Oleh Satu Cahaya Langit. Bagian 1 | Bagian 2
Hari ketiga: Dari ujung ke ujung
Setelah dua hari dirundung awan tebal, akhirnya pagi ini membuka tenda dan melihat langit biru tanpa awan. Kami bangun jam 8. Sarapan sambil menikmati pemandangan dan langit yang sedang cantik-cantiknya. Tidak sabar untuk melihat pemandangan Skierfe dalam langit cerah begini.
Tuan kembali minta izin untuk tidak ikut. Karena hari ini kita akan jalan jauh lagi, dia takut kelelahan dan mau menyimpan tenaga. Walau agak menyayangkan, tapi saya menghormati keputusannya. Kami berempat pun jalan ke puncak lagi.
Walau pemandangannya sama, bagi saya yang menyukai fotografi, bedanya sudut matahari memberikan “menu” yang berbeda juga. Kali ini bukit di seberang tidak lagi dalam bayangan. Kemarin sore kami bertemu satu pendaki di puncak, kali ini kami yang pertama. Mungkin karena kebanyakan pendaki bertenda agak jauh di bawah dan memilih mendaki 7km tanpa beban.
Selain pemandangan Rapadalen, “menu” lain yang bisa dinikmati adalah puncak-puncak gunung lain di Sarek yang tertutup salju dan berjejer di sisi utara. Gunung Toblerone, kami menyebutnya, karena bentuknya yang segitiga dan berjejer rapih.
Saya selalu mengira jalan ke gunung atau hutan itu akan kehilangan sinyal ponsel. Sebenarnya memang tidak selalu ada sinyal selama kami berjalan. Tapi di puncak Skierfe ini sinyalnya lumayan kuat. Akhsanto tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan melakukan live di Facebook.
Setelah puas berfoto dan menikmati pemandangan Skierfe, kami turun ke tenda lagi. Hari ini kami harus mulai turun karena besok malam kami sudah harus naik pesawat dari Skellefteå. Karena jalur pulangnya sama, kami punya beberapa pilihan tempat untuk bertenda. Kami harus memutuskan dimana kami akan bertenda malam ini.
- Di Aktse pemandangannya bagus dan ada toilet, tapi jarak ke parkiran mobil masih sangat jauh. Sedangkan kami harus berangkat naik mobil menuju Skellefteå paling lambat jam 12 siang keesokan harinya.
- Di pantai dan dermaga, nyamuknya lebih sedikit, tapi air di sungai besar sepertinya tidak bisa diminum karena berdekatan dengan dermaga dan tempat kapal
- Di tempat tenda malam pertama ada sungai dan dekat ke parkiran, tapi nyamuknya luar biasa banyak.
Kami melakukan pengambilan suara, dan 3 suara memilih di Aktse. Dengan catatan pada hari keempat, kami harus sudah jalan kaki pagi sekali. Semuanya pun setuju.
Kami juga sempat papasan dan ngobrol dengan dua bule yang berjalan ke arah Skierfe. Kebetulan mereka orang Swedia, jadi saya bertanya bagaimana penyebutan “Skierfe” menurut orang Swedia.
“Wah Skierfe itu sebenarnya nama Sami (suatu Suku di utara Swedia). Jadi saya juga hanya bisa menebak. Kamu harus tanya yang benarnya kepada orang Sami. Menurut saya, dibacanya, Skierfe (syer-pe)”
Setelah membereskan tenda, saya mendapat ide dadakan. Saya kan lebih suka untuk berjalan di jalan pulang yang berbeda dengan jalan datang, ditambah kontur di atas sini membebaskan kita untuk jalan ke arah mana saja, ditambah lagi, saya selalu suka berjalan di punggung gunung. Tapi, saya ragu teman-teman akan mau ikut, karena ini berpotensi jalannya semakin jauh, dan tidak tahu apa yang akan ditemukan di jalannya. Mungkin saja jalannya lebih sulit. Jadi, saya minta izin agar saya boleh memisahkan diri sampai di Aktse. Untung Steve dan yang lainnya setuju.
Saya pun mulai berpisah dan berjalan ke arah satu punggung gunung yang terdekat dan searah dengan arah pulang. Karena jalan saya lebih tinggi, saya masih bisa melihat mereka sampai setengah jam berjalan. Setelah itu saya betul-betul sendiri. Sesampai dipuncak satu gunungan, hamparan bukit berbatu menyambut saya dengan tenang. Tenangnya kadang bikin saya duduk sebentar di batu dan menikmati pemandangan. Terkadang ada rusa yang sedang makan dan melihat saya, lalu melanjutkan makannya kembali.
Ternyata pilihan mengambil jalan baru itu pilihan yang bagus. Saya menemukan dua danau di tengah lembah kecil. Berpapasan juga dengan bule yang kelihatannya tersesat. Dia bertanya apa ada air mengalir untuk ia minum. Ia bilang sudah 15km berjalan tanpa bertemu air mengalir. Saya berpikir mungkin jalurnya berbeda ya dengan kami, karena kami cukup mudah menemukan sungai-sungai di perjalanan. Saya pun menunjuk ke arah sungai terakhir yang saya lihat.
Setelah mengira-ngira jalan menuju Aktse, akhirnya saya sampai di titik turun ke Aktse. Teman-teman juga baru 20 menit sampai di sana, sedang istirahat dan makan siang. Saya pun segera melahap roti isi keju dan ayamnya.
