“Kalau terpikir mau kuliah di Swedia, menurut saya, lebih baik dari sekarang dibiasakan mandiri dalam hal apa pun. Kalau di Indonesia kita bisa santai, disini pressure-nya tinggi. Mandiri dalam belajar, membaca dan…OK banget kalau mulai punya skill masak!” Giovani Kartika merangkum hal-hal yang perlu dipersiapkan jika Swedia menjadi pilihan tempat untuk melanjutkan pendidikan.
* * * * *
Waktu menunjukkan pukul delapan malam waktu setempat, hari Minggu. Saat dihubungi via telepon, Giovani Kartika atau biasa disapa Nia meminta waktu sejenak untuk keluar ruangan. “Loh, memangnya lagi dimana?” tanya saya. “Aku lagi di perpustakaan. Cari ruangan yang nggak quite room dulu, ya. Jadi bisa ngobrol,” jawab Nia dengan nada suara rendah. Hari Minggu malam cuaca terbilang dingin di kota-kota di Swedia. Keputusan Nia memilih kehangatan diantara buku-buku di perpustakaan padahal ia baru saja menyelesaikan misa yang membutuhkan waktu tempuh perjalanan satu jam dengan naik bus, sudah cukup menyiratkan impresi semangat belajarnya.
Bukan tanpa alasan memang jika Nia menggembleng dirinya sejauh itu. “Pertemuan di kelas cuman dua jam jadi dosen nggak mungkin akan bahas secara detail dari reading list misalnya ada tiga bab. Dia hanya bahas poin-poin pentingnya aja. Tapi kalau mau tahu detailnya ya…harus baca.” Ujar Nia yang tengah meraih magister jurusan Accounting System, Lund University. Perbedaan sistem pendidikan di Swedia secara otomatis mengubah cara belajarnya. Dari SKS (Sistem Kebut Semalam) saat mempersiapkan paper atau ujian, menjadi mengikuti alur rancangan perkuliahan seperti jatah membaca harian.
Sistem akademik perguruan tinggi ala Swedia menerapkan seluruh materi perkuliahan berada secara terpusat dan online. Mulai dari jadwal kuliah, materi bacaan dan kuliah, sampai pengiriman tugas, dijalankan melalui sebuah platform. Buat Anisa Aini Arifin yang sedang kuliah Industrial Management and Innovation di Uppsala University, sistem pendidikan Swedia yang sudah lebih maju telah ia waspadai berdasarkan masukan dosen dan beberapa teman sebelum meninggalkan tanah air. Terlebih ia juga telah punya pengalaman meriset di Universitas Pusan, Korea Selatan, yang sedikit banyak memberikan bekal secara mental untuk menghadapi perbedaan pola belajar di perguruan tinggi di luar Indonesia.
Belajar Masak dan Persiapan Musim Dingin
Di luar akademik, hal lain yang dinilai pelajar di Swedia berpotensi memancing shock adalah makanan. Buat Nia, shock dengan harga makanan siap santap membuatnya kerap teringat kemudahan aplikasi penyedia jasa pesan dan antar makanan di tanah air. Kini ketiadaan fasilitas tersebut di Swedia memacunya untuk belajar memasak dan belanja kebutuhan pasokan harian. Khusus untuk belanja kebutuhan pokok, Nia bahkan menyempatkan lebih dulu meriset supermarket-supermarket di wilayahnya berdasarkan harga yang ditawarkan.
Kelvin Soen dari KTH Royal Institute of Technology, Stockholm, mengaku secara khusus belajar masak dari sang ibu dan teman pada dua bulan menjelang keberangkatan. Menurut mahasiswa magister jurusan Entrepreneurship and Innovation Management ini, anggaran lebih menjadi pertimbangan. Harga makanan sajian restoran terbilang membuat biaya hidup membengkak buat kantung pelajar khususnya penerima beasiswa seperti dirinya. Kelvin pun memilih mempersiapkan diri dengan keterampilan menguasai 5 – 6 jenis menu masakan sebelum berangkat. “Kebetulan nggak masalah kalau makan tanpa nasi. Karena pernah kerja di luar (negeri). Nggak lama. Paling 2 atau 3 bulan.” Kata Kelvin yang menilai tata kota dan prinsip keseimbangan hidup sebagai dua hal yang positif di Swedia.
