Oleh: Citamia Ihsana
Semakin kesini, semakin banyak mahasiswa S2 atau S3 yang sudah berkeluarga. Tentunya kehidupan mereka dibandingkan dengan yang masih single berbeda. Bagaimana bisa sampai di Swedia? Apa yang menjadi motivasi untuk terus melanjutkan studi walau sudah berkeluarga? Lalu, apa saja kelebihan dan tantangannya?
Mari simak wawancara yang dilakukan oleh Citamia, salah satu anggota divisi Media PPI Swedia dengan Arlisa Febriani, mahasiswa S2 Teknik Sumber Daya Air, Lund University.
Yuk!
Arlisa Febriani bersama suami dan anak, Teknik Sumber Daya Air-Lund University
Sewaktu di Indonesia kamu kerja apa?
Selepas lulus S1 dari jurusan Teknik Lingkungan1 di tahun 2009, saya bekerja pada proyek-proyek pemerintah di bidang air bersih dan sanitasi. Saya juga sempat bekerja pada perusahaan swasta pengelola air limbah di kawasan Industri, sebelum akhirnya memutuskan untuk beralih profesi menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT) di tahun 2011.
Bisa kamu ceritakan bagaimana bisa sampai ke Swedia?
Keputusan saya beralih profesi menjadi IRT, terkait dengan kepindahan keluarga kecil kami ke Kabupaten Berau (Kalimantan Timur). Di lokasi kami bermukim, penyediaan air bersih maupun pengelolaan sampah masih terbatas, maka saya berusaha menerapkan apa yang saya dapat dari bangku kuliah dalam skala kecil (diri sendiri dan keluarga/ rumah). Sebagai contoh aplikasi ilmu TL (Teknik Lingkungan) di rumah: kami menerapkan sistem panen air hujan(SPAH) untuk memenuhi kebutuhan air, berusaha mengurangi sampah plastik, maupun mengolah sampah anorganik dan organik.
Selama menjadi IRT, saya memiliki lebih banyak waktu untuk membaca dan belajar berbagai hal, namun karena sumber bacaan yang terbatas, maka sayapun lebih sering membaca artikel dari internet, yang kemudian diselingi dengan mengintip berbagai kabar melalui media sosial. Kesempatan berangkat ke Swedia adalah salah satu yg saya temukan ketika sedang membaca kabar kerabat dalam jejaring sosial. Suatu waktu di penghujung 2014, kawan saya membagi tautan ‘Blue Bag Award’, sebuah kompetisi yang disponsori oleh IKEA Indonesia, Lund University dan Mercy Corps.
Mulanya saya tertarik membaca tautan tersebut karena yg mensponsori adalah IKEA (peritel perabot rumah tangga favorit saya), lalu kagum ketika kompetisi tersebut berhadiah beasiswa S2 ke Swedia. Ketika membaca tautan ini, saya langsung mengabarkan sahabat saya, yang saat itu sedang bersemangat untuk melanjutkan S2.
Pada mulanya saya tidak berminat untuk mengikuti kompetisi karena melanjutkan S2 bukanlah sesuatu yg saya cita-citakan, lalu saat itupun saya sedang menikmati peran saya sebagai IRT.
Pada akhirnya saya memutuskan untuk bergabung pada kompetisinya, setelah membaca ini pada halaman Bluebag award: “How can we improve access to clean water?”
Akses pada air bersih adalah sesuatu yang tidak kami dapatkan dengan baik selama menetap di Berau, inilah mengapa kamipun memasang SPAH di rumah, lalu berusaha menghemat pemakaian air setiap hari. Sebelum menerapkan apapun di rumah, saya memiliki kebiasaan menulis ide-ide terkait ilmu TL yang ingin diterapkan (baik skala kecil maupun skala besar) pada buku catatan.