Perubahan rencana dan perjuangan Ela
Jam 3 lebih kami sampai di kabin Aktse dan beristirahat. Niat awal mau berkemah dan bersantai di sana, terpaksa kami urungkan. Karena ternyata untuk bertenda juga harus bayar. Dengan harga yang sama dengan menginap di kabin. SEK200 per orang per malam. Tentunya ini mengubah rencana kami lumayan banyak. Peter menjelaskan, area terdekat yang gratis untuk berkemah adalah di atas Aktse (yang baru saja kami lewati).
Kami duduk dan berdiskusi sebentar sambil beristirahat. Kaki Ela mulai sakit. Mungkin karena banyak berjalan sejak dua hari lalu. Pilihan kami sekarang tinggal berkemah di tepi sungai dermaga kapal. Lalu kami mendapat usul untuk langsung saja jalan ke parkiran mobil. Karena di dermaga itu airnya kurang bersih. Semua setuju untuk berjalan langsung ke parkiran. Meskipun waktu kelihatannya sedikit dan bisa sampai di sana ketika sudah gelap.
Jam 4 lebih kami mulai jalan dari Aktse. Harusnya 16-17 kilometer ini bisa kami tempuh dengan 5 jam lebih. Kamera Steve sempat tertinggal di Aktse ketika beristirahat, untungnya Akhsanto yang jalan paling belakang sempat melihat kemudian membawanya.
Jam 6.30 kami berhenti di tepi sungai untuk makan malam. Jalan dari Skierfe pagi ini dan rencananya akan sampai ke parkiran di hari yang sama, membuat kami lapar. Menu kali ini: Indomie dengan daging rendang bungkus. Tidak lupa teh manis panasnya untuk menambah energi.
Di pantai dermaga, kami sempat berhenti sebentar. Memandang ke belakang dan melihat Skierfe di kejauhan. Pagi tadi kami baru dari atas sana. Rasanya enak, berpetualang seperti ini. Ini juga hentian terakhir kami sebelum masuk kembali ke jalan membosankan sepanjang 10-12 kilometer.
Ela sepertinya yang paling akan mengingat petualangan Sarek ini. Sepanjang jalan terakhir ini, dia yang dapat cobaan paling berat. Kakinya makin sakit, sementara jalannya masih jauh.
“Kok enggak sampai-sampai sih?” tanyanya beberapa kali selama perjalanan. Untung teman-teman mau menemani dan berjalan lebih lambat. Sering juga Ela meringis kesakitan. Tapi kerennya adalah, dia enggak mau di bawakan tasnya. Berhenti dan istirahat juga bikin makin sakit ketika melanjutkan, jadinya kami enggak terlalu banyak berhenti.
Ela juga yang pasti paling senang ketika akhirnya jembatan terakhir sebelum parkiran sudah kelihatan. Saya terbayang rasa bangganya, karena berhasil menaklukkan rasa sakit dan lelahnya.
Sampai di mobil jam 10 malam. Kami memutuskan untuk istirahat di mobil dan tidur sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Sebenarnya kami bisa saja tidur di mobil sampai pagi, tapi akses air kurang memadai (ada sungai tapi deras sekali), jadi kami setuju lebih baik tidur di kota.
Hari keempat: Menemukan kota kecil yang cantik
Jam 1 malam itu kami berangkat ke Jokkmokk, kota terdekat yang searah dengan arah kami ke Skellefteå. Tidak ada satu mobil pun di jalan utamanya. Sebelum jam 3 subuh, kami sampai di Jokkmokk. Parkir di restoran Thailand yang kemarin kami singgahi (karena sudah tahu parkirannya gratis), lalu kami tidur disana.
Di Swedia matahari terbit cukup awal. Jam 6 ketika kami berangkat lagi, matahari sudah terang. Kami singgah di rest area di dekat kota, karena ada toilet umum gratis. Sekalian kami sarapan dengan sup. Sekalian menghabiskan gas tabung yang kami bawa.
Saya menggantikan Steve menyetir dalam perjalanan pulang ini. Kami mengambil jalur yang berbeda dengan jalur berangkat. Kali ini akan melewati kota yang namanya Arvidsjaur. Karena pesawat kami malam ini jam 7, dan sekarang masih jam 10 pagi, kami menyetir dengan perlahan. Agar teman-teman bisa tidur dengan enak, dan agar saya juga bisa menikmati pemandangan.
Sampai di Arvidsjaur jam 1 siang. Karena kotanya bagus dan menarik, kami memutuskan untuk berhenti dan lihat-lihat. Ada danau di tengah kota dikelilingi oleh taman. Walaupun matahari bersinar terang dan dari dalam mobil di luar terlihat hangat, ternyata itu palsu. Berjalan keluar mobil, angin berhembus dengan dingin.
Jam sudah masuk jam makan siang. Kami melewati sebuah hotel yang kelihatan mewah, dan tertulis “lunch buffet” tanpa tertera harganya. Kalau dilihat dari hotelnya, rasanya akan mahal. Tapi kami tetap putuskan untuk masuk dan tanya. Begitu mendengar harganya hanya SEK95 per orang, sama dengan harga resto kecil di Stockholm, kami langsung memesan untuk lima orang.
Dari Arvidsjaur, kami sempat mencoba mampir di kota Skellefteå tapi tidak menemukan parkiran gratis. Kami beristirahat sedikit di luar kota, sambil main kartu dan makan yoghurt. Setelah itu mencari tempat pembuangan akhir (TPA) untuk membuang tabung gas, dan tepat pukul 18 kami sampai di bandara.
Petualangan Sarek berakhir ketika kami sampai dengan selamat di Stockholm dan kembali ke rumah masing-masing. Walaupun badan pegal, tapi kami setuju kalau petualangan ini seru. Semoga bisa berjalan bersama lagi suatu hari nanti ya!