Sebagai orang tua yang sudah pernah menyekolahkan anaknya di Swedia dan harus kembali ke Indonesia, jujur saya takut. Di Swedia, anak saya yang saat pertama kali datang ke sini berumur empat tahun, bersekolah di sekolah internasional dengan biaya yang sangat murah, hanya sekitar Rp 300.000,00 per bulan tanpa uang pendaftaran, tanpa uang pangkal, tanpa uang kegiatan, dan uang-uang lainnya. Bahkan sekarang saya sudah tidak pernah menerima surat tagihan dari sekolahnya lagi. Fasilitasnya? Jangan ditanya. Di sana terdapat lapangan dan area bermain outdoor yang luas, beragam fasilitas permainan indoor, gimnasium yang besar dengan fasilitas pendukung yang lengkap untuk pelajaran olahraga, serta perpustakaan dengan banyak sekali buku. Selain itu, dalam satu kelas tidak hanya ditangani seorang guru (paling tidak dua), anak-anak juga mendapatkan makan siang yang bergizi, mereka juga sering melakukan field trip (entah ke taman, museum, atau kantor pemadam kebakaran) tanpa dipungut biaya tambahan. Kira-kira, jika saya ingin menyekolahkan anak saya ke sekolah yang memiliki semua fasilitas tersebut di Indonesia, berapa biaya yang harus saya keluarkan?
Untuk mengantisipasi berapa dana pendidikan yang harus saya siapkan untuk anak saya sekembalinya kami ke Indonesia nanti, saya sudah melakukan survei ke banyak sekolah baik sekolah internasional maupun nasional plus. Ternyata biayanya fantastis! Orang tua murid perlu merogoh kocek puluhan hingga ratusan juta rupiah per tahun untuk membiayai anaknya bersekolah di sekolah-sekolah itu. Mungkin sebagian Anda akan bergumam, “Ya sekolahkan saja di sekolah negeri, kan gratis (setidaknya sampai SMP).” Kembali lagi, saya sedang mencari sekolah yang paling tidak memiliki fasilitas dan kurikulum yang mendekati sekolah anak saya di Swedia sekarang. Apakah sudah ada sekolah negeri di Indonesia yang seperti itu? Utamanya kurikulum, saya merasa sangat cocok dengan apa yang diterapkan di sekolah anak saya sekarang. Saya melihat sendiri anak saya menjadi lebih percaya diri, mandiri, memiliki semangat belajar yang tinggi, serta sangat cinta membaca. Ya, anak saya yang sekarang berusia lima tahun itu sudah cukup mahir membaca. Padahal kelihatannya pekerjaannya di sekolah hanya main-main saja, sementara yang saya lakukan di rumah hanya rutin membacakannya buku sebelum tidur. Selain itu, penerapan Bahasa Inggris sebagai pengantar sehari-hari juga menjadi poin penting bagi saya karena saya sangat meyakini bahwa Bahasa Inggris adalah gerbang pertama yang harus dilalui seseorang jika ingin berkolaborasi dengan dunia global.
Sekarang mari kita lihat kondisi pendidikan di Swedia secara umum baik dari sisi keterjangkauan maupun kualitas. Di sini, meski pemerintah hanya mewajibkan masyarakatnya bersekolah hingga 9th grade (sekitar usia 15-16 tahun), namun warga Swedia bisa menikmati pendidikan gratis hingga S2. Bagaimana dengan S3? Program PhD di swedia dikategorikan sebagai pekerjaan, sehingga alih-alih membayar uang kuliah, mahasiswa S3 di Swedia justru digaji. Sementara itu anak-anak yang belum memasuki usia wajib sekolah (antara 5-6 tahun), bisa ikut bersekolah dengan membayar biaya pendidikan (atau mungkin lebih tepat disebut biaya daycare) yang besarannya disesuaikan dengan pendapatan orang tua. Jadi bisa dibilang bahwa pada dasarnya seluruh pendidikan di Swedia adalah gratis di semua jenjang.
Pertanyaannya sekarang apakah kualitas pendidikan di semua sekolah tersebut sama? Saya bisa bilang ya, kurang lebih. Dilihat dari maksud didirikannya sekolah internasional misalnya, tujuannya bukan untuk memberi opsi pendidikan yang lebih berkualitas dengan biaya fantastis untuk warga Swedia, tapi ditujukan untuk anak-anak dari keluarga “warga Swedia sementara” seperti kami agar mereka bisa lebih mudah beradaptasi. Oleh karena itu bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Inggris dan kurikulum yang digunakan adalah kurikulum internasional sehingga ketika anak-anak itu baru datang ke Swedia maupun kemudian keluar dari Swedia, penyesuaiannya tidak terlalu sulit. Sementara itu untuk orang Swedia asli sendiri serta imigran yang akan menetap selamanya di Swedia, mereka wajib bersekolah di sekolah lokal yang menggunakan bahasa pengantar serta kurikulum Swedia. Hal ini tentu tidak bisa diterima jika ada ketimpangan mutu pendidikan antara sekolah lokal dengan sekolah internasional. Bagaimana dengan penguasaan Bahasa Inggris? Ternyata, meskipun sekolah lokal di Swedia tidak menggunakan pengantar Bahasa Inggris, tapi bisa dipastikan bahwa para pelajar Swedia saat ini bisa berbahasa Inggris dengan baik. Buktinya, hampir 90% warga Swedia bisa menggunakan Bahasa Inggris dan berdasarkan laporan EF English Proficiency Index terbaru tahun 2023, Swedia menempati peringkat ke-6 di dunia dari 113 negara. Oleh karena itu, saya yang tidak bisa Bahasa Swedia sama sekali pun tidak mengalami kendala yang berarti di sini. Hanya sesekali saja saya menemukan warga Swedia yang tidak bisa berbahasa Inggris dan orang tersebut pasti sudah sangat berumur.
