Koleksi sebuah museum mampu merefleksi semangat jatuh bangun sebuah bangsa. Musem Korek Api di Jönköping, satu-satunya museum korek api di dunia, menampilkan kekuatan motivasi dan imajinasi anak negeri dalam berinovasi. Namun koleksi museum juga mengungkap sisi-sisi kelam dampak industrialisasi: pengabaian hak buruh, eksploitasi anak, sampai depresi berakhir aksi bunuh diri.
- * * * * *
Korek api kayu tergolong benda jadoel. Dikutip dari situs www.tekniskamuseet.se, korek api yang aman digunakan dalam format batang kayu dengan pentolan ramuan bebas fosfor merupakan temuan ahli kimia Gustaf Erik Pasch pada tahun 1844. Tahun 1852, Johan Edvard Lundström membeli hak paten atas temuan Gustaf. Tahun 1800an sampai 1830 korek api yang beredar tergolong berbahaya karena mengandung fosfor. Peran Johan Lundström adalah berinovasi dengan menghilangkan bau belerang lalu menggantinya dengan campuran yang terdiri dari stibnite (sejenis mineral), pati, kalium klorat dan cairan pengental.
Konsep komersialisasi korek selanjutnya ditangani oleh adik Johan, Carl Frans Lundström (1823–1917). Minat kakak beradik Lundström dalam inovasi dan komersialisasi tidak lepas dari pengalaman masa kecil bertandang ke sejumlah negara di Eropa. Mereka tergerak untuk menerapkan di kampung halaman di Jönköping setelah menyaksikan pertumbuhan industri disana. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, Johan dan Carl berhasil mendirikan sejumlah pabrik mulai dari surat kabar sampai jaringan gas.
Johan dan Carl kemudian menciptakan pembaharuan lanjutan dengan kreasi kemasan kardus yang kita kenal sampai sekarang. Konsep bisnis dirancang demikian rupa hingga korek api produksi Lundström Bersaudara dijual dengan kualitas sangat baik dan harga sangat terjangkau. Johan Lundström menyatakan 28 April 1845, tepat di ulang tahunnya yang ke-30, adalah momen berdirinya pabrik yang ketika itu berupa bangunan sederhana dan tergolong kecil tak jauh dari bangunan museum. Untuk memperluas pasar, Johan dan Carl selanjutnya memamerkan inovasi korek api aman dalam kemasan kotak khas tersebut di sebuah ajang pameran sedunia di Paris tahun 1855. Temuan ini langsung menarik perhatian pengunjung yang berlanjut dengan sejumlah perjanjian bisnis dengan Lundström Bersaudara.
Pada 1 Desember 1864 pembangunan infrastruktur berupa rel jalur transportasi membuat laju roda bisnis Lundström bersaudara semakin pesat. Pengiriman korek api melintas batas negara. Kurun tahun 1864 – 1890 tercatat sebagai masa gemilang pabrik milik Lundström bersaudara karena nyaris setiap tahun ditandai dengan perkembangan fisik pabrik. Dimulai dengan lahan seluas 4.750 meter persegi (1859) sampai 152.300 meter persegi (1894) meliputi 40 bangunan. Salah satunya menjadi bangunan museum.
Buruh Anak dan Buruh No. 121
Keberadaan pabrik korek api sangat berpengaruh dalam menggeser masyarakat di wilayah Jönköping dan sekitarnya dari agraris ke industri. Urbanisasi para pemilik lahan pertanian tanpa bekal keterampilan memadai membuat mereka tak punya daya tawar saat menghadapi tekanan pabrik. Kaum perempuan dan anak-anak menjadi kelompok rentan. Lembar keenam catatan koleksi museum menguak sisi kelam aktivitas di dalam pabrik, “Workers gather in a production hall under the supervision of fabric owners. More than a half of the workers are children” (para pekerja berkumpul di ruangan besar produksi di bawah pengawasan para pemilik pabrik. Lebih dari separuh pekerja adalah anak-anak).
Para buruh anak memiliki 10 jam kerja sementara buruh dewasa 11 jam per hari. Mereka sama-sama bekerja enam hari dalam seminggu dengan masa kontrak setahun. Namun para buruh anak menerima sepertiga upah buruh dewasa. Tahun 1860 buruh anak menempati setengah angkatan kerja di pabrik. Permintaan tinggi buruh anak membuat pihak pabrik bahkan tidak segan-segan memasang iklan lowongan pekerjaan buruh anak. Seiring tumbuhnya kesadaran akan hak anak, pabrik mulai menggelar sekolah bagi buruh anak yang bekerja di pabrik maupun di rumah. Sayangnya keberadaan fasilitas pendidikan ini tidak banyak dimanfaatkan mengingat anak-anak telanjur masuk ke angkatan kerja pabrik .
