Keterangan foto: Salah satu taman di sudut Lappis
Sebagai seseorang yang lahir dan tinggal di ibukota Jakarta tentunya akan sulit untuk harus tinggal di sebuah tempat yang lebih kecil, terpencil dan terpisah dari kehebohan hiruk pikuk ibukota.
Saya masih ingat satu tahun lalu di bulan Juni 2019 ketika sedang deg-degan untuk mendapatkan hasil pengumuman mengenai tempat tinggal yang akan saya dapatkan selama kuliah S2 nanti. Alhamdulillah kampus saya, KTH Royal Institute of Technology, membantu mencarikan tempat tinggal bagi para calon mahasiswanya. Saya cukup mengisi formulir yang diberikan dengan beberapa opsi tempat tinggal yang ditawarkan. Namun, pada akhirnya KTH yang akan menentukan.
Beberapa minggu berlalu, hari penentuan itu datang. Takdir menentukan saya tinggal di Lappis. Langsung saja saya kepoin segala hal tentang Lappis, dari mulai mencari-cari info di Google, di Instagram PPI Swedia, PPI Stockholm, sampai ke YouTube. Impresi pertama yang saya dapatkan adalah “waduh, masa tinggal di tempat terpencil dan dikelilingi hutan. Bisa survive gak yah?”. Pikiran tersebut menghantui hingga akhirnya saya tiba di kamar di Lappis. Singkat kata, tiga hari berlalu dan saya terbiasa dengan kehidupan baru ini. Justru saya senang sekali tinggal di keadaan seperti ini.
Hari silih berganti, pikiran negatif pun silih berganti menjadi positif. Perlahan-lahan saya sangat terkesan dengan suasana di Lappis. Saking senangnya, saya masih belum mau pindah dari sini. Kontrak dengan KTH saya perpanjang.
Penasaran kan apa sih enaknya tinggal di Lappis?
Alasan pertama adalah salah satu alasan yang pada awalnya membuat saya skeptis, yaitu Lappis diselimuti oleh hutan. Maklum saja, di Indonesia kan hutan saya asosiasikan dengan tempat yang gelap dan menyeramkan ketika malam hari. Namun, setelah hampir satu tahun disini, saya justru menyukai dengan hijaunya daerah sekitar Lappis. Karena fakta ini lah yang membuat saya lebih giat untuk jogging, tentunya tidak ketika musim dingin. Luar biasa sekali, di ibukota negara, saya masih bisa menemui lahan hijau.
Keterangan foto: Salah satu danau dekat Lappis
Stockholm memang adalah ibukota dari negara Swedia. Layaknya ibukota, Stockholm memiliki luas geografis yang lebih besar dan populasi penduduk yang lebih banyak. Jumlah turis internasional pun sangat banyak disini. Stereotip tentang ibukota biasanya adalah dipenuhi oleh gedung-gedung tinggi dan kurangnya penghijauan. Namun, tidak untuk Stockholm. Di kota kelahiran penghargaan Nobel ini masih banyak sekali lahan-lahan hijau. Taman ada dimana-mana, begitu pula dengan hutan. Salah satu alasan inilah yang menjadikan Stockholm pernah dinobatkan sebagai the first European green capital oleh the European Commission di tahun 2010.
Keterangan foto: Pemandangan asri sekitar Lappis
Lappis juga memiliki pantai atau saya lebih senangnya menyebut pantai pribadi. Karena memang letaknya sangat dekat sekali dengan tempat tinggal, Saya hanya butuh waktu kurang lebih 10 menit jalan kaki ke belakang apartemen. Layaknya pantai, ketika musim panas banyak orang yang berenang atau sekedar duduk-duduk atau berjemur di bawah hangatnya sinar matahari. Bahkan pantai Lappis pernah menjadi saksi bisu halal bi halal beberapa mahasiswa Indonesia di Stockholm ketika hari Lebaran 2020.
Letak geografis Lappis sangat menguntungkan sekali ketika wabah pandemik melanda. Ketika orang-orang harus mengurung diri di rumah karena harus physical distancing, para mahasiswa di Lappis tidak perlu khawatir. Kami bukan tinggal di daerah sibuk, sehingga tidak banyak orang berkeliaran. Setiap sore saya tetap melakukan aktivitas jalan atau jogging di hutan sekitar Lappis. Tidak perlu khawatir bertemu dengan manusia lainnya, karena namanya juga hutan, yang ditemui hanyalah pepohonan yang rindang dan udara yang asri.
Fasilitas-fasilitas yang berada di Lappis ini sangatlah lengkap. Kalau ingin belanja kebutuhan makanan sehari-hari, mahasiswa bisa jalan kaki ke supermarket ICA. Jika lagi malas masak dan ingin beli makanan jadi seperti kebab, kentang goreng, nasi dengan lauk yang beragam, pizza, dsb, disini ada restoran Professorn. Kalau lagi “ngidam” makanan Asia tinggal jalan kaki ke Sushi Garden. Jadi, tidak perlu khawatir mengenai perut.
Tidak hanya kebutuhan makanan yang bisa terpenuhi disini, namun juga kebutuhan fisik. Di Lappis ada gym indoor yang letaknya dekat sekali dengan ICA, Professorn dan Sushi Garden. Meskipun saya bukan member di gym tersebut, tapi menurut beberapa teman, kualitas gym di Lappis cukup bagus. Namun tentu saja tidak bisa dibandingkan apple-to-apple dengan gym di luaran sana. Di dekat Lappis juga ada gym outdoor yang biasanya digunakan ketika musim semi dan musim panas. Gym outdoor ini hanya menyiapkan beberapa tiang fungsional yang bisa mendukung beberapa gerakan olahraga seperti pull up, dip in, push up, dsb. Hampir setiap sore saya datang ke outdoor gym ini dan latihan selama setidaknya 10-15 menit. Banyak juga orang-orang yang sedang jalan kaki dan mampir sebentar untuk melakukan pull up sebanyak 2 set dan kemudian lanjut jalan lagi. Sepertinya outdoor gym ini sangat lazim di Swedia ini, makanya tidak heran kalau fisik orang-orang Swedia bagus-bagus.