Sampai di sini mungkin Anda akan bertanya-tanya apakah di Swedia benar-benar tidak ada sekolah swasta sehingga tidak ada sama sekali sekolah yang berbayar? Jawabannya ada. Baik sekolah lokal maupun sekolah internasional ada yang dimiliki oleh pemerintah dan ada pula yang dimiliki oleh swasta. Namun, kebanyakan sekolah swasta di Swedia sudah mendapatkan pendanaan publik, sehingga siswa tidak lagi dibebankan biaya pendidikan. Hanya tersisa sedikit saja sekolah swasta yang masih mengenakan tuition fee kepada muridnya sehingga sekolah-sekolah tersebut menjadi pilihan yang sangat tidak populer. Ya untuk apa bayar sekolah mahal-mahal jika yang gratis saja kualitasnya sama saja bukan? Kondisi ini berbanding terbalik dengan Indonesia di mana orang tua berlomba-lomba dan bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah mahal demi mendapatkan mutu pendidikan yang lebih baik.
Kita bisa bersepakat bahwa pemerataan pendidikan yang berkualitas dan bisa diakses semua kalangan adalah hal yang sangat penting untuk menyelesaikan masalah terbesar sebuah negara, yaitu kemiskinan dan kesenjangan sosial. Kita juga tidak perlu menafikan bahwa Indonesia juga sudah berusaha menjalankan amanat Education for All alias Pendidikan Untuk Semua (PUS) dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) itu. Namun, bisakah kita berharap bahwa suatu hari nanti pelaksanaan PUS ini bisa sejauh apa yang dilakukan di Swedia?
Dalam hal mengadaptasi kurikulum sepertinya bukan hal yang terlalu sulit. Namun realisasinya di mana dibutuhkan tenaga pengajar yang mumpuni serta menyediakan fasilitas pendukung yang diperlukan tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jangankan untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar bisa setara dengan sekolah bertaraf internasional, untuk menjaga mutu pendidikan yang sudah baik secara nasional saja ternyata dananya masih kurang. Di SMK negeri tempat ibu saya mengajar misalnya, Beliau bercerita bahwa sekolahnya tersebut sudah mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tidak boleh memungut biaya lagi dari siswanya. Sayangnya, bantuan tersebut tidak cukup untuk membiayai beberapa praktikum, alhasil praktikum tersebut ditiadakan. Kita dihadapkan pada realita bahwa kualitas pendidikan harus berkompromi dengan ketersediaan dana. Ditambah kondisi Indonesia dengan luas wilayah yang begitu besar serta jumlah penduduk yang mencapai 270 juta jiwa (27 kali lipat lebih banyak daripada masyarakat Swedia yang hanya sekitar 10 juta jiwa), semakin banyak lah dana serta waktu yang dibutuhkan untuk pemerataannya kelak.
Lalu dari mana Swedia mendapatkan uang untuk mewujudkan pendidikan gratis berkualitas yang merata di semua jenjang pendidikan itu? Jawabannya tentu saja pajak. Pajak penghasilan terendah yang ditarik oleh pemerintah Swedia dari warganya adalah 29%, namun kebanyakan warga di sini membayarkan pajak 49%-60% (tergantung dari besar pendapatannya). Sementara besar pajak penghasilan di Indonesia berkisar antara 5%-30% saja. Kalau begitu, kenapa tidak naikkan saja pajak penghasilan di Indonesia? Eits, enak saja! Warga Swedia dengan senang hati membayar pajak meski jumlahnya sangat besar karena manfaat dari pajak yang mereka bayarkan benar-benar kembali kepada mereka. Bukan hanya di bidang pendidikan, tapi juga kesehatan, jaminan pensiun, tunjangan parental leave, bahkan hingga hal kecil seperti sarana rekreasi gratis, dan banyak lagi. Berdasarkan data dari Transparency International tahun 2022, Swedia menempati peringkat ke-5 negara terbersih dari korupsi dari 180 negara dengan nilai Corruption Perceptions Index 83 (catatan: 0 = sangat korup; 100 = sangat bersih). Sementara itu skor Corruption Perceptions Index Indonesia adalah 34 yang menempatkannya di peringkat ke-110. Memberantas korupsi dan mendapatkan kepercayaan masyarakat adalah hal yang sangat rumit dan tidak bisa selesai dalam waktu singkat. Jadi kesimpulannya, sepertinya agak sulit bagi Indonesia untuk melakukan lompatan besar dalam mewujudkan Education for All sebenar-benarnya seperti di Swedia, namun cita-cita itu harus terus ada. Untuk sementara biarlah orang yang berkelebihan materi itu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah mahal. Itu adalah hak dan privilege mereka. Kita harus tahu batasan kekuatan finansial kita sembari terus mendukung pendidikan anak sesuai kemampuan, karena sejatinya pendidikan bukan hanya terjadi di sekolah tetapi juga di rumah. Namun, pemerintah harus terus berbenah diri untuk menutup celah korupsi dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Saat kepercayaan masyarakat telah didapatkan, bukan hal mustahil untuk sedikit demi sedikit menaikkan pajak demi meningkatkan kualitas pendidikan. Sampai saatnya nanti tidak ada lagi ketimpangan kualitas pendidikan di seluruh daerah di Indonesia, dari jenjang sekolah dasar hingga universitas, apapun bentuk sekolahnya, dan dapat diakses secara cuma-cuma bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.
Penulis: Gita Ayu Pratiwi