Tidak terasa perkuliahan semester pertama saya telah berakhir. Selanjutnya, terdapat tenggang waktu kurang lebih satu bulan yang dimulai dari pertengahan Desember 2017 hingga pertengahan Januari 2018, sebelum pelaksanaan ujian dan dimulainya lagi perkuliahan semester kedua. Sebagian teman saya di kampus, terutama yang berasal dari Eropa, memutuskan untuk pulang ke negara masing-masing. Namun, ada juga yang tetap berada di Stockholm serta mencoba berkunjung ke sejumlah tempat baru. Saya sendiri memilih untuk traveling ke Abisko.
Abisko merupakan dataran tinggi di bagian utara Swedia, sebuah tempat yang terkenal bagi para pecinta alam dan pemburu aurora. Bagi saya, traveling adalah sebuah kesempatan yang tak hanya bermanfaat untuk mengusir kebosanan dan menyegarkan pikiran, tetapi juga menjadi momen untuk memperkaya pengalaman. Dan traveling di sini, saya lebih ingin menyebutnya sebagai break time atau waktu beristirahat daripada liburan. Sebab usai jeda, biasanya muncul perspektif baru yang semakin memacu semangat untuk lebih baik lagi ke depan.
Merencanakan Perjalanan
Semua berawal dari obrolan ringan satu bulan sebelumnya antara saya dan Bang Satu, salah seorang mahasiswa Indonesia di Stockholm. Setelah mengetahui garis besar rencana, saya bergabung dan segera memesan tiket SJ Train. Kereta dari Stockholm menuju Abisko adalah kereta malam atau night train yang kelasnya dibedakan berdasarkan jenis kursi, yaitu seat atau kursi duduk (2nd class) dan berth atau kursi tidur (1st class). Untuk kursi duduk, modelnya serupa dengan kereta api eksekutif di Indonesia. Sementara kursi tidur, model gerbongnya terdiri dari kamar-kamar dimana satu kamar bisa diisi enam orang. Tiga di masing-masing sisi kiri dan kanan, serta dua tempat tidur di atas dan tengah yang juga bisa dilipat.
Ada sepuluh orang dalam rombongan kami yang tidak semuanya mahasiswa. Delapan di antaranya sudah lebih dulu memesan tiket berth, saya dan satu orang lagi yang bergabung belakangan kehabisan tiket berth dan hanya tersisa tiket seat. Saya pun berhasil mendapatkan tiket seat lainnya dengan harga terjangkau. Satu bulan sebelum hari H, sebagian dari kami berkomunikasi via grup WA untuk mematangkan hal-hal teknis, seperti rincian biaya, jadwal kegiatan, aneka perlengkapan, dan biaya makan. Kami membawa bahan-bahan makanan seperti beras, daging ayam, roti, selai, sayur, buah, teh, gula, jahe seduh, cemilan, dan mi instan. Tak lupa juga untuk membawa rice cooker sendiri. Selain dirasa lebih hemat, tempat tinggal kami di sana juga jauh dari toko bahan-bahan makanan. Walaupun sebenarnya ada semacam minimarket, namun makanannya tak begitu lengkap.
Singkat cerita, kami sepakat untuk bertemu tanggal 20 Desember 2017 jam 17.00 CET di Stockholm Central Station. Tepat pukul 18.10 CET, kereta pun berangkat. Sebagai informasi, perjalanan ke Abisko dari Stockholm juga bisa ditempuh dengan pesawat seperti SAS atau Norwegian Air melalui Kiruna, yaitu kota terdekat yang memiliki bandara. Kami memilih naik kereta dengan pertimbangan lokasi penginapan, juga supaya lebih terasa sensasi petualangan. Akhirnya, setelah kurang lebih 18 jam di kereta atau sekitar jam 12 siang esok harinya, kami tiba di stasiun Abisko Turiststation. Nuansa berwarna putih langsung memanjakan mata, rintik salju dan terpaan angin ikut menyambut kedatangan kami semua.
The real winter is obviously here!