Setelah merenungi ide dalam buku catatan, dan merenungi kembali apa yg saya dapatkan selama bekerja, rasanya permasalahan air adalah sesuatu yg sangat ingin saya bantu selesaikan. Maka akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti kompetisi, dengan tujuan ingin menuangkan ide-ide yang selama ini hanya tersimpan dalam buku catatan, sekaligus melatih kemampuan menulis dalam Bahasa Inggris yg sudah lama tidak terpakai (kompetisi ini meminta pesertanya mengajukan solusi dalam bentuk essay berbahasa inggris).
Semua ide dan pemikiran yg selama ini saya tulis secara acak pun akhirnya saya rangkum menjadi sebuah konsep bernama Kinanti. Kinanti inilah yg saya ajukan dalam kompetisi Blue Bag Award.
Karena semenjak awal tujuannya hanyalah menuangkan ide dan melatih kemampuan Bahasa, saya tidak pernah terpikir bahwa sayalah yg kemudian terpilih menjadi pemenang, lalu mendapat kesempatan untuk kuliah S2 di Swedia.
Kinanti itu konsep untuk solusi masalah air yang ditawarkan oleh Arlisa?
Iya, jadi sebetulnya Kinanti adalah konsep kampanye pelestarian air. Saya mengajukan kampanye sebagai solusi, karena secara teknis, sudah banyak teknologi dalam mengelola air bersih dan air limbah, hanya saja kesadaran masyarakat untuk melestarikan air masih kurang. Menurut pendapat saya, jika masyarakat belum sepenuhnya terlibat dalam proses pelestarian sumber daya air khususnya, dan pelestarian lingkungan secara umum, teknologi secanggih apapun bisa jadi mubazir.
Kinanti sebetulnya diambil dari dua kata, Kini dan Nanti. Kegiatan utamanya adalah edukasi, agar masyarakat bisa bertindak di masa kini (dalam hal pelestarian air), untuk kepentingan di masa nanti.
Contoh kegiatannya, di tahun pertama akan dilakukan edukasi kontinu tentang mengapa harus hemat air dan bagaimana caranya, lalu siapapun yg bisa menghemat air akan mendapat penghargaan (reward). Reward ini bisa ditukar dengan poin, ataupun didonasikan. Donasinya berupa sumbangan air bersih kepada yg membutuhkan. Misalnya, jika satu orang bisa hemat air 10 Liter dalam sebulan, nanti kami akan menyalurkan air bersih sebanyak 10 liter pada orang lain yg belum mendapat akses ke air bersih.
Di tahun kedua, materi edukasinya akan berbeda, begitupun dengan rewardnya, tapi intinya tetap sama, semakin banyak orang yg aktif terlibat dalam melestarikan air, semakin luas efeknya (karena selain mendonasikan air bersih, rewardnya bisa berupa penanaman pohon, pembuatan bipori, atau sumur resapan). Jika ingin tau lebih banyak tentang Kinanti, bisa main ke halaman ini
Apa yang memotivasi kamu untuk memperbaiki lingkungan sekitar?
Saya merasa, bumi ini adalah rumah kita bersama, dan bumi ini cuman ada satu. Apapun yg kita lakukan di rumah (bumi) kita sekarang, tindakan sekecil apapun, akan memberi dampak pada lingkungan. Dampaknya bisa terasa sekarang ataupun nanti di masa mendatang.
Saya pernah menjadi lalai dan kurang peduli dengan lingkungan sekitar, dan lalu merasakan dampaknya sendiri. Usaha saya untuk memperbaiki lingkungan ini semacam usaha untuk memperbaiki diri juga.
Mudah-mudahan usaha yang saya lakukan (termasuk dengan berkuliah lagi untuk mempelajari teknik sumber daya air) bisa memberi dampak baik untuk bumi, supaya tidak ada orang lain/makhluk lain yang dirugikan oleh tindakan saya, baik di masa kini maupun nanti. Bonusnya, mudah-mudahan bumi yang sekarang bisa lebih nyaman ditempati oleh generasi penerus.
Apa tantangan tinggal di Swedia?
