Selain IKEA dan jembatan tempat syuting video klip Isyana Saraswati-Raisa, ada satu pertanyaan yang rutin dilontarkan sahabat maupun keluarga saya di Indonesia: ‘Gimana rasanya jadi Muslim di negara mayoritas nonMuslim?’ Apalagi, di Skandinavia yang sudah mendekati lingkar kutub utara ini. Berpuasa hampir 20 jam rasanya terdengar gokil sekaligus ‘ngeri’.
Tentu saya tak memberikan mereka cerita-cerita melankolik (yah namanya puasa, kan memang menahan lapar dan dahaga, mau berapa jam sekalipun). Saya juga tak punya kisah-kisah heroik mendakwahkan Islam seperti yang digambarkan film-film Indonesia yang konon diangkat dari kisah nyata penulis novelnya. Namun, saya mendengar dan mendapat pelajaran berharga dari peristiwa-peristiwa kecil selama setahun lebih saya berada di Swedia.
Semua pelajaran itu berpangkal pada prinsip Lagom yang tersohor menjadi ciri khas Swedia. Sudah pernah dengar belum? Lagom artinya cukup, “enough, sufficient, adequate, just right”. Jika diterjemahkan ke dalam konteks perilaku bersosial, lagom bisa dimaknai “berbaur dengan tepat tanpa menampilkan emosi yang ekstrem.”
Beragama di Indonesia dan Swedia memang tidak bisa–dan tidak mungkin dibandingkan, sebab Swedia bukan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. https://ppiswedia.se/masakini/tantangan-sebagai-muslim-di-swedia/
Menurut riset terbaru tahun 2016, populasi muslim di negara kaya inovasi ini sekitar 8%, sedangkan populasi muslim di Indonesia lebih dari 80%. Tentu saja tantangan yang dihadapi berbeda.
Nah, di sini saya akan berbagi sedikit dari sudut pandang pengalaman berorganisasi bersama teman-teman Muslim internasional di Swedia. Mungkin kalian bisa mendapat sesuatu yang menarik dari sini.
Berserikat Sebagai Sesama Muslim Itu Nggak Dilarang Kok…
Saya bukan orang yang punya jiwa kepemimpinan menonjol atau suka mengatur-atur di garda terdepan. Jadi, kalaupun saya ikut kumpul-kumpul di suatu kelompok/organisasi, kalian akan menemukan saya di bagian yang lain–yang sebisa mungkin nggak kelihatan orang tapi memungkinkan bertemu banyak orang. Di Tanah Air, saya sempat aktif di kajian keislaman jurusan Desain Produk Industri, ITS Surabaya dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), makanya penasaran aja bagaimana rasanya bisa ngumpul dengan orang-orang di luar urusan akademik.
Nah begitu di Swedia, saya secara tak sengaja kecemplung ke dalam salah satu komunitas mahasiswa Muslim di kampus tempat saya kuliah, KTH Royal Institute of Technology. Niat awalnya murni penasaran, karena ada salah satu mahasiswa bikin post di grup Facebook “Muslim Students – KTH”. Ini satu-satunya forum dunia maya yang aktif mengkoordinir sholat Jumat di main campus KTH dan tanya-jawab.
Kala itu Nuha, si mahasiswi senior, menanyakan adakah yang berminat kopdar alias ketemuan untuk mengelola grup ini di dunia nyata. Selama ini memang tak ada organisasi resmi yang memayungi mahasiswa Muslim di KTH. Secara spontan di hari yang ditentukan, ada sekitar 10 orang yang muncul dari berbagai latar belakang; mulai mahasiswa S1, S2, bahkan PhD, dan kewarganegaraan seperti Irak, Iran, Afghanistan, India, Bangladesh, Turki, Uni Emirat Arab, dan saya satu-satunya orang Indonesia. Kami lalu mendadak ditodong jadi ‘board of members’ bakal organisasi keislaman di kampus teknik tertua di Swedia ini.
Seketika saya merasa ini bukan sembarang keren-kerenan organisasi, karena banyak sekali yang musti dilakukan. Untuk menjadi organisasi resmi–dan tidak berbuntut masalah hukum di kemudian hari–perkumpulan mahasiswa ini musti didaftarkan ke Skatteverket sebagai organisasi nirlaba. Setelah resmi, kami melanjutkan administrasi ke Tekniska Högskolans Studentkår (THS) alias Student Union di KTH agar terdaftar secara resmi menjadi asosiasi di bawah payung mereka. Syarat-syaratnya sebenarnya nggak ribet, tapi memang harus sabar. Namanya dibikin simpel, Muslim Students KTH atau disingkat MS-KTH.
Ini jadi pengalaman baru buatku, yakni merasakan langsung bagaimana suatu organisasi/asosiasi terbentuk mulai dari nol. Bagian terpenting adalah meluruskan niat, bahwa perkumpulan ini diharapkan membawa misi kebermanfaatan bagi anggotanya yang beragama Islam tanpa terang-terangan menyatakan ini organisasi berbasis agama. Alasannya, THS adalah organisasi yang independen secara politik dan keagamaan, asosiasi di bawahnya tidak boleh terlihat membela atau menentang organisasi keagamaan atau partai politik tertentu.
Asosiasi wajib sejalan dengan nilai-nilai utama yang dianut KTH dan Swedia pada umumnya: demokrasi, kesetaraan manusia, hak asasi manusia dan kebebasan dan diskusi yang bebas dan terbuka. Makanya, yang tertulis di laman resmi THS KTH di sini https://ths.kth.se/en/list/muslim-students-kth adalah “Our aims are to create a comfortable, welcoming and fulfilling experience as well as being meeting-point for Muslim students at the Royal Institute of Technology. We also do strive to spread awareness and understanding about Islam in the KTH community.”
