Di Swedia Utara, umat muslim berpuasa hampir 22 jam. Matahari tidak pernah benar-benar tenggelam di musim panas. Buka puasa, langsung sahur.Ini adalah pengalaman hidup berharga ketiga yang saya miliki dapat menjalani ibadah puasa di luar negeri. Saya pernah merasakan nikmatnya berpuasa di Amerika Serikat 2013 dan Belanda 2015 silam. Jika Ramadhan sebelumnya saya hanya beberapa hari di luar negeri sebagai musafir, Ramadhan kali ini begitu istimewa karena saya tinggal di Swedia Utara sebagai pelajar Indonesia di Umeå University sejak Agustus 2018 lalu.
Menjadi muslim di Swedia Utara, tepatnya di Kota Umeå, adalah kenikmatan yang luar biasa karena saya begitu mudah dikenali oleh komunitas muslim di sini. Selain karena saya berasal dari Indonesia, penampilan saya yang kerap mengenakan peci hitam dan sarung juga membuat saudara-saudara muslim dari Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika memanggil saya dengan sebutan ‘Indonesia’, ‘Agung’, atau ‘Agung Indonesia’. Sejauh ini, saya adalah satu-satunya mahasiswa muslim laki-laki dari Indonesia di Kota Umeå.
Saya tidak pernah menduga bahwa Tuhan menakdirkan untuk menitipkan saya hidup di wilayah yang tidak jauh dari Kutub Utara. Tentu ada beberapa kota yang lebih dekat dengan kutub utara dibanding Umeå, yaitu Luleå dan Kiruna, dimana ada sejumlah pelajar Indonesia yang lebih tangguh dibanding saya dalam menghadapi musim dingin selama sekitar 7 hingga 8 bulan.
Matahari setia menyinari Bumi Swedia Utara
Awal Ramadhan di Umeå dimulai pada 6 Mei 2019. Namun, sehari sebelumnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan komunitas muslim Umeå mengenai kapan waktu Shubuh dan Maghrib dimulai karena Ramadhan kali ini bersamaan dengan musim panas. Itu artinya, matahari benar-benar ada di bumi bagian utara sehingga siangnya begitu lama, sekitar 21-22 jam. Perbedaan pendapat tersebut berakar pada kenyataan bahwa di sini tidak ada malam dalam makna yang sebenarnya.
Cahaya matahari selalu saja kelihatan sehingga malam di sini hanya seperti petang hari. Selain itu, ada kemajemukan pandangan antar ulama mengenai berapa waktu minimal yang diperlukan seorang muslim untuk beribadah selama Ramadhan sejak Maghrib hingga Shubuh. Ada yang menyatakan minimal 1 jam, 2 jam, 3 jam, dan bahkan ada yang bilang 6 jam. Atas dasar tersebut, jika waktu minimal untuk ibadah tidak dapat dipenuhi, sebagian ulama menyatakan bahwa seorang muslim dianjurkan untuk mengikuti fatwa ulama mengingat bahwa waktu puasa terlampau lama.
Menyikapi hal tersebut, komunitas muslim di sini, termasuk saya, tidak menggunakan fatwa ulama mengenai estimasi jadwal puasa sebagaimana dipakai oleh muslim yang tinggal di wilayah selatan. Kami tetap berpuasa dengan menyesuaikan waktu terbit dan tenggelamnya matahari di Swedia Utara, yaitu dimulai pada sekitar pukul 02.00 dan berakhir pada pukul 22.00 (20 jam) untuk pertengahan Ramadhan. Untuk akhir Ramadhan, diperkirakan kami akan mulai berpuasa sejak sekitar pukul 01.30 dan berbuka puasa pada sekitar pukul 23.00 (hampir 22 jam). Meski demikian, kami juga tetap menghormati saudara-saudara muslim yang menggunakan fatwa ulama sehingga mereka memiliki waktu berbuka puasa yang berbeda.
Masjid sebagai pemersatu, tapi masih perlu dibantu
Untuk memelihara dan menguatkan persatuan di antara komunitas muslim, kami berupaya melaksanakan ibadah salat tarawih di masjid yang ukurannya tidak seluas masjid-masjid di Indonesia, Islamiska Foreningen I Vasterbotten. Komunitas muslim Umeå sedang berjuang membangun masjid sendiri karena dengan jumlah muslim sebanyak lebih dari 6.000 orang, masjid yang saat ini kami gunakan hanya bisa menampung sekitar 25 orang saja.
