Musim gugur telah tiba di Skåne, selatan Swedia. Penandanya mulai nyata. Dedaunan mulai layu dan menguning karena dingin. Kemudian hujan membuatnya berguguran ke jalanan yang basah. Jalan mobil, jalan sepeda, jalan orang, jalan tikus, semua basah tanpa pandang bulu. Bulu di kuduk penopang kepala mahasiswa-mahasiswa yang kurang tidur pun ikut basah. Biasanya terjadi pada mereka yang masih ngeyel kepada teknologi, termasuk saya.
Padahal setiap malam sudah bertanya, “Siri, how’s the weather tomorrow?”
“Don’t forget your raincoat, Hafidz…”, jawabnya sambil menunjukkan temperatur dan ramalan cuaca.
Ada ungkapan di Swedia: There is no bad weather, only bad clothing. Dari Yahoo! Weather! jadi tahu mau pakai jaket yang mana. Dari aplikasi Skånetrafiken dan Google Maps jadi tahu mau ‘lewat mana’, ‘berapa lama’, ‘naik apa’, dan ‘bayar berapa’. Perihal ‘sama siapa’ yang biasanya jadi problema pun bisa diselesaikan dengan aplikasi…. Whatsapp hehe. Sampai urusan duit (bank dan kurs), musik, bahasa, tempat makan, mencari barang bekas-keren-pakai, hingga apartemen biasa dikerjakan pakai apps. Paling krusial tentunya membiasakan diri pada perkuliahan yang ditunjang berbagai web-based productivity apps, mulai dari cek jadwal, mengerjakan tugas kelompok dan berbagi materi secara cloud-based, hingga yang mendukung pengerjaan riset secara efektif, serta menyusun presentasi yang ciamik.
Setelah ditugaskan oleh kantor saya untuk belajar di World Maritime University (WMU), saya tidak hanya mencari tahu apa bisa Nusantara jadi Poros Maritim. Tetapi juga merevolusi mental saya untuk jadi lebih tech-savvy alias mengoptimalkan teknologi untuk mempermudah urusan hidup sehari-hari saat tinggal di kota Malmö yang punya 4 musim (Musim semi, panas, gugur, dan dingin. Musim buah-buahan tidak termasuk).
Hari Raya Padat Gizi
Pada Hari Raya Idul Adha lalu, saya dan mantan pacar @taniailyas serta putri kami, Alya, shalat di Malmö Mosque-Islamic Center dengan sahabat-sahabat mahasiswa Indonesia. Di sana kami berbaur dengan seribuan jamaah dari berbagai bangsa. Gaya berpakaian yang berbeda, bahasa yang berbeda, warna kulit yang berbeda, cara wudhu ada yang berbeda, dan detil gerakan solat yang sedikit berbeda. Tapi saya merasa nyaman, karena selain arah sujud dan kalimat takbir, kami semua mengamalkan ajaran kebaikan yang sama: saling menghormati.
Hari itu cukup padat gizi. Sekembalinya dari masjid, saya kuliah. Tak sampai hati untuk abstain menikmati ilmu dari Prof. Gerhardt. Di usianya yang ke-72 beliau terbang belasan jam dari New York, AS, untuk mengajar. Kemudian kami makan siang di Restoran Salt & Brygga di kawasan marina Vastra Hamnen, yang direkomendasikan untuk Swedish signature dish: Shrimp sandwich. Kebetulan saat itu Tania sedang menulis travel article tentang Malmö untuk blog inspiratif, LivingLoving.net
Syahdan sore harinya, kami BBQ-an bersama beberapa keluarga mahasiswa muslim WMU lainnya. Ada yang dari Mesir, Pakistan, Irak, dan Yordania. Mereka membawa serta istri dan anak-anaknya. Beberapa kawan yang tidak bersama keluarga juga turut hadir. Kebetulan saya tinggal di apartemen yang sama dengan penggagas acara BBQ ini, yakni keluarga Yaseer Bayoumy dari Mesir dan Zeeshan Baig dari Pakistan. Karena membawa serta anak selama studi, kami tidak bisa tinggal di asrama kampus. Namun kami bersyukur karena saat sibuk kuliah, istri dan anak-anak kami bisa melakukan berbagai kegiatan bersama. Saling mengantar makanan dan kudapan khas negara masing-masing sudah menjadi kebiasaan.
Alya pun enjoy menjadi satu-satunya putri di antara 4 putra Yaseer dan 2 putra Zeeshan. Kami juga saling bertukar trik parenting, selain juga mengadopsi sebagian metode Scandinavian parenting yang secara kolektif sangat memahami pentingnya generasi penerus bangsa dan menjadi negara yang ‘ramah anak’. Saya pribadi memilih mengajak serta keluarga karena ingin membagi pengalaman merantau ini bersama mereka. Saya akan lebih belajar dari pengalaman, jika orang terdekat saya juga merasakan pengalaman itu. Not easy, but totally worth it.
