Oleh: Satu Cahaya Langit
Hari itu hari Senin, tepat sudah tiga minggu salju tidak turun di Stockholm. Melihat tanggal dan bulan yang memang sudah menjelang akhir Februari, gue berpikir mungkin memang musim dingin sudah habis dan musim semi akan dimulai. Mungkin karena lupa ketok-ketok kayu ya, malam harinya salju turun lebat sekali. Alhasil pagi nya pemandangan di luar jendela udah putih semua. WhatsApp yang datangnya dari Firman masuk ke ponsel gue: “Tu, kan salju tebel nih, jalan yok liat hutan putih.” Siang itu pun kami langsung jalan dan berpetualang.
Berbekal makanan ringan dan minuman, kami berjalan dari kompleks rumah kami. Tujuan awalnya sih ke daerah bernama Norsborg di selatan, di ujung jalur kereta kami. Gue belum pernah ke sana dan menurut peta, ada satu hutan kecil yang ada danaunya. Tips memilih rute jalan kaki di alam Stockholm gampang sih menurut gue. Cukup liat Google Maps dan liat daerah hijau yang tidak ada perumahan dan ada air (sungai, danau, laut) di dekatnya. Firman memercayakan pemilihan jalur trekking ke gue, dan dia pun setuju kami ke Norsborg.
Kalian tipe yang kalau jalan harus sesuai rencana gitu, nggak? Gue dan Firman tipe yang spontanitas. Sambil ngobrol-ngobrol di kereta, tiba-tiba kami liat pemandangan danau bagus dari jendela. Di ujung danau itu ada ski slope (bukit untuk main ski). Kami berpandangan, kemudian mengangguk bersama.
”Ke situ kita?”
”Ayok!”
Berubah seketikalah tujuan jalan kami. Kebetulan tahun lalu gue udah pernah ke hutan ini bareng istri gue. Kami pun turun di stasiun Alby, dua stasiun sebelum Norsborg. Berjalan di perumahan warga sekitar dua kilometer, kami akhirnya memasuki kawasan hutan.
Hutan putih
Sesuai dugaan, hutan itu diselubungi warna putih salju–alasan mengapa kami menyebutnya sebagai hutan putih. Danau di dekat hutan siang itu dalam keadaan membeku, tapi nggak seperti danau yang kami datangi minggu lalu di Gömmaren, di sana nggak ada yang tampak lagi mancing ikan, nggak ada juga yang jalan-jalan di atasnya. Mungkin karena Danau Alby ini tersambung ke laut jadi nggak terlalu beku, kami kurang tahu. Tapi, esnya kelihatan tebal, ditambah gue dan Firman memang senang coba-coba, jadi kami nggak kuat nahan godaan untuk cobain berdiri di atasnya.
Kami kemudian lanjut jalan sampai ketemu sungai dan jembatan yang supercantik! Kami pun berhenti dan mengambil beberapa (baca: banyak) foto. Bersebelahan dengan sungai itu, ada ski slope yang kami cari. Pertanyaan utamanya: Apakah mau masuk ke area ski slope ini bayar? Bukit kan alam. Alam kan milik umum. Dan biasanya yang umum-umum di Swedia ini diberikan gratis. Salah satu contoh sederhana adalah main ice skating di danau yang gratis-tis-tis.
Sayang, harapan tinggal harapan. Tahun lalu waktu gue jalan ke sini bareng istri, slope skinya udah ada dan udah bersalju juga (padahal belum musim dingin), tapi nggak ada pagar jadi bebas diakses siapa aja. Pas kemarin kami ke sana wilayah itu sudah ada pagarnya. Berjalan mengitari pagarnya, kami ketemu kantor penyewaan alat ski, tempat yang sama di mana kami bisa beli tiket masuknya. SEK190:- per orang untuk enam kali meluncur. Lumayan mahal kalau dibandingkan tiap Jumat kami main futsal di mana untuk satu jamnya satu orang cukup membayar SEK25-40:-
Menerobos hutan
Selesai melihat-lihat rombongan anak sekolah yang sedang main ski, sambil makan camilan ubi goreng yang dibawa Firman, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini memasuki hutan bertebing. Tujuan kami adalah stasiun kereta Masmo dan rencananya dari sanalah kami akan pulang. Menurut peta di Google Maps, dari tempat ski ini ke stasiun Masmo hanya dua kilometer saja. Tapi nggak terlihat akses jalannya. Mungkin hutan yang akan kami lewati ini bukan hutan yang sering didatangi orang. Menurut pengalaman gue, memang peta Google nggak terlalu lengkap untuk keterangan akses jalan kecil, apalagi di hutan.
”Kalau nyusurin pinggir danau, ada jalan nggak?” tanya gue ke Firman.