Keterangan foto: Outdoor gym sekitar Lappis
Masih berkaitan dengan kegiatan olahraga, di Lappis juga disediakan lapangan basket dan meja tenis meja. Kedua fasilitas ini bisa digunakan kapan saja dengan prinsip siapa cepat dia dapat. Namun, mahasiswa harus membawa perlengkapan lainnya sendiri seperti bola basket, bat serta bola untuk tenis meja.
Lalu bagaimana dengan fasilitas mencuci? Disini disediakan lebih dari dua tempat untuk mencuci pakaian. Satu tempat memiliki setidaknya empat mesin cuci beserta empat mesin pengering baju. Ada juga yang disediakan fasilitas untuk menyetrika baju. Untuk menghindari adanya jadwal bentrok ketika ingin mencuci, mahasiswa wajib untuk booking schedule untuk mencuci yang prosesnya sangat simple dan tidak akan memakan waktu lebih dari 30 detik. Waktu yang diberikan setiap mencuci adalah kurang lebih dua jam yang menurut saya lebih dari cukup. Tiap bulannya, setiap mahasiswa dibatasi untuk mencuci pakaian sebanyak empat kali saja.
Dari tadi saya menceritakan fasilitas di luar kamar, lalu bagaimana dengan fasilitas kamar dan dapur?
Saya tinggal di tipe kamar single corridor room, jadi dalam satu koridor ada beberapa kamar. Di koridor saya ada 13 kamar dengan masing-masing kamar seluas kurang lebih 18 m2. Awalnya memang saya merasa kok kecil banget, bahkan kamar tidur saya di Jakarta bisa dikatakan 3x lebih luar dari kamar di Lappis. Namun, saya mau tidak mau menerima keadaan layaknya seorang mahasiswa. Setidaknya kamar mandi berada di dalam kamar. Yang membuat saya jatuh cinta dengan kamar adalah pemandangan di luar jendela yang indah sekali di segala musim. Ini udah lebih dari cukup untuk saat ini. Di Lappis juga terdapat kamar untuk keluarga juga lho, jadi tidak melulu single corridor room.
Keterangan foto: Penampilan kamar saya di Lappis
Kemudian fakta bahwa dapur digunakan untuk rame-rame merupakan juga salah satu hal yang menarik untuk saya. Di dapurlah pertukaran budaya sesama mahasiswa internasional terjadi, di dapur lah percakapan-percakapan dengan mahasiswa internasional terjadi, di dapur lah interaksi dengan teman-teman koridor terjadi. Sering kali saya masak bareng teman-teman koridor yang berasal dari negara yang berbeda-beda, dan tentunya saling mencicipi makanan. Beberapa kali juga kami mengadakan makan malam bersama dimana tiap mahasiswa memasak makanan khas dari negara masing-masing. Disinilah keakraban teman-teman koridor terjalin. Tetapi, tentu saja kondisi masing-masing koridor berbeda-beda tergantung dari personaliti masing-masing penghuni. Alhamdulillah selama saya tinggal di koridor ini, saya mendapatkan teman-teman koridor yang supel dan ramah.
Keterangan foto: Dapur di koridor saya
Alasan terakhir yang tidak boleh dilupakan mengenai hal positif di Lappis adalah sarana transportasi yang memadai. Transportasi yang berada di Lappis adalah bus. Namun, jika ingin pergi menggunakan metro atau kereta bawah tanah, stasiunnya terletak di Stockholm University, yang hanya berjarak 10 menit dengan jalan kaki dari Lappis. Meskipun KTH berjarak kurang lebih 2 km dari lappis, namun hal ini tidak menjadi masalah untuk saya. Karena saya butuh waktu 20 menit saja menggunakan bus dan metro untuk sampai ke KTH. Ketika musim panas biasanya saya ke kampus naik sepeda yang memakan waktu 45 menit melewati hutan yang asri dan rindang.
Keterangan foto: Salah satu halte bus di Lappis
Keterangan foto: Stasiun metro yang terdekat dengan Lappis
Nah gimana nih, apakah alasan-alasan yang saya sebutkan sudah cukup merepresentasikan rasa kagum saya dengan Lappis?
Semoga pengalaman pribadi saya mengenai kehidupan di Lappis ini bisa memberikan informasi yang cukup bagi teman-teman calon mahasiswa baru di Stockholm. Tentu saja, saya dan teman-teman mahasiswa Indonesia yang tinggal di Lappis berharap akan ada penambahan jumlah mahasiswa Indonesia di daerah yang keren ini. Saya sarankan teman-teman untuk melihat Instagram stories mengenai Lappis yang saya buat untuk KTH di https://www.instagram.com/stories/highlights/17932523077370098/?hl=en
Keterangan foto: Makan malam sebelum tahun baru 2019 beberapa mahasiswa di Swedia di salah satu dapur di Lappis
Annusyirvan Ahmad Fatoni
Media Management
KTH Royal Institute of Technology, Stockholmn
Editor: M. Sunaryadi
1 thought on “Laporan dari Lappis, komplek tempat tinggal mahasiswa termasyhur di Stockholm”