Swedia adalah negeri yang menjunjung toleransi, termasuk kepada umat muslim di sana. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri rasisme masih menjadi tantangan di Swedia.“You can join my family for ifthar one day if it’s suitable for you. I have a really small family, so having additional guest makes it more fun.”
Saya hampir melonjak kegirangan membaca pesan Hafsa, kawan muslimah keturunan Bangladesh siang itu. Alkisah, saya iseng-iseng bertanya di grup messenger perkumpulan mahasiswa Muslim internasional di kampus saya. Penasaran dengan menu buka puasa Ramadhan mereka, saya lempar pertanyaan di grup. Tak dinyana, ada yang membalas dan malah japri mengundang buka bareng di rumahnya. Alhamdulillah, rezeki anak rantau.
Tapi tunggu, Bangladesh? Hahaha, jujur di lubuk hati terdalam, saya punya persepsi kurang menyenangkan terhadap makanan mereka, terutama gara-gara baunya yang heboh. Di apartemen saya, ada dua pelajar Bangladesh yang aroma bumbunya bakal menjajah seisi dapur sekali mereka masak dan menempel ke pakaian. Berhubung ini bulan Ramadhan, saya ingin melihat lebih dekat seperti apa sebenarnya masakan khas Ramadhan ala mereka.
Apartemen Hafsa terletak di bagian barat daya Stockholm bernama Vårberg. Area ini masih termasuk ke dalam distrik Skärholmen, yang merupakan salah satu kantong imigran Muslim besar di ibukota Swedia. Deretan bangunan beton hasil program Sejuta Rumah (Miljonprogrammet) tahun 1960-an menyambut saya.
Memasuki lantai 3, aroma rempah-rempah mulai menyeruak. Di balik balutan kerudung dan baju bercorak bunga, ibu Hafsa tampak sibuk menggoreng sesuatu di dapur. Belakangan setelah semua hidangan tersaji di atas meja, saya baru menyadari betapa banyak sekali makanan Bangladesh yang mirip Indonesia.
Tepat pukul 21.06 CET, saya berbuka bersama Hafsa dan kedua orang tuanya dengan sebiji kurma medjool berukuran besar. Tak lupa bhorhani, minuman yang terbuat dari yogurt dengan campuran sedikit garam hitam.
Selanjutnya, saya menyusuri satu per satu gorengan ala Bangladesh itu. Ada beguni, terong goreng berbentuk pipih. Ada piyaju, yaitu biji lentil merah yang ditumbuk dan dibumbui rempah-rempah seperti kunyit dan dan jeruk purut. Sekali gigit, saya langsung teringat lentho yang biasa melengkapi hidangan lontong balap Surabaya. Saya tertawa dalam hati karena rasanya benaran sama. Bedanya, lentho terbuat dari kacang tolo atau bisa kacang hijau yang ditumbuk agak kasar, lalu dicampur dengan parutan singkong.
Di sudut lain saya mencicip aloo tikki, camilan yang bentuk dan rasanya persis perkedel. Terbuat dari kentang rebus yang dihaluskan, orang Bangladesh membumbuinya dengan rempah-rempah dan di tengahnya ada irisan telur rebus. Ayah dan ibu Hafsa memilih menyantap red bown chana terlebih dahulu, lalu mencampurnya dengan sup tulang sumsum sapi yang enak pol. Di atasnya, mereka menaburkan jhalmuri, sejenis nasi yang dikembungkan seperti pop corn. Hafsa bilang, keluarganya sebenarnya jarang makan daging. Kebiasaan gaya hidup hampir vegetarian ini terbentuk sejak ia kecil, lantaran sulitnya menemukan daging halal di Stockholm.
“Dulu di Stockholm, tukang daging sedikit sekali. Bayangkan di sini (Skärholmen), cuma ada 2 orang. Tentu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan daging halal orang Islam waktu itu,” ujarnya.
Sang ayah sampai harus menawarkan pembelian dengan harga lebih mahal agar mendapat jaminan pasokan daging halal selama setahun bagi keluarganya. Namun kini, menemukan bahan makanan halal bukan hal yang sulit di Stockholm. Jumlah penjual daging dan makanan halal bertambah seiring dengan naiknya angka imigran Muslim di Swedia. Meski tak sebanyak di Indonesia, jika mau meluangkan waktu, toko halal mudah dicari dan tersebar seantero ibu kota. Sebut saja Tensta, Kista, Husby, bahkan di kawasan wisata kota tua Gamla Stan.