Bukan tanpa maksud khusus jika pihak museum menampilkan secara khusus profil salah satu buruhnya yang bernama Lena Törnqvist. Lena melahirkan enam anak namun hanya tiga orang yang bertahan. Ia menjadi orang tua tunggal di usia 39 tahun lantaran sang suami, Johannes Töm, wafat akibat serangan kolera. Lena berjuang menghidupi anak-anaknya dengan bekerja di pabrik korek api selama 11 jam per hari, enam hari dalam seminggu.
Demi menyambung hidup, dua putranya ditinggalkan di rumah karena Lena harus berada di pabrik. Ketika itu, campuran fosfor yang digunakan untuk membuat pentolan di kepala korek api masih beracun untuk kesehatan. Paparan fosfor selama 11 jam per hari dan enam hari dalam seminggu membuat kualitas kesehatan Lena mulai merosot. Sebuah dokumen pabrik tahun 1860 mencatat Lena sebagai pekerja dengan nomor kepegawaian 121. Catatan kehadiran terakhir Lena di pabrik adalah minggu pertama Februari 1864. Minggu terakhir bulan yang sama nama Lena digantikan oleh buruh lain. Kemana Lena?
Lena mengalami pembekuan jaringan di tulang rahang yang disebabkan oleh keracunan fosfor. Gejalanya sudah terlihat saat gigi-gigi Lena mulai rontok. Adik perempuan Lena telah lebih dulu meninggal di usia 22 tahun dengan gejala yang sama. Kebutuhan finansial membuat Lena bertahan dengan tetap bekerja di rumah. Kali ini dia bertugas membuat kotak korek api dengan dibantu anak-anaknya. Lena wafat tahun 1989 dalam perawatan Wilhelm, satu dari tiga putranya, yang juga bekerja di pabrik sebagai pengawas. Kisah Lena seolah menjadi peringatan betapa buramnya potret kehidupan buruh yang seumur hidupnya tak mampu melawan eksploitasi akibat tekanan pemilik kapital.
Pengadaan “Rasul Aspen” dan Perumahan Keluarga
Seiring melesatnya profit, pihak pengelola pabrik memiliki kebijakan pengadaan perumahan bagi keluarga buruh. Penghuni perumahan dipilih secara ketat berdasarkan kriteria yang tentunya menguntungkan pihak pabrik. Semisal, memiliki anak-anak yang dapat dikerahkan untuk bekerja di pabrik. Jika mereka berhenti bekerja maka keluarga akan kehilangan hak menghuni. Setiap rumah memiliki lahan pekarangan yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan pangan harian seperti menanam sayur dan memelihara ayam. Setiap rumah terdiri dari satu ruangan, dapur, gudang kentang dan kayu.
Materi utama produksi korek adalah kayu Aspen. Pilihan pada Aspen disebabkan sifat batang kayunya yang kuat alias tidak mudah patah, tidak bergetah sehingga mampu menciptakan percikan api sempurna, dan berpori yang membuatnya cepat menyerap kandungan pemantik. ternyata sempat melewati masa sulitnya proses pembuatan. Jika dilakukan secara manual alias dengan tangan, satu batang kayu Aspen mampu menghasilkan 370 ribu batang korek api. Setelah dipotong-potong, kepala batang korek api dicelupkan ke belerang untuk memudahkan pindahnya gosokan panas ke kayu lalu memunculkan percikan api.
Kebutuhan tinggi akan kayu Aspen memunculkan profesi “Rasul Aspen”. Mereka adalah pekerja pabrik yang dibekali pengetahuan dan metode memadai lalu menyebarkan kabar tentang keuntungan penebangan pohon Aspen. Masa itu, kebutuhan bahan kayu Aspen dipasok oleh para pemilik lahan kayu Aspen di pinggiran kota. Terbukalah lowongan pekerjaan petani yang bertugas membibit, merawat, sampai menebang kayu Aspen dengan kualitas terbaik untuk menjadi bahan korek.
Peran Penting Lagerman dan Bay
Akhir abad ke-19 mesin mulai masuk pabrik dan menggantikan tenaga manusia. Ditandai dengan kedatangan seorang ahli mekanik bernama Alexander Lagerman yang direkrut untuk bekerja di pabrik korek api Lundström Bersaudara pada tahun 1870. Ia membuat gebrakan pertama dengan kreasi mesin produksi kotak kemasan korek. Mesin ini mampu memasukkan 20.000 batang korek ke kardus kemasan per hari. Kehadiran mesin ini begitu dirahasiakan dari kompetitor sampai 20 tahun kemudian baru dipatenkan.
