Oleh Satu Cahaya Langit. Bagian 2 | Bagian 3
Walaupun sudah mendengar nama Sarek dari tahun lalu, baru bulan ini benar-benar bisa terwujud keinginan untuk berpetualang kesana. Sarek adalah 1 dari 29 taman nasional yang ada di Swedia. Letaknya diutara Swedia. Swedia pada umumnya memang berkontur datar dan tidak memiliki begitu banyak gunung tinggi. Pengecualiannya adalah dibagian utara, dimana disana terdapat jejeran gunung tinggi. Dalam tulisan ini, saya akan bercerita serunya petualangan kami di Sarek.
Sebelumnya, saya juga sudah menulis informasi mengenai Sarek, cara kesana, akomodasi dan lainnya, di blog Study in Sweden (berbahasa Inggris).
Persiapan dan Perencanaan
Bagian yang paling sulit dari berwisata bersama teman-teman itu ada dibagian perencanaan. Yaitu menentukan tanggal yang cocok. Setelah sempat berganti-ganti tanggal, akhirnya diputuskan 11-14 Agustus 2017 menjadi tanggalnya. Selesai ditanggal, ternyata peserta wisata juga tidak kalah rumit.
Awalnya 6 orang. 3 sudah pasti, 3 tentatif
lalu jadi 3 orang.
lalu bertambah 1 teman dari Vietnam.
lalu berkurang 1 orang lagi.
Akhirnya menjelang keberangkatan, ada 2 lagi yang mau ikut.
Saya, Ela, Steve dan Akhsanto dari Indonesia, serta Tuan dari Vietnam. Sarek yang terbilang jauh dan sulit dijangkau dengan angkutan umum, dengan adanya Steve yang punya surat izin mengemudi (SIM), kami dapat menyewa mobil. Transportasi di Swedia ini cukup mahal, sehingga kami berhemat waktu dan uang dengan menyewa mobil.
Selain kami berempat dari Indonesia, di Stockholm kami juga belajar di kampus yang sama yaitu KTH. Hanya Tuan yang dari kota dan kampus lain, yaitu kota Uppsala dan kampus Uppsala University. Sebenarnya dia baru akan tiba di Swedia tanggal 9 Agustus, yaitu 2 hari sebelum petualangan dimulai. Saya sempat bertanya, ”Apa kamu tidak kelelahan setelah perjalanan jauh dari Vietnam?”, tapi dia bilang akan baik-baik saja. Hebat ya.
Hari pertama: Menikmati perjalanan mobil
Tiba di bandara Skellefteå pukull 10 tepat. Cuacanya cukup cerah. Kami langsung mengantre di meja penyewaan mobil. Sambil antre, kami melihat ada mesin check-in otomatis dan kami langsung mencobanya. Kami kan penasaran akan hal baru dan canggih. Setelah dicoba beberapa kali dan gagal, akhirnya kami sadar kalau mesin itu untuk perusahaan mobil Hertz, sementara pesanan kami pada Europcar. Duh!
Pengambilan mobil berjalan lancar. Mobilnya dikasih yang lebih besar daripada pesanan. Kami memeriksa bagian luar dan dalam mobil, untuk memastikan semuanya baik dan kalau ada yang rusak, bukan disebabkan oleh kami. Mobil pun meluncur dari bandara Skellefteå. Akhsanto yang duduk di samping pengemudi menyambungkan ponselnya ke layar mobil agar dijadikan navigasi. Untungnya jalan yang kami harus tempuh tidak terlalu rumit sehingga saya bisa menghafalnya tanpa GPS.
Karena sudah hampir jam makan siang, kami mampir di kota Skellefteå dan makan kebab. Dua piring untuk kami berlima. Karena berhemat, dan porsinya lumayan banyak. Makan besarnya nanti di kota terakhir sebelum Sarek.
Skellefteå masih 380 km dari pintu masuk Sarek. Kami melewati kota Piteå dan mampir di kota Luleå untuk membeli gas untuk kompor kami. Gasnya tidak bisa dibawa dari rumah karena kami naik pesawat. Jalur kami adalah E4, jalur tol terpanjang di Swedia yang menghubungkan ujung selatan dan ujung utara Swedia. Tapi dari Luleå kami belok ke tol yang lain, menuju kota terakhir sebelum Sarek, yaitu Jokkmokk.
Jalan yang ini tidak seramai tol besar E4. Mungkin ini salah satu sebabnya seekor rusa lewat di depan mobil kami. Kami sontak berteriak kegirangan dan kagum. Sedang asyik melihat si rusa berjalan di sisi kiri, tiba-tiba ada satu lagi yang lebih besar di sebelah kanan. Untung kami berhasil menghindarinya.