Maka tantangan di Negeri Utara ini ialah menjaga identitas keislaman. Sejak umur 1,5 tahun, Hafsa dan kakak perempuannya diboyong ke Stockholm. Sebagai generasi kedua imigran, generasi muda Muslim yang dibesarkan di Swedia seperti dirinya mengalami friksi prinsip dan budaya bahkan sampai urusan perut.
Karena dibesarkan di lingkungan yang menganut kebebasan ala Swedia sejak pra sekolah, sebagian kawan-kawan muslimnya mengabaikan status kehalalan makanan. Padahal, mengkonsumsi makanan halal itu bisa diupayakan. Sebut saja sekolah-sekolah dasar di Swedia yang pasti menyediakan opsi makan siang berupa ikan dan vegetarian, selain menu daging.
“Jadi, bagaimana bisa orang yang mengaku muslim dan dibesarkan di negara muslim tapi begitu sampai sini bilang, oh maaf, aku tidak makan ayam atau daging sapi yang disembelih dengan nama Allah.” Seketika saya yang lahir dan besar di Indonesia merasa tertohok, teringat sebungkus burger dan Asian Box ayam tidak halal yang pernah saya telan beberapa bulan sebelumnya.
Swedia di Antara Toleransi, Rasisme dan Islamophobia
Usai berbuka, kami salat berjamaah Maghrib dan Isya di kamar Hafsa. Selisih waktu di antara keduanya sekitar 1,5 jam, jadi kami lanjut diskusi lagi. Mulai obrolan cewek perkara kapan nikah, sampai rasisme dan Islamophobia di Swedia.
“Do you know that in Sweden, people might be racist but in a low-key?” tanya Hafsa.
Saya mengernyitkan dahi? Rasis namun sembunyi-sembunyi? Hafsa menyebut, tak jarang ia mendapat tatapan tak menyenangkan setiap berjalan di kawasan elit seperti Östermalmstorg. Seorang kawan di kelasnya yang berkulit putih, kerap melontarkan komentar miring tentang Muslim. Di level perpolitikan, partai esktrem kanan Socialdemokraterna (SD) yang konsisten menyuarakan anti-imigran mendapatkan suara pemilu sebesar 17,6% suara September 2018 silam, melampaui capaian 12,9% pada tahun 2014.
Saya jadi teringat dua sesi kelas mata kuliah Intercultural Communication tentang ‘Sejarah Ras Dan Kulit Putih di Swedia’. Dosen saya, Tobias Hübinette, kalangan aristokrasi Eropa menggunakan kata ‘ras’ untuk menunjukkan garis kemurnian darah sejak abad pertengahan. Konsep ini juga semakin digunakan untuk menggambarkan perbedaan fisik dan biologis antara manusia dalam kaitannya dengan Yahudi dan Muslim, mualaf di Eropa, penduduk asli, budak, dan orang campuran di koloni Eropa.
Swedia sendiri menggunakan konsep ras sejak pertengahan 1700-an sebagai istilah ilmiah dan pada 1800-an bidang penelitian ilmu rasnya sendiri melalui bapak taksonomi Carl Linnaeus dan lain-lain. Singkat kata, Swedia memang sangat ‘tergila-gila’ meneliti kemurnian ras, yang mungkin secara tidak sadar menjadikannya rasis
Terlepas dari kisah-kisah kurang menggembirakan itu, setidaknya Swedia adalah negara yang menjunjung tinggi toleransi. Jarang atau bahkan hampir tidak terdengar larangan beribadah di sini. Mereka juga tak akan meneriaki atau menarik hijab muslimah seperti di belahan Eropa lainnya.
Di sisi lain, kesempatan kerja bagi perempuan muslimah juga terbuka besar termasuk di ranah pemerintahan. Saya biasa melihat perempuan berkerudung menjadi masinis kereta api bawah tanah alias tunnelbana atau petugas keamanan di fasilitas umum.
Kesimpulan saya sih: di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung. Menjadi muslim dengan segala atribut, hak, dan kewajibannya memang membawa konsekuensi tersendiri. Namun bukankah, Tuhan berjanji akan mempermudah urusan hamba-Nya yang berniat dan berbuat baik kepada siapapun, etnis, ras, dan agama apapun tanpa kecuali? Karena begitulah bentuk kongkrit prinsip Islam rahmatan lil alamin.
Artika Rachmi Farmita
Master Student in Media Management
KTH Royal Institute of Technology, Stockholm
Tulisan dimuat di Cerita Berkesan Ramadhan Detik.com
https://news.detik.com/berita/d-4550174/swedia-antara-toleransi-tinggi-dan-tantangan-rasisme-untuk-muslim
Editor: Ria Ratna Sari