Kami tinggal di penginapan yang bernama STF Abisko Turiststation, dapat dicapai tak sampai lima menit berjalan kaki dari stasiun atau tinggal menyeberang jalan utama yang menghubungkan Swedia dan Norwegia. Saat memilih penginapan, ada beberapa tipe yang bisa dipilih. Kami mengambil akomodasi di bangunan hostel yang memiliki dua ruang tidur, satu kamar mandi, ruang tengah, dapur, dan ruang makan, tentunya juga dilengkapi fasilitas penghangat ruangan yang berfungsi dengan sangat baik. FYI, siang hari di Abisko lebih pendek jika dibandingkan di Stockholm. Saat kami berada di sana, matahari terbit sekitar jam setengah sepuluh dan terbenam kira-kira jam setengah tiga.
Jelajah Alam
Abisko merupakan satu dari 29 taman nasional di Swedia. Oleh karena itu, jelajah alam adalah hal yang menyenangkan sekaligus menantang untuk dilakukan di Abisko, walaupun saat musim dingin salju sedang turun dengan begitu tebalnya. Selama mengenakan pakaian yang memadai, hal tersebut bukan jadi masalah. Untuk atasan, saya memakai kaos lengan pendek, jaket biasa, dan jaket tebal. Sementara untuk bawahan, saya menggunakan celana panjang yang dilapisi celana training berbahan sintetis. Saya juga melengkapinya dengan topi kupluk berbulu yang menutup telinga, sarung tangan, kain slayer, kaos kaki tebal, dan sepatu musim dingin. Jika nanti teman-teman berencana ke Abisko, bisa juga membawa long john. Saya membawanya waktu itu, tetapi beranggapan masih cukup kuat tanpa long john.
Untuk jalur hiking atau jelajah alam yang bisa dilalui, penginapan menyediakan berbagai panduan informasi, termasuk peta lokasi, yang bisa diperoleh di resepsionis. Sejumlah paket tur dengan kisaran harga yang beragam juga ditawarkan, namun kami memilih untuk merancang jadwal kegiatan sendiri. Selama di Abisko, kami memulai hiking sekitar jam sepuluh pagi atau ketika hari sudah mulai terang dan kembali lagi ke hostel kira-kira jam dua siang saat hari beranjak gelap. Nuansa putih benar-benar terhampar sejauh mata memandang. Jika dibandingkan dengan Stockholm, saat itu salju turun hampir sepanjang waktu di Abisko, sedangkan salju di Stockholm hanya turun sesekali saja atau bahkan turun diiringi hujan sehingga cepat sekali mencair. Selain itu, salju yang tersisa di Stockholm mengeras seperti batu di beberapa sudut kota, sementara salju di Abisko lembut seperti tepung. Karena ketebalannya yang bisa setinggi betis orang dewasa, kami juga harus berhati-hati.
Dalam jalur hiking, kami juga menemukan pemandangan yang beraneka rupa. Salah satunya ada air terjun dan danau yang membeku, dimana menurut informasi danau ini bernama Torneträsk yang merupakan danau terbesar ketujuh di Swedia. Ada pula bukit-bukit yang tak lagi berdaun dan hanya dihiasi oleh salju. Selain itu, kami juga melihat dua gunung yang membentuk lembah seperti mangkuk, daerah lembah mangkuk ini adalah Lapporten yang diapit Gunung Nissuntjårro (1.738 m) di sisi barat daya dan Gunung Tjuonatjåkka (1.554 m) di sisi timur laut. Kami juga sempat ke Sámi Camp yang merupakan miniatur pemukiman masyarakat setempat di era tahun 1800-an. Menurut sejarah pada kala itu, orang-orang Sámi hidup dengan berburu, memancing ikan, dan menggembalakan rusa kutub. Dengan demikian, Abisko National Park merupakan paket komplit; bukan sebatas jelajah alam, melainkan juga memiliki nilai sejarah (budaya).
