Jika flashback ke masa-masa di sekolah atau bahkan ketika kuliah S1 dulu, kapan kira-kira terakhir kali kamu menyiapkan bekal makan ke sekolah atau kampus? Atau pernahkah kamu menyiapkan sendiri bekal makan tersebut?
Bagi kita orang Indonesia, mungkin sebagian besar akan teringat masa-masa disiapkan bekal oleh sang ibu tercinta sewaktu TK. Seiring berjalannya waktu, jumlah tersebut bisa mengerucut dengan jawaban “ketika masih SD.” Well, teman-teman yang masih setia dengan kotak makannya hingga berada di bangku kuliah patut diacungi jempol.
Berbeda halnya dengan pelajar di Swedia, bekal makan siang berikut tumbler (botol minum) sudah menjadi bagian dari ‘perlengkapan belajar.’ Bahkan, sebagian besar dari staf yang bekerja di universitas juga sama-sama membawa bekal ke kampus. Beragam menu sesuai dengan tradisi negara masing-masing menjadi pemandangan biasa di jam 12 siang. Para pelajar mulai mengambil posisi dan berdiri membentuk barisan tanpa aba-aba untuk bergantian menggunakan fasilitas microwave di suatu ruang yang biasanya juga dilengkapi dengan sederet meja dan kursi makan. Fasilitas ini disediakan oleh pihak kampus dan bisa ditemui hampir di setiap gedung perkuliahan. Setelah selesai menghangatkan makanan, ruang makan akan mulai dipenuhi oleh para mahasiswa. Jika suhu sedang cukup bersahabat, maka taman di sekitaran gedung kampus bisa menjadi tempat yang indah untuk bersantap siang.
Kebiasaan ini secara otomatis tertular ke pelajar-pelajar dari negara lain, tak terkecuali kami pelajar Indonesia. Berbagai motivasi di balik semangatnya menyiapkan makanan pun tercetus, dimana alasan utamanya adalah tingginya alokasi dana makan jika setiap hari harus jajan di luar. Pilihan menu yang kurang variatif juga bisa membuat kami cepat bosan. Selain itu, beberapa makanan dirasa kurang cocok di lidah mahasiswa Indonesia yang sudah terbiasa mengonsumsi makanan kaya rempah. Jarak antar kantin pun lumayan jauh, sehingga seringkali kami tidak ada waktu untuk mencari makanan di tempat lain. Ditambah lagi dengan cuaca di luar ruangan yang tidak dapat ditebak membuat orang-orang susah berpindah dari gedung ke gedung, alias mager. Khususnya bagi mahasiswa yang beragama muslim, membawa bekal dapat membantu kami agar senantiasa dapat menjaga kehalalan makanan yang masuk ke dalam tubuh.
Banyak lho hal positif yang didapatkan dari kebiasaan menyiapkan bekal makan sendiri. Dari segi kesehatan, kita dapat mengontrol nutrisi makanan yang kita makan meskipun terlihat sederhana. Kita juga dapat memastikan tidak ada bahan makanan yang akan menimbulkan alergi. Lain lagi dari sudut pandang sustainability, dengan membawa bekal sendiri, kita turut andil dalam mengurangi pembuangan sampah bekas wadah makanan terutama wadah plastik. Maka tak heran jika mahasiswa Indonesia di luar negeri selain bertambah ilmunya, keahlian memasak pun ikut meningkat. Namun, sedihnya adalah ketika setiap hari harus memikirkan menu apalagi yang bisa dimasak. Selain itu, memasak juga membutuhkan spare waktu yang cukup banyak. Biasanya kami mengakali hal ini dengan melakukan meal prep alias memasak dalam jumlah sesuai porsi yang diinginkan supaya lebih hemat waktu. Waktu untuk menyiapkan bekal biasanya bervariasi bagi tiap-tiap individu, ada yang menyiapkannya setiap hari Minggu dalam porsi besar untuk jatah tiga hari atau bahkan seminggu. Namun ada juga beberapa yang memilih menyiapkan bekalnya setiap hari. Makanan kemudian disimpan di kulkas dan tinggal dihangatkan sesuai kebutuhan.
Nah, kebiasaan ini bisa jadi contoh yang baik nih bagi teman-teman di Indonesia. Walau terkadang fasilitas yang ada di beberapa tempat tinggal mahasiswa kurang memadai, seperti kondisi dapur yang ala kadarnya atau tidak adanya dapur yang tersedia. Namun, mengingat banyaknya keuntungan dari membawa bekal sendiri, tak ada salahnya untuk mencoba dan memulai, bukan?
So, let’s take care of our health and environment starts from our packed lunch!
Oleh:
Nurul Izzati - Lund
Master Programme in Biotechnology, Lund University
wah terimakasih sudah berbagi:)