipliner yang inklusif, metode pembelajaran dua kelas tersebut tidak kalah menarik. Alih-alih sekadar belajar dan mendengarkan dosen, kami diberi tantangan untuk berdiskusi dan berdebat tentang kasus konkret yang berkaitan dengan AI dalam masing-masing seminar. Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis pun semakin terasah.
- The AI Lund Network & SamTech Network
Melalui dua kelas AI yang saya ikuti, saya berkesempatan mendapat akses untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh AI Lund, sebuah jaringan interdisipliner yang terdiri dari para pakar AI dari Lund University, sektor publik, dan swasta. Jejaring ini dibentuk untuk memfasilitasi berbagai proyek penelitian dan inovasi multidisipliner seputar teknologi AI. Kalau teman-teman tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang jaringan AI Lund dan tertarik untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan mereka, silahkan buka website ini ya: https://www.ai.lu.se/.
Selain AI Lund, ada pula SamTech Network yang berada di bawah naungan Department of Sociology, Faculty of Social Sciences, Lund University. Nah, kalau dibandingkan dengan AI Lund, SamTech lebih spesifik lagi fokus kajiannya. Mereka fokus pada pembahasan seputar digitalisasi, kecerdasan buatan (AI), robotika, maupun Internet of Things (IoT) dari perspektif ilmu sosial. Kalau teman-teman tertarik, kalian juga bisa berpartisipasi di jejaring ini. SamTech sering mengadakan workshop maupun seminar yang dibuka untuk umum. Siapapun boleh mendaftar, termasuk bagi yang belum memiliki pemahaman yang mendalam tentang teknologi-teknologi tersebut. Kalian bisa mengetahui informasi lebih lanjut seputar SamTech di sini: https://www.soc.lu.se/en/research/social-science-network-samtech.
Menurut saya, pembelajaran tentang AI dengan pendekatan multidisipliner menjadikan pembahasan dan perdebatan seputar AI tidak terbatas dan eksklusif untuk ahli di bidang teknik saja. Semakin inklusif pembahasan perkembangan teknologi AI, semakin terbuka luas pula kesempatan para ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk berkontribusi dalam mengantisipasi dan meregulasi teknologi AI agar tidak menimbulkan bahaya yang mengancam kehidupan manusia.
Nur Syamsiyah
MSc in Sociology
Lund University