Start-up dan inovasi mungkin sudah menjadi sesuatu yang sangat familiar oleh masyarakat Indonesia, terutama di kalangan anak-anak muda. Dalam 5-6 tahun belakangan terhitung sekitar lima start-up ciptaan anak bangsa berhasil menjadi unicorn, bahkan satu dari lima start-up tersebut berhasil menjadi decacorn. Untuk temen-temen yang belum tau apa itu unicorn dan decacorn, unicorn adalah start-up yang sudah memiliki valuasi mencapai 1 miliar dolar AS atau jika kurs USD1 = Rp14.000 maka valuasi sebuah start-up unicorn mencapai Rp14 triliun. Sedangkan, decacorn adalah start-up yang sudah memiliki valuasi mencapai 10 miliar dolar AS. Valuasi yang besar banget kan?! Terus apa aja tuh start-up yang udah berhasil menjadi unicorn dan decacorn? Untuk yang sudah menjadi unicorn ada empat start-up yang didominasi oleh start-up ecommerce dan fintech: Tokopedia, OVO, Bukalapak, dan Traveloka. Untuk yang sudah menjadi decacorn tidak lain dan tidak bukan adalah Gojek yang sudah setia menemani setiap sendi kehidupan kita melalui layanan transportasi online dan pemesanan makanan online. Bangga deh rasanya jadi anak Indonesia lihat hebatnya start-up ciptaan anak bangsa ini!
Eits jangan berbangga diri dulu! Start-up besutan anak-anak bangsa ini emang udah keren banget, tapi kalau dibandingkan dengan start-up yang ada di negara tetangga aja kita masih kalah. Contohnya dengan start-up di Singapura yaitu Grab, yang memiliki valuasi 40 miliar dolar AS. Belum lagi kalau dibandingkan dengan negara-negara maju seperti contohnya di negara tempat saya studi sekarang, Swedia. Pasti udah ngga asing dong sama Spotify? Yes, start-up yang menyediakan layanan online music streaming. Valuasi Spotify sekarang pun ngga main-main jumlahnya. 72 miliar dolar AS! Selain itu ada juga Klarna, start-up penyedia layanan online payment untuk merchants dan customers di ecommerce. Valuasi Klarna juga ngga main-main. 46 miliar dolar AS per akhir 2021!
Selidik punya selidik, ternyata ada fakta menarik tentang majunya start-up di negara-negara tersebut. Ternyata majunya start-up di Singapura, Swedia dan negara-negara maju lain juga linear dan selaras dengan tingkat inovasi di negara tersebut. Berdasarkan Global Innovation Index tahun 2021, Singapura berada di posisi 8 negara paling inovatif di dunia. Bahkan Swedia merupakan negara nomer 2 paling inovatif di dunia, hanya kalah dari Swiss. Terus Indonesia ada di peringkat berapa? 10 besar? Nope! Indonesia ada di peringkat 87. Tentunya penilaian yang dilakukan sangat objektif dengan mempertimbangkan berbagai parameter. Untuk yang kepo gimana parameter dan penilaiannya bisa langsung aja googling “Global Innovation Index 2021”. Dari sini saya belajar bahwa pentingnya inovasi untuk memajukan tanah air tercinta Indonesia, yang juga melatarbelakangi saya untuk mengambil jurusan Innovation Management and Product Development di KTH Royal Institute of Technology.
Terus kalau ada temen-temen yang tanya, “Kalau udah lulus dari KTH dengan major yang kamu ambil bisa dong sukses bikin start-up?”. Oooo tentu tidak semudah itu, Ferguso! Tapi yang pasti banyak banget ilmu berharga yang saya pelajari tentang dunia inovasi yang ternyata begitu kompleks dan ngga semata-mata soal teknologi. Dari belajar hal yang makro seperti ekosistem inovasi – yang berhubungan dengan kolaborasi antara pemerintah, pelaku bisnis, universitas dan masyarakat di suatu wilayah atau negara –, sampai belajar hal mikro seperti frameworks atau tools yang dipakai untuk membuat sebuah ide inovasi. Hal yang paling berkesan dan berharga yang saya dapat selama studi di sini adalah secara langsung melihat begitu bagusnya ekosistem inovasi di negara nomer 2 paling inovatif di dunia dan nomer 1 di Skandinavia ini. Di sini pemerintah, pelaku bisnis, perguruan tinggi, NGO, dan bahkan masyarakat bahu membahu untuk menciptakan inovasi di berbagai sektor. Di tulisan saya kali ini tidak akan panjang lebar membahas tentang semua stakeholder yang berperan dalam memajukan inovasi dan start-up di Swedia. Tapi saya akan sedikit berbagi pengalaman bagaimana KTH membantu mengembangkan ide dan project yang saya inisiasi bersama teman-teman di Indonesia.