Karena Jokkmokk adalah kota terakhir sebelum masuk ke hutan, kami mengisi perut sekenyang-kenyangnya. Di hutan nanti, persediaan makanan kami tidak akan seenak makanan restoran. Kebetulan ada restoran Thailand, yang rasanya tidak jauh berbeda dengan selera Indonesia (dan Vietnam).
Dari Jokkmokk ke Sarek, jalanannya semakin sepi. Tapi jalur ini melewati danau besar yang selalu terlihat di kiri jalan, jadi menambah keindahan pemandangan jalan. Dari belokan desa Tjåmotis menuju parkiran mobil Sitoalvsbron, jalur kembali mengecil menjadi satu jalur. Karena memang jarang sekali mobil yang lewat di tempat ini. Malah kami juga sempat berhenti dan memastikan kalau ini jalan yang benar.
Musuh tak terduga
Sekitar jam 6 lebih kami sampai di tempat parkir. Buka pintu dan keluar dari mobil untuk menghirup udara segar hutan. Saat itu juga hinggaplah beberapa makhluk yang tidak kami duga akan ada diudara dingin seperti ini: nyamuk! Tidak hanya banyak, mereka juga besar ukurannya. Saya kira mereka hanya muncul ketika udara sedang hangat. Sedangkan di Stockholm yang lebih hangat dari tempat ini saja mereka tidak muncul, kenapa di sini yang lebih dingin mereka malah ada ya? mungkin karena ini dataran tinggi ya? Untung Ela membawa lotion anti-nyamuk. Itu pun tidak bertahan terlalu lama dan harus sering dioles.
Karena teman-teman masih bersiap, saya dan Akshanto mencuri waktu sebentar untuk Shalat. Kebetulan parkirannya dekat dengan sungai.
Kami pun mulai berjalan dengan riang. Akhirnya setelah seharian ini di mobil, sekarang jalan juga. Udaranya segar sekali. Tipikal alam Swedia. Yah, walaupun setiap menitnya kami harus menepis nyamuk-nyamuk yang hampir hinggap di kulit kami. Tak apa, ini justru menjadi tantangannya.
Jalur jalan kami seharusnya menyusuri sungai, tapi rupanya jalur yang saya lihat di peta itu adalah jalur mobil salju. Yang artinya terlalu lebat untuk dilewati ketika belum bersalju seperti saat ini. Untungnya ada jalur lain yang lebih dekat. Walaupun jalur ini akan dilewati juga ketika pulang. Setiap perjalanan, biasanya saya berusaha pergi dan kembali melalui jalan yang berbeda. Ceritanya agar melihat hal yang baru dari awal hingga akhir. Ah, yang penting kami semua senang dan selamat, pikir saya.
Karena malam sebentar lagi datang. Kami yang sebenarnya ingin bertenda di tempat terbuka, terpaksa mengurungkan niat karena tempat terbukanya tak kunjung ditemukan. Tidak ingin berjalan di gelap, kami berhenti di tepi jalan yang dilalui sungai untuk memasang tenda. Tempat ini sebenarnya tidak terlalu cocok untuk bertenda, dikarenakan banyak tumbuhan. Tapi ini pilihan terbaik kami, jadi kami tetap lakukan.
Semakin malam, semakin liar pula nyamuknya. Ela yang bertugas memasak harus berjuang dan terus bergerak agar tidak dihinggapi nyamuk. Kami semua memasang tutup kepala dan sarung tangan. Walaupun nyamuknya mudah sekali di tepuk (berbeda dengan nyamuk Indonesia yang sulit sekali), tetap saja mengganggu. Ketika makanan sudah siap, kami segera masuk ke dalam tenda. Tenda Akhsanto yang berukuran dua orang, dimuatkan lima orang untuk makan malam. Walau sempit, tapi esensi makan bersamanya dapet banget, lho.
Baju yang kami bawa dan persiapkan sangat tebal dan hangat. Winter mode, saya memanggilnya. Ekspektasinya kan di Sarek itu dingin. Tapi malam itu ketika mulai berbaring di tenda masing-masing. Kami setuju kalau suhunya tak sedingin yang kami kira. Malah saya tidur memakai kaus saja, tanpa kantung tidur (sleeping bag). Menurut prakiraan yang kami baca, malam hari suhunya akan di bawah 10 derajat.
Tapi rupanya mungkin hangat yang kami rasa karena kami baru saja makan atau “berperang” dengan nyamuk terus-menerus. Semu. Malam harinya turun hujan dan suhu sebenarnya mulai terasa. Pesan moralnya adalah: Jangan cepat sombong di hadapan alam.