”Nggak ada. Batu tinggi semua,” jawabnya setelah ngintip-ngintip dari dermaga.
Kami pun mengambil rute memutari bukit yang ada di tepi danau tersebut. Keliatan sekilas dari titik itu, bukitnya tidak panjang dan nggak jauh untuk diputari. Kami pun jalan dengan gembira (kecuali kalau ada tanjakan curam).
Ternyata nggak ada rute yang sudah ditandai. Biasanya, di hutan di Swedia akan ada penanda jalan di pohon dengan beberapa warna. Kami nggak menemukan tanda serupa. Tapi kami masih kasih sugesti positif ke diri sendiri. Yang penting tau arah, kita jalan terus. Beberapa kali kami ketemu jalan buntu atau tebing curam jadi harus puter balik dan cari rute lain. Menerobos kayu-kayu dan jalan yang tidak rata, gue masih yakin bakal ketemu jalan yang udah ditandai.
Dan benar, akhirnya kami ketemu pohon yang punya tanda berwarna hitam. Kami pun mengikuti tanda itu, dan sampailah kami pada jalur yang lebih terbuka dan tidak berumput; tanda bahwa jalur tersebut digunakan untuk pejalan.
Terpaksa melewati danau
Setelah melalui setengah perjalanan, kami menemukan hambatan yang paling sulit; tebing yang lebih tinggi daripada yang kami hadapi di awal tadi. Tidak hanya tinggi tapi juga luas, jadi nggak mudah buat cari jalur memutarinya. Kondisi fisik yang sudah lumayan lelah, dan perut yang kembali lapar, membuat kami akhirnya mengambil berisiko: berjalan melewati danau.
Beberapa kali berjalan, bermain dan bahkan ice skating di danau beku seharusnya membuat kami merasa aman dan tidak takut. Tapi semua pengalaman itu memiliki satu kesamaan: kami melakukannya bersama-sama penduduk lokal lain. Kami mengedarkan pandang, dan sejauh mata memandang, nggak ada satu pun orang yang sedang beraktivitas di atas danau. Pun tidak ada jejak-jejak langkah manusia yang biasanya kami jadikan patokan kalau esnya sudah pernah dipijak manusia. Walaupun tertutup salju dan terlihat lumayan kuat, tetap saja danau ini tersambung ke laut sehingga tidak sama dengan danau tertutup yang biasanya lebih kokoh esnya.
Firman berjalan pelan-pelan ke atas danau. ”Kayanya bisa, Tu.”
Gue masih ragu.
Bukan apa-apa. Satu, ini masih kawasan hutan. Dua, kami nggak bawa sesuatu apa pun buat jadi pengait. Orang Swedia jika bermain di danau beku biasanya membawa dua pengait kecil untuk jaga-jaga kalau terjatuh ke dalam es. Pengaitnya untuk bantu kita manjat keluar es.
”Berani? Kalo lo berani, gue berani,” Firman berkata lagi.
Gue mengedarkan pandang lagi. Adrenalin mulai bergejolak. Menarik nih, pikir gue.
Akhirnya kami mulai jalan pelan-pelan dengan saling jaga jarak, buat cegah esnya retak kalau diinjak dengan berat gabungan kami berdua. Nggak ada lagi ketawa-ketawa, kami serius mengamati permukaan danau, menghindari bagian transparan karena berarti bagian itu lapisan esnya lebih tipis. Kami berdua sepakat untuk nggak terlalu ke-tengah dan juga nggak terlalu ke pinggir di mana biasanya air masih sering bergoyang-goyang dan membuat es tidak kuat.
”Berat lo berapa, Man?”
”50 kilo,” jawab Firman.
Hmm, gue lebih berat 14 kilo dari Firman. Risiko gue jatuh lebih besar. Haha.
Di antara salju, terlihat juga jejak-jejak kecil. Tampaknya dari langkah kaki kelinci. Sambil jalan gue dan Firman merencanakan jalur darurat kalau-kalau es nya retak. Menghitung berapa langkah besar yang diperlukan untuk sampai ke darat. Setelah sekitar seratus meter berjalan, kami sedikit lebih santai dan bisa ngobrolin hal lain.
Kurang lebih 600 meter kami berjalan di danau sebelum akhirnya melihat dermaga kecil di balik bukit. Kami pun mengembuskan napas lega dan tertawa sambil melihat jejak kami di belakang.
Kesimpulannya, petualangan itu nggak selalu harus jauh dan di kota atau negara lain. Walaupun dekat tapi kalau jalannya dengan teman baik, akan terasa seru juga kok.
Catatan: yang nggak baik jangan diikuti ya, seperti mengambil risiko menempuh jalur baru tanpa peralatan dan persiapan memadai tadi. Hehehe.
Sampai ketemu di petualangan berikutnya!