Hal ini pula yang membuat komunitas muslim Umeå meminjam sebuah lapangan olahraga untuk melaksanakan ibadah Salat Jumat karena kapasitas masjid yang tidak mendukung. Sebagai bagian dari komunitas muslim Umeå, saya berharap sekali agar saudara-saudara saya di Indonesia berkenan membantu kami mewujudkan masjid impian kami.
Kebetulan, saya adalah salah satu orang dipercaya untuk menjadi nara hubung berkaitan dengan proyek pembangunan masjid di Umeå yang memerlukan dana sekitar 17 juta Swedish Krona atau sekitar 25 miliar rupiah. Dengan keadaan yang menantang ini, kami tetap menggunakan masjid untuk salat berjamaah, termasuk untuk Salat Jumat karena kami tidak bisa menggunakan lapangan olahraga yang bisa kami pakai.
Sebab, jadwal penggunaannya berbenturan dengan para penggunanya yang biasa beraktivitas pukul 13.00, sementara rangkaian Salat Jumat kami mulai juga di jam yang sama. Menjadi wajar jika kami harus berdesak-desakan berjamaah di masjid, dan terkesan marathon di malam hari selama Ramadhan karena jeda antara Maghrib dan Shubuh sangat sebentar.
Swedia Utara berbuka, Indonesia sahur
Biasanya, kami mulai berdatangan untuk Salat Maghrib sekitar pukul 22.00. Lalu, sekitar pukul 22.40 kami melanjutkan Salat Isya disusul dengan Salat Tarawih 8 rakaat dan Salat Witir 3 rakaat. Pengalaman saya, kami kembali dari masjid sekitar pukul 23.30. Kami hanya punya sedikit waktu untuk makan dan minum hingga sampai masuk waktu Subuh sekitar pukul 02.00.
Tentu saja, siklus ini akan berubah cepat dari pertengahan hingga akhir Ramadhan sehingga waktu berbuka dan sahur kami akan semakin singkat. Menariknya, saat beberapa rekan saya di Indonesia mengabari saya untuk berbuka, di sini masih siang hari: pukul 17.00 atau 19.00, misalnya. Lalu, saat saya berbuka puasa di masjid sekitar pukul 22.00 sekaligus agar bisa berjamaah Salat Maghrib, biasanya sendirian, rekan-rekan saya di Indonesia baru memulai sahur sekitar pukul 03.00.
Boleh minum, tapi tidak boleh makan?
Menjelaskan tentang tantangan puasa di Swedia Utara kepada orang-orang di Indonesia masih saja sulit buat saya. Mereka belum benar-benar percaya bahwa di sini tidak ada malam karena matahari memang ada di belahan bumi utara. Ini berkebalikan saat professor saya menanyai saya tentang apakah saya akan tetap berpuasa di musim panas. Beliau, sebagaimana orang-orang Swedia pada umumnya, mengerti betul penjelasan saya bahwa sebagai seorang muslim saya tidak bisa meninggalkan ibadah puasa karena ini adalah perintah Tuhan.
Lucunya, professor yang juga adalah supervisor saya menyarankan agar saya minum agar tidak dehidrasi karena sejauh yang beliau tahu, puasa itu dilarang makan, bukan dilarang minum. Kami berdua sontak tertawa lepas setelah saya menjelaskan bahwa puasa bagi seorang muslim itu juga mencakup larangan untuk minum dari terbit hingga terbenam matahari.
Tidak sampai di situ, ternyata professor saya juga tahu bahwa ada keringanan untuk tidak berpuasa bagi perempuan yang berhalangan, orang yang sedang dalam perjalanan, dan orang yang sakit. Di awal Ramadhan saya memang sakit, karena saya duga perubahan cuaca dari musim dingin yang mencapai -27 derajat Celsius ke musim panas yang relatif hangat antara 4 sampai 24 derajat Celsius. Untuk kedua kalinya, kami pun tertawa setelah saya menjelaskan bahwa kalaupun saya tidak berpuasa karena alasan sakit, saya harus menggantinya di hari yang lain, dan sakit bukanlah dalih untuk terbebas dari kewajiban berpuasa.
Agung Widhianto
Master Student in Political Science
Umeå University, Sweden
Tulisan dimuat di Cerita Berkesan Ramadhan Detik.com
https://news.detik.com/berita/d-4564444/unik-puasa-tanpa-malam-hari-di-swedia-utara
Editor: Ria Ratna Sari