Di masa pandemi COVID-19, seluruh negara Skandinavia menerapkan lockdown, kecuali Swedia. Tidak heran banyak berita dari media internasional bernada sinis terhadap Swedia karena menganggapnya santai menghadapi krisis atau mengecap Swedia ingin punya kekebalan kelompok (herd immunity). Orang Swedia, setidaknya yang saya temui, paham bahwa dunia, bahkan negara tetangganya, sedang “mengejek” mereka. Reaksi mereka, sejauh yang saya temui di kehidupan nyata dan maya, adalah tidak ambil pusing.
Misalnya akun @sweden.se di Instagram sempat menjadi wadah komentar menyalahkan Swedia tanpa lockdown, dari akun yang tidak berbahasa Swedia atau akun warga negara lain. Reaksi pengelola akun itu, sederhananya: bagimu peraturanmu, bagiku peraturanku.
Memang ada juga berita tentang sejumlah akademisi Swedia mengecam pemerintah mereka yang tidak memberlakukan lockdown. Tapi setelah berbicara dengan orang Swedia di akar rumput atau dalam kehidupan sehari-hari, saya dapati mereka tidak menyayangkan situasi tanpa lockdown. Kenapa? Ini satu faktor yang saya pikir menjadi landasannya, di luar ekonomi dan sains.
Allemansrätten
Orang Swedia hidup dengan konsep allemansrätten. Saya tidak bisa menerjemahkan kata itu secara harfiah. Secara makna, allemansrätten berarti hak setiap orang untuk mengakses ruang publik ataupun alam terbuka.
Allemansrätten sedikit berbeda cakupannya dengan hak asasi manusia (mänskliga rättigheter). HAM mengacu pada deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa 10 Desember 1948 tentang hak dasar untuk hidup, hak diperlakukan setara di hadapan hukum, hak mendapat pendidikan, dan seterusnya. Cakupan allemansrätten bisa dibilang lebih spesifik. Dalam konteks HAM, pada dasarnya kita tahu bahwa orang Barat sangat menjunjung kebebasan individu. Sedangkan allemansrätten di Swedia ini dimaknai sebagai kebebasan satu individu yang dibatasi oleh kebebasan individu lain ditambah kewajiban menjaga alam dan lingkungan.
Allemansrätten tidak disebut dalam hukum formal Swedia. Konsep ini adalah norma yang diketahui secara umum oleh masyarakat Swedia. Bergerak bebas di alam sudah menjadi tradisi di Skandinavia karena penduduknya tidak padat dan sebagian besar lahan adalah milik negara. Pihak swasta pun harus menghormati tradisi ini.
Dalam penjelasan allemansrätten yang dikeluarkan Naturvårdsverket (badan perlindungan lingkungan di Swedia) tertera hak dan kewajiban yang saling berkaitan. Di bagian hak, dijelaskan bahwa allemansrätten berarti en frihet under ansvar atau kebebasan yang bertanggung jawab. Orang boleh berada di hampir seluruh bagian alam terbuka tapi harus menjalankan kewajiban, yaitu menunjukkan hänsyn. Lagi-lagi bukan terjemahan literal, hänsyn berarti mempertimbangkan hak orang lain dan dalam konteks ini kelestarian alam.
Naturvårdsverket mencantumkan sejumlah konteks berlakunya allemansrätten misalnya saat berkemah, bersepeda, berburu, memancing, mendaki, dan sejenisnya. Salah satu contoh penerapannya, orang boleh melintasi lahan orang lain tapi mereka sadar tidak boleh mempergunakan apalagi merusak lahan tersebut. Bila ada larangan melintas dari pemilik lahan pun, mereka akan menghargainya.
Di Swedia, orang bebas berkeliling di hutan dan memetik berry ataupun jamur tapi mempertimbangkan seberapa banyak yang boleh mereka ambil. Orang boleh berkemah dan piknik dengan batas waktu dan jumlah peserta yang wajar, serta mengukur jarak agar tidak mengganggu penduduk sekitar. Di Indonesia, ini mungkin semacam “tahu diri”.
Bagaimana orang Swedia mengukur kewajaran? Dengan menggunakan sunt förnuft, yang jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia kurang lebih berarti pertimbangan akal sehat yang kemudian disesuaikan dengan situasi. Terjemahan Bahasa Inggris-nya, yang menurut saya cukup dikenal di Indonesia, adalah common sense. Selama suatu kegiatan di ruang publik tidak mengganggu orang lain dan tidak merusak kelestarian alam, menurut orang Swedia, itu termasuk dalam allemansrätten. Sesuai semboyan allemansrätten: inte störa, inte förstöra, tidak mengganggu, tidak merusak.
Keterangan foto: Pintu bus yang melewati pengemudi ditutup untuk menghindari kontak dengan penumpang.
Keterangan foto: Bagian dalam bus yang terhubung dengan pengemudi dibatasi dengan pita merah-putih.
Di masa pandemi, pemerintah Swedia memperbolehkan warganya bepergian di dalam negeri. Tapi dalam konferensi persnya Perdana Menteri Swedia Stefan Löfven mengatakan warga bisa mengukur jarak dan urgensi mobilitas mereka dengan sunt förnuft. Kebiasaan untuk menggunakan sunt förnuft ini sudah mengakar pada masyarakat Swedia. Seorang mantan atlet ski berusia 58 tahun, Monica Äijä-Lenndin bercerita pada saya belajar tentang allemanrätten dari lingkup keluarga. Ketika kecil, dia biasanya menjelajah hutan untuk piknik dan belajar untuk tidak meninggalkan sampah di sana. Di sekolah-sekolah Swedia pun hal ini ditanamkan, misalnya lewat kegiatan anak-anak pra sekolah jalan bersama ke area pepohonan di kota dan memetik berry.