Pada akhir tahun 2020, saya iseng-iseng dan memberanikan diri untuk mengontak KTH Innovation, sebuah instansi atau unit khusus di kampus saya yang berperan sebagai inkubator yang memfasilitasi mahasiswa-mahasiswa di KTH untuk mengembangkan ide dan inovasi menjadi sebuah bisnis. Voila! Ternyata mereka sangat approachable dan langsung balas email di hari yang sama dan juga langsung menanyakan kapan bisa online meeting untuk berdiskusi. Saya dan teman-teman pun langsung mengatur jadwal untuk online meeting dengan KTH Innovation. Di meeting tersebut saya dan teman-teman memaparkan ide dan project kami secara singkat. Ide atau project yang saya dan teman-teman kembangkan adalah inovasi teknologi microbubble generator untuk sistem aerasi perikanan yang kami beri nama Banoo. Berdasarkan riset yang saya dan teman-teman lakukan di Indonesia, inovasi teknologi Banoo yang kami ciptakan bisa meningkatkan oksigen terlarut di dalam air hingga 7 ppm yang terbukti mampu meningkatkan hasil panen pembudidaya ikan di Yogyakarta dan Jawa Tengah hingga 35% lebih banyak jika dibandingkan dengan kolam yang menggunakan alat aerasi konvensional. Ternyata mereka tertarik dengan Banoo dan mereka dengan sangat senang hati untuk membantu ide dan project kami untuk dikembangkan lebih jauh untuk menjadi sebuah bisnis. Mereka kemudian mengarahkan kami untuk mendaftarkan ide dan project kami di website KTH Innovation. Kami pun langsung daftar di salah satu program inkubasi start-up mereka. (Untuk yang tertarik dengan KTH Innovation bisa langsung kepoin mereka di link berikut: https://www.kth.se/en/om/innovation/kth-innovation-1.956839 atau langsung ke instagram mereka @kthinnovation).
Singkat cerita, beberapa tahap seleksi kami lalui tapi ternyata belum rejekinya untuk masuk dan menjadi bagian dari program pengembangan dan inkubasi start-up di KTH Innovation. Alasannya bukan karena ide dan project yang kami punya kurang menarik, tapi karena alasan adanya regulasi baru yang menjelaskan bahwa ide atau project yang diajukan minimal dua pertiga atau 70% nya adalah milik mahasiswa atau civitas akademika di KTH. Sementara di project kami yang merupakan mahasiswa KTH cuma saya aja. Memang belum rejeki, mau gimana lagi. Sedih karena kalau ikut program inkubasi KTH Innovation kami akan dapat cubicle dan working space di KTH Innovation yang bisa digunakan setiap hari buat ngantor dan ngembangin ide. Belum lagi bisa ketemu banyak experts yang ada di KTH dan Stockholm. Tapi beruntungnya, KTH Innovation masih mau membantu kami semampu mereka semisal kami butuh bantuan atau arahan, misalnya bantuan untuk diskusi dan arahan tentang intellectual property atau hak cipta dari sebuah inovasi teknologi atau hal-hal mendasar seperti analisa IRL (Index Readiness Level) dari sebuah inovasi atau teknologi.