Tantangannya adalah bertukar peran dan beradaptasi dengan lingkungan baru.
Selama menjadi IRT di Berau, tugas saya di rumah adalah mendidik dan mengasuh anak sekaligus mengurus keperluan domestik (masak, mencuci dan membersihkan rumah).
Pindah ke Swedia, tanggung jawab saya bertambah, dan saya pun harus membagi waktu antara kuliah, belajar dan mengurus rumah. Jika lelah dan tidak sempat masak, saya tidak bisa dengan mudah membeli makanan jadi, seperti yg biasa kami lakukan ketika di Berau.
Maka saya hanya sanggup memenuhi tanggung jawab domestik di dua bulan pertama. Selebihnya, suami saya mengambil alih tugas rumah hingga kini. Awalnya ini sulit bagi saya dan suami, karena kami tidak terbiasa. Ditambah lagi, lingkungan seperti ini sangat baru untuk kami bertiga, yg semula tinggal di Berau dengan suhu sekitar 30 C, pindah ke Lund yg dingin dan berangin (bahkan suhu 16 C pun sempat membuat kami super kedinginan).
Kelebihan kuliah membawa keluarga?
Keuntungan bagi saya pribadi, lebih tenang dalam menjalani perkuliahan. Karena kehadiran suami dan anak memberikan tambahan semangat.
Keuntungan bagi keluarga kami, kesempatan tinggal di sini membuat kami lebih solid, lebih memahami satu sama lain. Menurut pendapat saya, ini salah satu manfaat dari bertukar peran/ bertukar sudut pandang.
Manfaat lain berkuliah ke Swedia sambil membawa keluarga adalah, adanya akses pendidikan dan kesehatan yang gratis, juga fasilitas sosial dan fasilitas umum yang baik, memberikan kesempatan bagi anak untuk bertumbuh dan bermain di lingkungan yang lebih sehat.
Terus bagaimana setelah selesai kuliah rencana kamu mau ngapain?
Kembali jadi ibu rumah tangga, yang lebih giat mengedukasi lingkungan sekitar, lalu berusaha mewujudkan Proyek Kinanti. Harapannya, keluaran dari kedua aktivitas tersebut adalah terbentuknya komunitas yg aktif dalam pelestarian lingkungan, hingga suatu saat komunitas ini bisa membangun eco village.
Pesan untuk yang sudah berkeluarga ingin kuliah lanjut ke Swedia?
Menurut saya, ketika memutuskan untuk berkuliah ke luar negeri, misalnya ke Swedia, sambil membawa keluarga, persiapan yg paling utama adalah persiapan mental.
Hal yg keluarga kami lakukan terkait persiapan mental: minimalkan ekspektasi,maksimalkan usaha yang bisa dilakukan. Karena dengan membawa keluarga, tentu lebih banyak hal yang harus dipersiapkan, lebih banyak faktor tak terduga yg bisa terjadi dalam prosesnya.
Minimalkan ekspektasi maksud saya terkait dengan membuat rencana. Kadang kita punya banyak ekspektasi, membuat banyak rencana, tapi sebaik-baiknya rencana manusia, tentu lebih baik rencanaNya.
Jika terlalu banyak berekspektasi, kadang bisa membuat kita kecewa jika harapan tersebut tidak tercapai.
Maksimalkan usaha, jika termasuk keluarga yg religius, tentu jelas, tahapan awal dari semua usaha adalah berdoa, semoga langkahnya selalu dituntun pada jalan terbaik menurutNya. Dilanjutkan dengan usaha memahami kondisi tiap anggota keluarga, dan membiasakan diskusi dalam keluarga. Karena diskusi dan kompromi adalah hal yg terus menerus akan perlu dilakukan selama beradaptasi dengan kondisi dan lingkungan baru.
Bagi kamu mempunyai minat yang sama dengan Arlisa dan ingin bertanya-tanya langsung, kamu bisa kirim email ke: arlisa.febriani@gmail.com