Saat BBQ anak-anak berlarian bermain bola dan aneka permainan anak yang jadi fasilitas publik di taman. Sambil menunggu daging sapi dan ayam yang masih dipanggang, Alya sudah mencuri start dengan hidangan ‘pembuka’ nan berat: nasi briyani beraroma rempah yang kuat masakan istri Zeeshan, Zahra. Istri Yaseer, Marwa, juga membagikan minuman segar khas Mesir, sari Asam Jawa (Tamarindus indica). Unik ya, Asam Jawa yang dibeli di Swedia dan diolah jadi minuman a la Mesir. Sama seperti kuliner yang selama berabad-abad sudah menjadi rekam jejak pertukaran budaya dalam peradaban dunia. Dengan belajar ilmu kemaritiman, kami kini menjadi bagian dari komunitas global. Di mana lautan menjadi samudera kesempatan untuk mempersatukan kepentingan berbagai bangsa.
Kami BBQ-an dan bercengkarama bersama istri (kebetulan saja yang jadi mahasiswa itu para suami) dan anak-anak di salah satu taman kota, Pildammsparken. Di kota terbesar ketiga di Swedia ini kebutuhan ruang publik sangat tercukupi. Membawa anak dan anjing kesayangan menikmati udara di luar rumah menjadi rutinitas yang jamak. Instalasi seni juga banyak terlihat menghiasi di sudut-sudut kota. Termasuk sisi tua kota dengan arsitektur kuno dan jalanan cobblestone yang berkelindan apik dengan butik brand lokal dan ritel ready-to-wear internasional. Cara cerdas pemerintah kota yang mengintegrasikan konservasi kota tua dengan menyulapnya menjadi shopping street. Jadi bagi warga Malmö, taman dan ruang terbuka menjadi pilihan utama untuk bertamasya. Bukan di mall. Apalagi di jembatan sambil nonton kebakaran.
Syakwasangka di Swedish Fika
Angkatan saya memecahkan rekor sebagai mahasiswa terbanyak dalam sejarah WMU, yakni dengan 130 mahasiswa dari 49 negara. Keberadaan WMU sebagai institusi di bawah naungan PBB cukup signifikan di Malmö. Karena menjadi kontributor keberagaman bagi kota yang ditinggali oleh penduduk yang merepresentasikan hampir 180 negara di dunia ini. Tingginya angka keberagaman tersebut juga akibat dari santernya gelombang pengungsi yang datang.
Mahasiswa di WMU diberi kesempatan untuk mengikuti host-family program atau semacam keluarga angkat dari warga lokal. Tujuannya untuk mendorong pertukaran pemahaman dan pengalaman antara penduduk dan pendatang. Kebetulan saya mendapat ‘ibu angkat’ seorang politisi yang aktif mengritisi kebijakan pemerintahnya terkait isu pengungsi. Dengan membaca pandangan-pandangannya di media sosial, tak jarang saya mengernyitkan dahi tanda tak setuju. Tapi sering pula setelah beberapa saat saya dapat memahami perspektifnya. Apalagi sebagai lansia yang turut membangun negaranya hingga semaju sekarang dan kini harus berbagi manfaat pajak serta daya dukung kota dengan para pendatang. Karena isu pengungsi yang under spotlight sering melibatkan pengungsi asal Timur Tengah. Pernyataan politik beliau kadang membuat saya khawatir tentang bagaimana saat ia berjumpa dengan istri saya yang memakai jilbab khas kebanyakan muslimah Indonesia.
H+1 Idul Adha, host family saya mengundang keluarga kami untuk fika (sebutan orang Swedia untuk rehat dan berkopi bersama). Kami diajak ke sebuah kedai di tengah kota, yang belum lama dibuka oleh putra mereka. Ini akan menjadi perjumpaan yang pertama. Jujur, kami sedikit gundah. Kami berprasangka.
Suapan demi suapan lembut cheese cake yang saya makan rasanya turut meluluhkan syakwasangka yang semula ada. Tania dan Alya sangat nyaman. Kami semua bertukar obrolan dan candaan seru. Gula dari kue yang Alya baru makan agaknya langsung bereaksi. Ia beraksi menghibur seantero pengunjung resto by her gibberish speaking hehe… Host family memberi saya kado berupa liontin martil khas Viking. Tampak senada dengan yang mereka pakai. Kami pun berfoto bersama.
Sabtu itu kami masih punya satu janji silaturahmi lagi yang perlu ditepati. Seorang diaspora Indonesia yang kini tinggal di Swedia berbaik hati mengundang house warming di apartemen barunya. Saya ada cerita latar yang sedikit awkward dengan beliau. Saat kegaduhan jagad sosial media Nusantara terjadi akibat pilkada DKI Jakarta, beliau meng-add saya di Facebook. Saat itu kami memiliki pandangan yang berbeda.