Kisah Raibnya Sajadah-Sajadah di Mushala Kampus
Lalu datanglah kasus pertama yang dihadapi: penyitaan sajadah-sajadah yang ditaruh di Silent Room alias ruangan yang biasa dipakai untuk beribadah. Kalian melihat sajadah ditaruh sebagai fasilitas sebagai sesuatu yang wajar dong ya. Sayangnya di KTH, ini ilegal meski tujuannya menggantikan ketiadaan karpet di sana.
Duduk perkaranya, petugas kebersihan menganggap sajadah tak seharusnya ditinggalkan di Silent Room sesuai peraturan yang ditetapkan kampus. Silent Room musti dalam keadaan standar; tanpa karpet dan barang-barang tambahan.
Tak kalah cerdik, kawan-kawan MS-KTH menyiasati dengan mengambil sajadah-sajadah hasil urunan mahasiswa itu setiap disita petugas kebersihan. Kami mengambilnya di KTH Entre, tempat semua barang-barang hilang bermuara. Biasanya kami beralasan, “barang kami tertinggal di Silent Room.” Lama kelamaan kayaknya si petugas kebersihan kesal, hingga pada suatu ketika pihak kampus tak lagi mau mengembalikan sajadah-sajadah itu.
Di grup FB sempat dihimbau agar kawan-kawan sebaiknya membawa sendiri sajadah untuk sholat dan tidak membawa masalah ini lebih panjang. Namun setelah melalui diskusi dan beberapa pertimbangan, 5 orang perwakilan MS-KTH meminta bertemu dengan 2 orang perwakilan KTH yang menangani komplain mahasiswa. Kami melaporkannya sebagai tindakan diskriminatif.
Karena diskusi berlangsung dalam bahasa Swedia, saya jadi penggembira saja, haha. Tapi sedikit-sedikit saya paham apa yang diperbincangkan. Intinya, kami mengkomunikasikan pentingnya keberadaan sajadah karena lantai Silent Room tak menyediakan karpet. Muslim memiliki hak untuk beribadah dalam keadaan ruangan yang bersih. Apalagi setiap hari, puluhan mahasiswa bergantian sholat di ruangan tersebut.
Alhamdulillaah, perlahan KTH mendengar aspirasi itu. Sekitar dua bulan kemudian, kampus mulai menaruh karpet di Silent Room dan menambah fasilitas seperti gantungan jaket serta rak sepatu. Kami pun tidak lagi meninggalkan barang-barang di sana, karena memang sudah peraturannya. At least, we got win-win solution.
Lagom Dalam Beragama, Asal Kita Tahu Mana yang Penting…
Begitu pula dalam hal sholat. Tidak seperti kebanyakan di Asia dan Afrika, ibadah dan keimanan adalah urusan paling privat di Negeri Barat, termasuk Swedia. Orang-orang Skandinavia cenderung tidak ikut campur urusan orang lain karena memberi ruang pribadi.
Itulah yang membuat saya sempat mengalami perasaan kikuk dalam menyampaikan keperluan ibadah. Kesannya sepele, tapi di satu sisi saya takut dicap sok religius (meski mereka juga tak ambil pusing). Di sisi lain, saya agak ogah ditanya atau menjelaskan macam-macam.
Beruntung, saya dikelilingi kawan-kawan yang saling menguatkan. Dari hasil diskusi dengan banyak kawan Muslim, kuncinya adalah bagaimana cara kita menyampaikannya. Yakni tetap sopan dalam meminta izin, beri gambaran bahwa sholat itu penting bagi umat Islam, tapi nggak ribet. Hanya sebentar dan butuh tempat kecil yang bersih saja. Hasil curhatan saya ada di artikel CNN Indonesia ini https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190322185932-269-379876/belajar-seni-toleransi-lewat-izin-salat-di-swedia
Termasuk saat bingung menghadapi perubahan waktu sholat yang jadi pendek begitu memasuki musim dingin maupun panas. Atau bagaimana menyiasati waktu sholat di tengah ujian di kampus. Atau status kehalalan makanan yang kita konsumsi, karena sebenarnya mencari makanan halal di Swedia itu nggak susah kok.
Belum lagi tantangan minimnya kajian keislaman berbahasa Inggris–apalagi Indonesia–di Swedia. Kajian berbahasa Inggris hanya bisa didapatkan secara offline oleh AlMaghrib Institute Sweden setiap 3 bulan sekali, sebab ceramah di masjid-masjid Swedia hampir semuanya disampaikan dalam bahasa Swedia atau Arab. Syukur, sesekali pengajian diaspora Indonesia di Stockholm mendatangkan imam masjid Aysha, Imam Muhammad Muslim, yang bule Swedia tapi mau kasih ceramah dalam bahasa Inggris. Tak ketinggalan, grup Facebook MS-KTH yang sangat membantu untuk berdiskusi.
Lantas apakah kita perlu bersedih hati berada di negeri yang jauh dari sanak saudara yang kebanyakan Muslim? Kalau kata pepatah Swedia, “Den som vill sjunga hittar alltid en sång”. Those who wish to sing, always find a song.
Cepat beradaptasi dan tak malu bertanya menjadi modal mental yang penting. Dengan memposisikan diri sebagai orang yang haus ilmu, kita jadi terus memperbarui diri dengan ilmu agama yang belum pernah ditemui di kondisi nyaman seperti saat di Indonesia. Yang ada, ya disyukuri. Yang belum ada, ya terus dicari. Sama seperti prinsip lagom orang Swedia. Cukup dan yang sedang-sedang saja kayak lagu dangdut. Hehe.
Artika Rachmi Farmita
Mahasiswa S2 jurusan Media Management
Kungliga Tekniska Högskolan, Stockholm
Editor: Ria Ratna Sari