Perbedaan cuaca dan suasana kota tempat tinggal tidak kalah memberikan kejutan. Terbiasa hidup di negara tropis, Nia menyampaikan perlunya mengatur keseimbangan asupan agar stamina tetap prima sebagai antisipasi pergantian cuaca di negara empat musim. Sementara Nisa sudah bersiap dengan segala perlengkapan musim dingin yang baru akan kali pertama ia lewati di Swedia. Termasuk membeli mesin penghangat ruangan tambahan mengingat heater di kamar kosnya beroperasi dengan sistem sentral dan hanya dihidupkan sesuai perubahan suhu ruangan di musim dingin. “Kata salah satu senior disini, winter itu bisa bikin stress karena sinar matahari sedikit sekali,” Jawab Nisa saat ditanya alasan kematangan persiapannya.
Mengenai tempat tinggal, Kelvin yang mendapat pemukiman di sebuah apartemen di kawasan sebuah pusat perbelanjaan di Stockholm mengaku merasa homesick dengan keriuhan ibukota Jakarta. “Biar macet tapi ramai jadi nggak berasa kesepian. Sampe larut malam masih ramai banyak orang jadi bikin semangat buat aktivitas. Kalo disini jam 7 (malam) udah sepi. Jadi males aktivitas juga,” Tutur Kelvin yang sempat ingin pulang untuk beberapa hari ke Jakarta. Dalam kondisi ini, dia merasa beruntung karena homesick yang dirasakan tidak sampai mengganggu semangat belajar.
Berkelompok dan Berguyub
Berkesempatan tinggal dan belajar di lingkungan internasional tentunya memiliki nilai lebih dalam mengasah daya bersosialisasi. Dalam konteks perkuliahan, tugas yang umumnya dikerjakan secara berkelompok merupakan sarana melatih prinsip kerja tim di tengah perbedaan bahasa, budaya dan bangsa. Bagi Nia, kondisi ini perlu diadaptasi antara lain dengan kemampuan memahami latar belakang setiap anggota kelompok dan dinamika kelompok tanpa mengabaikan apa yang menjadi standar diri sendiri. Konsep ini ia terapkan dengan sejak awal memulai interaksi di kelompoknya, ia sudah menyampaikan pandangan bahwa sebagai penerima beasiswa, ia tidak hanya terpaku pada standar kelulusan tetapi juga perolehan grade. Beruntung timnya mengamini pendapat tersebut yang membuat mereka terpacu menghasilkan upaya terbaik. Namun, Nia tidak menyanggah bahwa semua tidak selalu berjalan harmonis mengingat perbedaan budaya dan latar belakang yang juga mempengaruhi dinamika kelompok. “Anggota kelompok aku ada empat orang. Dua diantaranya sudah punya pengalaman sebagai auditor. Saat mengerjakan tugas, karena sudah punya pengalaman, terkesan seperti ada yang memaksakan pendapat,” ulas Nia yang kemudian bersama rekan kelompok saling berbagi peran menjadi pendengar dan penengah perbedaan pendapat.
Hakikat manusia sebagai mahluk yang senang bersosialisasi dan menjalin relasi tidak selalu mampu dipenuhi dalam konteks pemukiman berbeda negara. Nisa misalnya, secara terbuka mengakui kehilangan keguyuban di tempat tinggalnya di Sernanders väg 2, Flogsta. “Waktu datang pertama kali…shock siy. Disini ‘kan tempat tinggal jauh-jauh. Jadi waktu nyampe karena lebih awal, gitu deh…kesepian,” Jelas Nisa sambil menambahkan betapa sikap menjaga hal-hal pribadi atau privacy oleh orang-orang di Swedia, termasuk sesama pelajar Indonesia, menjadi sumber kondisi ketidakguyuban tersebut. Masing-masing sudah memiliki teman atau kelompok yang dirasa sudah memberikan kenyamanan. Maka Nisa pun berupaya menjalin pertemanan dengan berbagai kalangan untuk menciptakan keguyuban setidaknya sebagai upaya mengusir kesepian di perantauan.
Suci Haryati
Master’s Programme International Communication, Jönköping University
Tinggal di Jönköping, Swedia