Namun, buat saya media sosial merupakan buku telepon digital dengan informasi yang lebih beragam dan aktual. What happens in social media, stays in social media. Nyatanya, saat kami bertemu di apartemennya yang spacy dan cozy di pinggiran kota, semua berlangsung hangat. Tak ada canggung. Kami jadi ada kesempatan untuk lebih saling mengenal, seperti hakikat dari adanya silaturahmi itu sendiri. Hal ini mengonfirmasi pesan bijak: Jangan baper di medsos. Meminimalisir prasangka sama dengan menjaga hati.
Saya ingat betul. Malam itu sebelum akhir pekan kami usai, Tania mengungkapkan hal menarik.
“Weekend ini ‘enak’ banget ya, alhamdulillah,” celetuknya tiba-tiba.
“Menurutmu kenapa?”, tanya saya.
“Karena kita membicarakan hal-hal baik dengan banyak orang berbeda, sepanjang weekend ini. Sama host-family kita bicara soal perbedaan pandangan tentang pernikahan di budaya mereka dan kita. Di house warming kita tukar pengalaman soal suka-dukanya cari apartemen di sini (Malmö),” ungkapnya.
“Kita juga jadi tahu apa rahasianya Yaseer dan Marwa tampak enjoy sekali merawat keempat anaknya yang superaktif (tentunya di tengah masa adaptasi tempat tinggal, tugas-tugas kuliah, dan kecermatan dalam mengelola dana beasiswa untuk satu keluarga). Mereka tampak ringan saat dealing with stress,” saya menambahkan.
“Karena mereka melihat banyak hal dari sisi positifnya..,” ujar kami bersama.
Saya mengangguk dan kami berdua tersenyum. Belajar dari dua prasangka itu membuat saya lebih bersyukur, ternyata niat tulus tidak bisa sirna hanya karena salah duga. Saat bertatap muka dan bertukar cerita, kita semua bahagia.
Saya menyadari dan sepenuhnya setuju. Berbaik sangka mungkin menjadi tips-yang-tak-tersampaikan, terutama untuk mereka yang sedang berada di tengah-tengah lingkungan yang beragam. Termasuk mahasiswa dalam tugas belajar di luar negeri. Terpenting untuk kaum mayoritas, karena bisa jadi cerminan diri agar tidak bertindak sewenang-wenang. Tak kalah penting, untuk para minoritas sebagai survival trick agar tenang menjalani hari. Dengan berbaik sangka, kita mengungkapkan hal-hal baik dan berharap hal-hal baik juga datang menyapa kita.
Sebagai self-reflection untuk saya pribadi, kesempatan belajar di negara maju merupakan anugerah. Berprasangka baik merupakan cara yang paling simple untuk mensyukurinya. Membuat proses mencari pengalaman di rantau menjadi lebih fokus, sehingga terasa lebih ringan. Paling bahaya yaitu jika kita tak sadar, saat kita menilai orang lain untuk membuat diri menjadi serasa lebih baik. Dalam networking di komunitas global, aspek penting yang perlu dicitrakan yaitu sebagai orang yang fair. Karena sifat ini merefleksikan reliability. Aspek penting dalam kerja sama di tengah peradaban masa depan yang semakin kolaboratif.
Nantinya kita semua pemuda-pemudi Indonesia, baik yang sekolah maupun yang ga sekolah, semua merupakan duta bangsa di komunitas global. Kita musti paham betul, apa yang perlu didiskusikan dan apa yang tidak perlu diributkan. Swedia sudah mulai mengimpor sampah sebagai sumber energi untuk penghangat perumahan. Indonesia tidak boleh stuck masih mengutak-atik dasar negara. Ini bukan pernyataan bernada inferior atau sinikal bagi mereka yang tidak baper.
Ini motivasi.
Finally, another afternoon well-spent. Perasaan yang selalu didamba untuk dirasa pada hari Minggu malam, sebagai bekal semangat memulai awal pekan.
Sebelum malam usai, di sudut apartemen kami terdengar siul merdu Klaus Meine di awal “Wind of Change“. Lagu legendaris band Scorpions yang oleh situs rollingstone.com disebut sebagai “soundtrack of sorts to a political and cultural revolution“.
Take me to the magic of the moment
On a glory night
Where the children of tomorrow dream away
In the wind of change
Saya bergumam sembari melihat Alya yang sudah terlelap. Dari setiap perubahan, jika bukan buat kita. Itu demi mereka.
Oleh: Hafidz Novalsyah - Malmö Master Programme in Shipping Management and Logistics, World Maritime University