Pada tahun ke-22 masa kerjanya, Lagerman mengukuhkan kepiawaian dengan menjadikan seluruh kegiatan produksi sampai pengemasan di pabrik dijalankan oleh mesin. Jumlah produksi pun meningkat pesat dari empat ribu kotak per tahun menjadi tujuh juta kotak per tahun. Mekanisasi aktivitas pabrik menuai protes di kalangan pekerja. Banyak buruh diberhentikan menyusul penurunan upah. Kondisi ini memicu terbentuknya serikat buruh di pabrik pada tahun 1900. Namun rasa takut terhadap para pengambil keputusan penting di pabrik membuat tidak banyak buruh bersedia bergabung. Butuh waktu 17 tahun sampai serikat buruh benar-benar memiliki kekuatan berimbang dengan pengelola pabrik.
Seperti mesin-mesin hasil karyanya, sosok Alexander Lagerman (1836–1904) sebagai inovator dibalik pabrik Lundström bersaudara terbilang tak banyak diketahui. Namun kajian atas riwayat hidupnya menyebutkan anak pasangan penjahit tersebut adalah sosok dermawan karena menyumbangkan semua kekayaan yang diperoleh dari mesin-mesin hasil inovasinya untuk para inovator muda.
Meski memproduksi barang rentan api, catatan pabrik Lundström Bersaudara menyatakan tidak pernah ada kecelakaan ledakan atau kebakaran yang menimbulkan kerusakan besar di pabrik. Bahkan pemicu kebakaran lebih sering disebabkan oleh faktor eksternal seperti sambaran kilat dan percikan api dari kereta. Capain ini tidak lepas dari pasukan pemadam kebakaran yang efektif dalam menjalankan tugas mereka di Jönköping bentukan Bernard Hay. Dialah yang bertanggung jawab mencegah dan menangani kebakaran dengan terjun langsung ke lapangan memimpin komando dari atas kuda. Di masa kepemimpinannya, pasukan pemadam kebakaran Jönköping konon terkenal dengan reputasi sebagai brigade pemadam paling terorganisir di seluruh Swedia.
Muncul dan Wafatnya “Raja Korek Swedia”
Akhir perjalanan pabrik korek api Lundström bersaudara pasca masa Perang Dunia (PD) I (1914 – 1918) tidak lepas dari Ivar Kreuger, industrialis sekaligus pengusaha ternama Swedia. Ia mengambil kesempatan di tengah kekacauan pasar usai PD I dengan transaksi-transaksi bisnis rahasia berupa pembelian seluruh pabrik korek api di sejumlah negara. Langkah bisnis yang dipandang berani membuat Ivan memperoleh pinjaman dalam jumlah besar untuk pengembangan usaha. Sebuah kajian akademik dari Harvard Business School menyebutkan, dalam rentang waktu 1913 – 1932, bisnis korek api Ivar meliputi pabrik yang beroperasi di 36 negara, memonopoli perdagangan korek di 16 negara, dan menguasai 40 persen produksi korek api dunia. Namun berdasarkan catatan museum, sampai dengan tahun 1930 perusahaan korek Ivar yang berlabel STAB mendominasi 60 – 70 persen produksi korek dunia.
Tahun 1920an seiring selesainya PD I, denyut nada perekonomian ditandai dengan menggeliatnya Bursa Efek Swedia. Banyak investor memilih mempercayakan dana mereka kepada Kreuger & Toll, perusahaan Ivan yang tercatat di bursa dan menguasai seperempat peredaran saham di bursa efek setempat. Laju arus pasar modal dunia untuk membiayai jalannya perusahaan, temasuk kesepakatan monopoli, membuat saham dan obligasi perusahaan Ivar banyak dimiliki oleh investor di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.
Sampai akhirnya pada 29 Oktober 1929 bursa efek New York, Amerika Serikat, mulai diguncang dengan rontoknya nilai-nilai saham. Ivar semula menyangka keadaan akan membaik meski perusahaannya ikut terkena imbas. Ia berupaya menutup kerugian dan hutang melalui pelepasan saham yang dimiliki. Tiga tahun bertahan menangani krisis perusahaannya, Ivar meregang nyawa pada 12 Maret 1932 di Paris, Perancis. Ia dinyatakan wafat melalui tembakan pistol 9 mm dengan posisi luka satu inci di bawah jantungnya. Sebuah artikel di Fortune.com menyebutkan angka kerugian Ivar menembus 400 juta dolar Amerika atau senilai 10 milyar dolar Amerika pada saat ini. Agustus 1932, perusahaannya di Amerika Serikat dinyatakan bangkrut. Kebesaran usahanya dikenang di akhir catatan museum yang menyebutkan bahwa dalam perjalanan kesuksesan ekspor korek api, STAB setidaknya memiliki 40 pabrik di 20 negara dengan 9.000 label dirancang oleh seniman Swedia, dicetak di Swedia dan diedarkan ke berbagai belahan dunia.