Berbekal arahan dan bantuan dari KTH Innovation, saya dan teman-teman pun berinisiatif untuk mendaftarkan dan mengikutsertakan Banoo ke beberapa kompetisi inovasi teknologi tingkat internasional. Salah satunya adalah Thought For Food Challenge 2020. Secara mengejutkan kami berhasil menjadi Grand Prize Winner Thought For Food Challenge 2020 dan mendapatkan funding untuk mengembangkan ide dan project Banoo menjadi sebuah start-up. Kemudian di tahun 2021, Banoo juga berhasil menjadi Top 10 Finalists MIT Solve dan di akhir tahun 2021 saya mewakili Banoo dianugerahi Matagaruda Prize Winner 2021 kategori sains dan teknologi oleh LPDP. Grants dan funding yang kami peroleh dari kompetisi-kompetisi tersebut kemudian kami gunakan untuk menyewa sebuah bangunan di Sleman, Yogyakarta untuk dijadikan kantor Banoo dan juga kami urus legalitas Banoo sebagai sebuah PT. (Perseroan Terbatas).
Selain Banoo, saya bersama teman-teman di KTH juga sempat mengerjakan sebuah project yang bernama Rentini dan We Build Your Shoe di dua mata kuliah di kampus. Rentini adalah sebuah ide inovasi yang berfokus pada penggunaan baby stroller bekas untuk kembali digunakan dan dibisniskan dengan subscription model. Ide yang muncul berangkat dari permasalahan mahalnya harga baby stroller di Swedia dan hanya digunakan dalam waktu relatif singkat oleh orangtua untuk anak-anak mereka. Sedangkan We Build Your Shoe adalah sebuah ide inovasi yang berfokus pada pembuatan customized and sustainable running shoe yang dibuat dengan proses 3D printing menggunakan bahan plastik yang dapat didaur ulang. Kedua ide tersebut juga sebenarnya akan didukung dan difasilitasi oleh KTH Innovation untuk dikembangkan, tetapi teman-teman saya yang mayoritas orang Swedia ternyata tidak begitu antusias untuk melanjutkan project tersebut setelah matakuliah berakhir. Di luar ide dan project yang saya kerjakan, juga terdapat beberapa ide dan project yang dilakukan oleh mahasiswa lain yang menurut saya cukup menarik dan ada juga yang aneh. Salah satu yang sangat menarik dan paling up to date adalah Porkchop yang mengembangkan inovasi teknologi propulsi untuk satelit. Baru-baru ini teknologi mereka dipakai oleh SpaceX, perusahaan roket swasta milik Elon Musk, untuk diuji coba di peluncuran satelit. Dan salah satu ide yang aneh adalah Horsera yang membuat platform media sosial untuk kuda. Iya, hewan kuda.
Dari pengalaman di KTH, saya jadi paham betapa bagusnya ekosistem inovasi di Stockholm ,yang saya asumsikan sebagai representasi Swedia. Selain KTH Innovation masih banyak instansi atau organisasi di kampus dan di luar kampus yang bisa membantu mahasiswa untuk mengembangkan ide dan project menjadi sebuah start-up. Untuk organisasi di luar kampus ada Stockholm School of Entrepreneurship (SSES) yang merupakan sebuah organisasi yang didirikan oleh Erling Persson Family Foundation yang memfasilitasi kerjasama antara kampus-kampus di Stockholm untuk memajukan inovasi dan entrepreneurship melalui kolaborasi interdisipliner (www.sses.se). Selain itu ada juga organisasi atau institusi berbasis riset yang bernama Research Institute of Sweden (RISE, www.ri.se) dan lembaga pemerintah yang bernama Verket för innovationssystem (Vinnova, www.vinnova.se). Semua organisasi tersebut bersama dengan universitas dan perusahaan Swedia berkolaborasi erat untuk melakukan riset dan pengembangan inovasi dan teknologi.
Mungkin untuk memajukan dunia bisnis dan startup di Indonesia kita bisa belajar banyak dari negara seperti Swedia. Ngga hanya berorientasi atau fokus pada sisi bisnisnya aja, tapi dimulai dari dasar dengan fokus peningkatan riset dan inovasi. Peningkatan riset dan inovasi tentu harus didasari dengan ekosistem riset dan inovasi yang bagus. Pemerintah, perusahaan swasta, universitas, NGO dan masyarakat Indonesia harus saling bahu membahu untuk mendorong anak-anak bangsa terutama anak muda untuk berkreasi dan bereksplorasi dengan pembekalan ilmu yang baik dan juga dukungan sepenuhnya baik dalam bentuk materi maupun non materi.
Fajar Sidik Abdullah Kelana
Innovation Management and Product Development
KTH Royal Institute of Technology
Editor: Putu Christ Wirawan