23 Jam Kebahagiaan di Taman Nasional Tyresta – PPI Swedia
Allemansrätten Melampaui Lockdown
Dengan memahami allemansrätten, kita bisa paham juga alasan Swedia menolak lockdown di masa pandemi sebab dengan kerangka allemansrätten inilah masyarakat Swedia berpikir. Sebelum penjarakan sosial (social-distancing) populer, orang Swedia sudah terbiasa mengukur sejauh mana mereka dapat dekat dengan orang lain secara fisik maupun relasi. Sehingga, saat COVID-19 merebak, mereka hanya perlu menambah faktor penyebaran virus sebagai pertimbangan (hänsyn), yaitu terhadap orang-orang dalam kelompok rentan COVID-19 pada khususnya, dan sesama manusia pada umumnya.
Orang Swedia, yang saya tahu, ke luar rumah dengan tetap melakukan pembatasan seperti anjuran pemerintah, juga tidak mendekati kelompok rentan, misalnya lansia. Orang dengan gejala sakit, seringan apapun, akan mengisolasi diri di rumah. Toko dan restoran yang tetap buka pun menerapkan aturan penjarakan sosial.
Keterangan foto: Himbauan untuk menjaga jarak fisik bagi pengunjung kafe Friends di Luleå.
Keterangan foto: Sejumlah kursi dan meja di dalam restoran cepat saji Max dipasangi tanda larangan duduk untuk menjaga jarak fisik pengunjung.
Jika pemerintah Swedia menerapkan lockdown, itu berarti melarang warga leluasa berada di alam terbuka, yang berarti mencabut allemansrätten. Sudah pasti masyarakat bakal resisten. Apalagi orang Swedia biasanya adalah pecinta kegiatan outdoor. Mengutip cerita Monica Äijä-Lenndin lagi, selain aturan yang memang ada dalam hukum formal, pemerintah Swedia tidak pernah mengeluarkan larangan. “Otak manusia itu tidak bisa mengerti kata ‘tidak’. Karena itu, kita tidak bisa melarang orang,” ungkapnya.
Konsep allemansrätten sebenarnya juga dikenal di negara-negara Eropa lain seperti Finlandia, Norwegia, Denmark, Islandia, sebagian Inggris Raya yaitu England, Wales, dan Skotlandia. Namun, kebebasan yang diperoleh warganya tidak sama dengan di Swedia. Di Denmark misalnya, orang boleh mengambil berry dalam jumlah lebih sedikit karena tingkat kepadatan penduduknya lebih tinggi sehingga sebagian besar lahan berstatus lahan olahan yang ada pemiliknya.
Swedia, Pangan, dan Sustainability – PPI Swedia
Darurat COVID-19 ala Swedia
Dalam kacamata negara-negara darurat COVID-19, Swedia jelas tampak terlalu santai. Tapi di mata orang Swedia, meski tidak berlaku lockdown, tetap terjadi hal yang menandakan situasi luar biasa di Negara Viking ini, yaitu pidato kebangsaan PM Swedia Stefan Löfven pada Minggu, 22 Maret sekitar pukul 9 malam.
Pidato itu menyusul rekomendasi bekerja dan belajar dari rumah bagi penduduk Swedia pada pekan yang sama. Dalam durasi lima menit, Stefan Lövfen secara khusus menyampaikan bahwa dia mengerti kekhawatiran dan kekecewaan penduduk Swedia tapi juga meminta masyarakat rela berkorban di masa pandemi. Dia meminta setiap orang mempersiapkan mental terhadap kemungkinan yang dihadapi Swedia di waktu mendatang.
Kenapa pidato ini menandakan situasi luar biasa? Pidato kebangsaan ini adalah kali pertama dilakukan Lövfen sejak menjabat pada 2014. Melihat sejarah, PM di Swedia sangat jarang melakukan pidato kebangsaan. Pidato sebelumnya dilakukan PM Göran Persson pada 2003 ketika Menteri Luar Negeri Anna Lindh dibunuh dalam sebuah peristiwa kriminal.
Sebagai warga, Monica Äijä-Lenndin berkomentar bahwa pidato Stefan Löfven adalah langkah yang tepat untuk mengingatkan masyarakat. Menurutnya, kecenderungan jamak warga Swedia yang berusia lanjut terbiasa mandiri dan sulit dilarang bepergian. Misalnya ayah dan ibunya sendiri, yang berusia 84 dan 82 tahun, tetap pergi berbelanja secara mandiri.
Keterangan foto: Papan pengumuman kegiatan publik di Luleå tampak kosong, hanya diisi informasi tentang respon terhadap COVID-19.
Perubahan yang cukup drastis akibat wabah COVID-19 juga adalah penghapusan karensdag, yaitu hari pertama seorang pekerja sakit dan tidak mendapat kompensasi atas sakitnya pada hari itu melainkan baru pada hari setelahnya. Sekarang, pekerja mendapat kompensasi sejak hari pertama sakit. Itu diterapkan pemerintah Swedia supaya pekerja merasa penghasilannya aman meski tetap berada di rumah karena sakit.
Pada akhirnya, memang tidak sederhana menjelaskan alasan Swedia tidak melakukan lockdown. Semoga cerita tentang allemansrätten ini bisa jadi tambahan sudut pandang tentang keunikan Swedia hingga latar belakang pengambilan keputusan mereka.
Atmi Pertiwi
Luleå Tekniska Universitet
Korta Vägen 2020
Editor: Darmawan Prasetya
Referensi: