Berlokasi di Kalkstensgatan 8, sebuah kompleks perkantoran di Jönköping yang umumnya diisi oleh para pelaku sektor industri mesin dan alat berat, gedung satu lantai bernama ABF itu berdiri. Masuk ke dalamnya, tampaklah ruang-ruang kelas berdinding kaca yang membuat pelintas bisa menyaksikan kegiatan di dalam ruangan. Waktu menunjukkan pukul 15.30 waktu setempat dan kegiatan belajar-mengajar masih berlangsung hampir di semua kelas. Semua murid yang berada dalam ruangan adalah orang-orang berusia dewasa dari beragam ras. Umumnya berpenampilan fisik khas Afrika, Timur Tengah dan Asia.
Di satu kelas, Samar Darmo memegang tumpukan kertas dan memanggil satu per satu nama peserta kursus. Setiap kali Samar membacakan apa yang tertera di kertas, peserta kursus kompak merespon dengan gumam kagum, sekedar pandangan penuh maklum, dan tak jarang tepuk tangan dan sorakan riuh. Salah satunya Alvia Zuhadmono, biasa disapa Nina, yang saat ini berada di Kurs (tingkat) D program Swedish for Immigrants (SFI). “Itu kertas-kertas ujian yang barusan kita kerjakan,” Kata Nina yang akan melalui ujian kenaikan tingkat minggu depan.
Bahasa Lokal dan Visi Masa Depan
SFI adalah sebuah program pengajaran bahasa tingkat dasar dan pengetahuan seputar masyarakat Swedia bagi para pendatang di negara ini. Tersedia gratis bagi mereka yang memiliki personnumber atau nomor unik tanda identitas kependudukan di Swedia. SFI memiliki beragam tingkatan dan variasi konten pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan latar belakang pendidikan dan rencana masa depan pesertanya. Salah satu bentuk program pengajaran bahasa yang diberikan adalah mengaitkan dengan keterampilan vokasional untuk yang tertarik menekuni profesi pengusaha, insinyur, pengacara, tenaga kesehatan, bahkan sampai tukang kayu, supir truk, supir bus, pengurus toko, dan penjaga anak. Tetapi bagi pelajar Indonesia, ikut pelatihan bahasa Swedia ternyata bukan melulu soal prospek karir melainkan kesenangan belajar dan kebutuhan pergaulan. “Satu, karena memang tertarik belajar bahasa-bahasa baru dan ternyata bahasa Swedia menyenangkan untuk dipelajari. Struktur dan cara pengucapannya sangat unik. Dua, mungkin akan lebih menarik untuk bersosialisasi dan menambah peluang untuk lebih kenal dekat dengan teman-teman dari Swedia,” Ulas Nurina Herarti, peserta program magister di Chalmers University of Technology, sambil menyebutkan adanya kebutuhan karir di tujuan ketiga.
Khusus untuk Chalmers, menurut Nurina, mahasiswa internasional yang baru datang akan mendapat tawaran kesempatan mengikuti satu kali course bahasa Swedia secara gratis untuk kelas basic (A1). Pelatihan ini hasil kerja sama dengan institusi pendidikan bernama Folkuniversitet. Sebelum berangkat, prosedur persiapan yang berjalan adalah setiap mahasiswa yang dipastikan diterima di Chalmers University akan mendapatkan surat elektronik berisi pernyataan apakah bersedia atau tidak mengikuti course bahasa Swedia, jika ya maka jadwal pilihannya apakah mau yang satu atau dua kali seminggu. Setelah dikirim lalu ditunggu balasan kepastian jadwal dan lokasi kursus yang akan diterima hanya dalam hitungan hari.
Senada dengan Nurina, Tito Ilyasa belajar bahasa Swedia untuk memudahkannya bersosialisasi dengan warga lokal selain bersiap dengan keputusan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi atau berkarir di Swedia. Awalnya ia memulai secara otodidak tetapi kemudian merasa belajar sendiri ternyata dirasa tidak cukup. Akhirnya Tito mendaftar SFI di salah satu lembaga edukasi di wilayah Gothenburg pada Oktober 2017. “Sekarang ada di level D. Untuk percakapan umum ringan sehari-hari saya sudah cukup banyak mengerti,” Jawab Tito ketika ditanya sejauh mana kemampuannya berbahasa Swedia saat ini.
Berbahasa Swedia dan Dampak Pergaulan
Nurina mengaku sudah mempersiapkan diri belajar bahasa Swedia sejak di tanah air melalui open sources semacam video tutorial atau latihan dengan duolingo. Teknik ini dirasa sangat membantu para pemula sebelum memulai kegiatan kursus. Pembekalan diri melalui open sources memberikan cukup bekal pemahaman terkait struktur kalimat, cara pengucapan, bahkan pada tingkat praktik seharip-hari semisal membaca petunjuk jalan dan bangunan. Namun pada tingkat praktik secara lisan, Nurina menyatakan bahkan dirinya masih malu-malu melakukan meski ia memahami kunci latihan bahasa adalah ‘berani ngomong’. Kalau sudah terdemotivasi seperti ini maka ia akan melawan dengan, “Perbanyak latihan ngomong terutama sama teman-teman orang Swedia asli karena mereka sangat welcome dan juga senang kalau kita mau belajar. Mereka bisa langsung kasih koreksi langsung kalau ada pengucapan yang kurang tepat, atau mungkin penggunaan kata atau kalimat yang tidak kontekstual. Orang native itu guru terbaik menurutku,”. Berkaitan dengan bahasa dan pergaulan, Nurina berpendapat mempelajari bahasa tidak lepas dari usaha mengasah kemampuan berkomunikasi yang membuat penutur akan lebih percaya diri saat berada di lingkungan bernuansa internasional.
Mengikuti kelas SFI mempertemukan Nina dengan sosok-sosok yang beragam latar belakang dan cerita kehidupan. “Banyak dari teman sekelas yang datang ke Swedia karena perang, konflik politik, atau bahkan agama. […] Saya belajar banyak dari pengalaman hidup teman-teman saya. Dan menambah syukur, bahwa cobaan atau apapun yang saya alami di hidup saya itu nggak ada apa-apanya dibandingkan apa yang harus teman-teman saya alami.” Jawab ibu tiga anak yang menikah dengan warga Swedia keturunan Albania ini. Dari perbicangan dengan sesama peserta kursus, terungkaplah kisah kehilangan anggota keluarga, kepemilikan kekayaan, pekerjaan bahkan harus terombang-ambing di lautan atau berjalan sampai ratusan kilometer dari perbatasan satu negara ke negara lain. Segala upaya dikerahkan demi harapan meraih kualitas hidup yang lebih baik di negara yang mau menerima meski untuk itu berarti harus memulai dan menata hidup dari nol. Keberadaan mereka sangat berkesan buat Nina mengingat sedikitnya selama empat jam per hari dihabiskan bersama di kelas.
Perbedaan latar belakang negara, bidang studi, dan profesi memang bisa jadi bahan obrolan menarik. Di tempat Tito menempuh SFI-nya, salah satu teknik pengajaran yang dipakai adalah diskusi kelompok membahas topik-topik pilihan tertentu dengan bahasa Swedia. Setiap peserta diminta aktif menyampaikan pandangan-pandangan mereka. Selain dirinya mendapat tambahan pengetahuan berupa perbedaan sudut pandang budaya dan etika dari negara asal peserta kursus, Tito mengaku juga memanfaatkan forum seperti ini untuk membagikan informasi tentang kebudayaan Indonesia. Selain itu, ada juga tradisi tahunan untuk kumpul bersama di minggu sebelum Hari Raya Natal. Para peserta kursus dianjurkan untuk membawa makanan khas Natal negara masing-masing, sementara dari pihak penyelenggara kursus juga akan menyajikan santapan Natal khas Swedia. Tito mengaku selalu menantikan acara ini karena, “Selain menyenangkan kita juga bisa mencoba masakan khas dari berbagai negara, makan-makan dan obrolan santai, para murid dan guru juga diajak bernyanyi lagu tradisional Swedia bersama,”.
Atur Keseimbangan Waktu
Nurina menjadikan bekal ketertarikannya untuk belajar bahasa Swedia sebagai pondasi bertahan di tengah jadwal kuliah yang padat. Mengaku sempat keteteran mengatur waktu ditambah faktor cuaca di Swedia yang sangat mempengaruhi mood. “Jadi, kuncinya sih memang harus benar-benar disiplin bukan hanya jadwal kelas, tapi juga dalam mengatur jadwal untuk belajar sendiri mengulang pelajaran bahasa Swedia di kursus.” Ulasnya. Sementara buat Tito, pengaturan waktu kuliah dan kursus bahasa relatif tidak sulit karena kelas SFI hanya satu sampai dua kali dalam seminggu di malam hari. Selain itu, dia juga menerapkan teknik lain agar kedua kegiatan tetap berjalan sesuai standar materi pengajaran tanpa perlu satu kegiatan dikorbankan untuk kegiatan lain. “Biasakan mengerjakan tugas kuliah dengan bertahap dan tidak ditumpuk di akhir sehingga tidak perlu bolos SFI karena besoknya deadline. […] Manfaatkan waktu di kelas sebaik mungkin dan usahakan aktif bertanya dan berdiskusi. Tidak perlu ragu atau malu karena semua sama-sama belajar,”Kata Tito sambil menambahkan tip punya target yang ingin dicapai, semisal naik level dalam waktu 6 bulan.
Bagi ibu rumah tangga seperti Nina, keberadaan tiga anaknya – Eisa (6,5 thn), Aisha (4,5 thn) dan Hannah (2,5 thn) – sempat membuatnya tersendat-sendat menjalani SFI. Mulai belajar sejak empat tahun lalu, ia sempat harus vakum karena kondisi hamil lalu melahirkan dan sambil mengasuh dua anaknya yang masih balita. Nina baru saja kembali ke bangku kursus pada Oktober 2018 setelah Eisa masuk sekolah dan Aisha serta Hannah sudah dalam batas usia masuk dagis atau penitipan anak. Salah satu bentuk dukungan pemerintah dalam upaya penguatan kapasitas para ibu di Swedia adalah menyediakan tempat penitipan bersubsidi. Dalam hitungan lima bulan, Nina mengaku sudah mampu berbincang-bincang, menulis sesuai struktur kalimat bahasa Swedia, memahami puisi, menikmati lagu dan menyimak siaran televisi. Intensitas dan kebutuhan Nina berbahasa Swedia memang tergolong tinggi mengingat tiga anaknya berbahasa Swedia di rumah (selain bahasa Inggris, Albania dan Bahasa Indonesia) dan tentu saja di sekolah. “Jadi saya pribadi ingin tahu dan terlibat dengan pendidikan dan kehidupan sosial mereka. Mengerti apa sih yang mereka pelajari di sekolah, bisa diskusi dengan guru-gurunya juga ngobrol dengen teman-teman mereka. Buat saya itu yang terpenting.” Kata Nina yang juga menjadikan sang suami teman ngobrol dalam bahasa Swedia.
Suci Haryati
Master’s Programme International Communication
Jönköping University