Berburu Aurora
Petualangan yang sesungguhnya dilakukan pada malam hari, yaitu berburu aurora. Kami menggunakan real time forecast yang menampilkan bilangan KP. Semakin tinggi bilangan KP, maka semakin besar kekuatan aurora. Akan tetapi hal ini juga harus diikuti pula oleh langit yang cerah, yakni langit yang tidak berawan dan penuh dengan bintang. Ada beberapa faktor yang menjadikan Abisko termasuk salah satu titik favorit bagi pemburu aurora. Selain karena peta lintasan aurora menunjukkan lokasi di utara bumi, letak Abisko yang merupakan dataran tinggi juga jauh dari perkotaan, artinya tak banyak pencahayaan yang mungkin menghalangi pantauan terhadap semburat aurora di langit malam. Aurora sebenarnya juga bisa terlihat dari Stockholm, namun tidak sesering dan tidak sekuat di Abisko.
Pada malam pertama, dengan berbekal dua lampu senter, kami menelusuri jalan setapak yang penuh salju tebal. Kami mencoba peruntungan dengan berjalan cukup jauh dari hostel menuju pinggiran sebuah danau. Sesekali angin kencang menambah dingin malam, apalagi di tengah temperatur udara di bawah nol derajat. Kami sempat “berhalusinasi” dalam artian menebak-nebak antara pancaran aurora atau lampu kendaraan. Bilangan KP memang tidak terlalu tinggi, namun langit tampak cerah tanpa awan dan penuh bintang, sehingga potensi menangkap aurora tetap ada. Percobaan memburu aurora pada malam itu kami lakukan dua kali, yaitu sekitar jam tujuh dan jam dua belas malam. Setelah dirasa cukup, kami memutuskan untuk pulang untuk melanjutkannya lagi esok malam.
Pada malam kedua, kami mencoba untuk pindah tempat yang lebih gelap. Ternyata ada sebuah bukit yang posisinya tak jauh dari hostel, letaknya cukup tersembunyi dalam artian saljunya begitu tebal sampai setinggi betis orang dewasa dengan banyak pohon di sekelilingnya. Ketika itu kira-kira jam setengah delapan malam. Aplikasi di smartphone saya menunjukan temperatur udaranya sebesar -4oC dengan real feel -9oC. Kecepatan angin tercatat mencapai 9 m/s, sementara bilangan KP-nya 0,33. Bilangan KP tersebut memang kecil, namun cerahnya langit lagi-lagi membuat peluang itu ada. Dugaan kami pun benar, setelah beberapa saat menunggu akhirnya tampak semburat tipis berwarna hijau yang menari-nari di langit. Indahnya aurora seperti pelangi di malam hari.
Menjelang jam satu dini hari, kami kembali berburu aurora di bukit itu. Kali ini bilangan KP mencapai 0,67 hingga 1,00. Tidak terlalu tinggi, tetapi cukup untuk ukuran di Abisko. Semburat tipis kehijauan itu kembali menari-nari lagi di antara bintang-bintang. Hampir satu jam berlalu, suhu yang semakin dingin disertai angin kencang membuat kami memutuskan untuk kembali ke hostel. Namun, di tengah perjalanan, aurora muncul lagi dari balik sebuah gunung dengan pancaran lebih kuat daripada sebelumnya. Kami berhenti dan segera menangkapnya, namun hasilnya kurang optimal karena kami sudah tidak lagi di bukit itu. Seandainya tadi lebih sabar dan tidak buru-buru pulang, pasti tangkapan auroranya bisa lebih optimal…
Pada malam ketiga, kami sudah siap sejak jam lima. Kami baru tahu bahwa sebenarnya auroa bisa terlihat dari lantai dua hostel tempat menginap meskipun hasilnya tidak seoptimal saat berburu dari bukit pada malam kedua. Ramalan malam ketiga terlihat lebih baik daripada malam pertama dan malam kedua, terbukti dengan munculnya aurora beberapa kali sejak jam lima. Kami pun pergi lagi ke bukit itu menjelang dini hari. Temperatur udara dengan real feel yang mencapai -22oC tidak lagi dihiraukan, sebab saat itu adalah malam terakhir kami. Pun dengan jari-jemari tangan dan kaki yang serasa ditusuk-tusuk tidak menyurutkan langkah kami untuk menikmati salah satu ciptaan terindah karya Tuhan. Kami mencoba mengatasi tantangan itu dengan saling berbincang, adakalanya melempar canda serta menggerakkan tubuh untuk lebih menghangatkan suasana, sambil tetap memperhatikan langit manakala ada pancaran aurora.
Menjelang jam dua dini hari, kami pun memutuskan untuk berhenti. Kami kembali ke hostel dan mengecek lagi hasil tangkapan aurora kami sambil ditemani cemilan dan minuman hangat. Puas rasanya, terbayar semua, perjuangan dan pengorbanan tidak sia-sia.
Mampir Kiruna
Setelah empat hari tiga malam di Abisko, rombongan pun berpisah. Sebagian dari kami lanjut road trip ke Lofoten dan Tromsø di Norwegia, sementara sebagian lain lagi termasuk saya pulang ke Stockholm. Untuk perjalanan pulang, kami mencoba untuk naik pesawat yang artinya harus melalui Kiruna. Pagi hari kami berangkat menggunakan mobil sewaan dari Abisko ke Kiruna, dimana perjalanan ditempuh dalam waktu satu jam. Kami kemudian berganti transfer bus dari Kiruna ke airport.
Sesampainya di Kiruna, ternyata suasananya tak jauh berbeda dengan Abisko. Namun, bagi saya salju Kiruna lebih ekstrem daripada salju Abisko. Yang terbersit di benak saya kala itu, penampakan Kiruna hampir mirip dengan kota yang baru saja dilanda bencana alam dengan salju yang terlihat tinggi dan tebal di mana-mana, namun orang-orang dan kendaraan tetap berlalu-lalang seperti biasa. Temperatur udara jam sepuluh pagi saat itu mencapai -14oC, sedangkan di Abisko saja temperatur udara pagi hari selama saya di sana paling dingin ‘hanya’ mencapai -10oC. Seketika terbayang suhu Kiruna di malam hari yang pastinya akan lebih dingin. Sepanjang perjalanan di transfer bus, saya berkesempatan melihat Kiruna lebih dekat dan bisa menyimpulkan bahwa salju yang tinggi dan tebal di tempat tersebut benar-benar merata di seluruh sudut kota.
Suasana ini mengingatkan saya bahwa ada seorang mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Kiruna, yang artinya suasana seperti inilah yang dijalaninya sehari-hari. Dimana ia harus berpakaian berlapis, lengkap dengan sarung tangan dan sepatu musim dinginnya, biarpun hanya ingin berjalan dari apartemen ke supermarket. Setiap orang memang punya perjuangannya masing-masing. Padahal saat di Abisko kemarin, jika sebentar saja melepas sarung tangan atau berdiri diam terlalu lama di hamparan salju tebal, rasanya sudah seperti ditusuk-tusuk. Sewaktu berada di ruang tunggu bandara, saya baru sadar bahwa jari-jemari tangan saya rupanya sedikit memerah dan membengkak. Akan tetapi, mengingat apa saja yang didapat dari perjalanan ini, rasanya sama sekali tidak ada rasa sesal yang tertinggal.
Pelajaran penting yang bisa saya ambil dari perjalanan ini adalah bahwa untuk memperoleh hasil yang optimal memang diperlukan persiapan yang matang, gigih perjuangan, bahkan pengorbanan. Indeed, sacrifice is really necessary for satisfaction. Semoga di lain waktu, ada kesempatan traveling lagi dalam jeda belajar untuk lebih memperkaya pengalaman; tentunya dengan biaya hemat, perencanaan cermat, dan dilakukan pada waktu yang tepat. Semoga kisah ini bermanfaat.
Oleh:
Ahmad Satria Budiman - Stockholm
Master Programme in Macromolecular Materials
KTH Royal Institute of Technology