Swedia adalah negara dengan kepadatan penduduk yang sangat rendah (22/km²), yang menjadikan Swedia berada di urutan ke 193 dari 232 negara di dunia.Jauh dibandingkan dengan Indonesia dengan kepadatan penduduk 144/km² atau terdapat 144 penduduk per kilometernya, hal ini membuat Indonesia berada di urutan ke 83 [1].
Permasalahan yang dihadapi oleh berbagai negara dengan wilayah yang relatif besar adalah pemerataan pembangunan. Pihak yang menjalankan pemerintahan mau tidak mau dituntut untuk mengkondisikan agar pembangunan dapat dirasakan secara adil dan merata oleh sebanyak mungkin masyarakat. Salah satu indikasi yang dapat dijadikan tolak ukur adalah tinggi rendahnya angka urbanisasi.
Urbanisasi tentu tidak terjadi tanpa alasan apapun. Penyebab tingginya urbanisasi salah satunya adalah kesempatan kerja, kesenjangan taraf hidup, pendidikan, kesehatan dll antara desa (daerah ”pinggiran”) dan kota (pusat bisnis/pemerintahan). Di Indonesia, kesenjangan ini sudah terjadi sejak zaman kemerdekaan dan menjadi permasalahan yang semakin rumit untuk diatasi dari waktu ke waktu. Rencana pemerintah untuk memindahkan ibukota ke Kalimantan juga merupakan salah satu upaya pemerintah mengatasi hal ini. Tak pelak, pemindahan ibukota ini pun menuai kritikan dari berbagai pihak. Kondisi pandemi sekarang ini juga semakin meragukan terealisasinya rencana ini pada waktu yang sebelumnya sudah dicanangkan oleh pemerintah.
Berbicara mengenai urbanisasi dan pemerataan pembangunan, bagaimana Swedia menangani permasalahan ini ya? Pertanyaan ini terjawab ketika saya mulai mencari-cari mencari lowongan pekerjaan di Swedia. Saya mahasiswa teknik, jadi saya mencari perusahaan di bidang teknik atau teknologi. Menariknya, saya menemukan perusahaan-perusahaan besar di berbagai kota di Swedia. Ada yang terletak di kota – kota besar dan ada juga yang di kota – kota kecil.
Perusahaan-perusahaan ini tidak terpusat di kota-kota besar saja, seperti Stockholm, Malmo atau Gothenburg. Sebagai contoh, IKEA – sebuah perusahaan furniture berkelas dunia – berawal dari Älmhult. Sebuah kota kecil di wilayah utara Swedia yang luas areanya hanya kurang dari 9 km² dan jumlah penduduk 9.400 orang. Contoh lainnya, LKAB – sebuah perusahaan tambang besi – yang memiliki situs tambang di Kiruna, bagian utara Swedia. Tambang besi ini merupakan tambang besi kedua terbesar di dunia. Kiruna adalah kota kecil dengan luas wilayah 16 km² dan berpenduduk sekitar 18000 orang. Contoh lain lagi adalah ABB. ABB merupakan perusahaan teknik asal Swedia yang sudah beroperasi di berbagai negara, termasuk di Indonesia. ABB memiliki kantor utama di Ludvika, sebelah barat kota Stockholm. Kota kecil ini luasnya hanya 11 km² dengan penduduk 14.400 orang.
Perusahaan- perusahaan tersebut menjadi bukti upaya pemerintah swedia dalam menciptakan pembangunan yang merata di berbagai wilayah. Kota-kota di Swedia dibangun dan berjalan dengan bermodalkan pada keunggulan lokal masing-masing. Sebagaimana yang disebutkan di atas, misalnya Älmhult unggul dengan produk furniturenya, Kiruna unggul dengan tambang besinya, Ludvika unggul dengan produk keteknikannya. Kota-kota lain pun juga memiliki keunggulan perekonomian masing-masing, misalnya Gothenburg terkenal akan industri otomotif dan pelabuhannya (Volvo), Linköping dengan industri pesawat terbangnya (SAAB), Luleå dengan industri pengolahan bajanya (SSAB), dll.
Industri-industri unggulan lokal ini mampu menjadi sumber penggerak perekonomian daerah sehingga mengurangi terpusatnya pembangunan di kota-kota besar, terutama ibukota. Sekaligus juga mengurangi arus urbanisasi masyarakat. Bagi masyarakat kota kecil, tinggal di kota kecil bukanlah pilihan yang buruk karena mereka masih memiliki kesempatan yang sama dengan masyarakat di kota besar, seperti penghasilan yang sama besar – bahkan lebih tinggi, akses pendidikan yang berkualitas setara di seluruh wilayah negara, tingkat pelayanan kesehatan yang kualitasnya merata, dll.
Dari sini, sistem pembangunan di Swedia terbilang menarik dan sukses. Namun, ada satu pemikiran yang mengganggu di kepala saya. Sebagai orang yang tinggal di Luleå, ibu kota Norrbotten county di bagian utara Swedia, saya merasakan kehidupan di ”kota kedua” seperti Luleå ini relatif lebih sepi. Sepi yang saya maksud adalah kurangnya pilihan kegiatan atau tempat untuk melepas penat atau berekreasi di sela-sela waktu belajar/bekerja. Belum lagi di musim dingin ketika kita tidak leluasa untuk keluar atau masuk rumah setiap waktu – karena harus memakai/melepas baju yang berlapis-lapis. Terlebih lagi jika memiliki beberapa anak kecil seperti saya.
Begitulah kondisi saya yang tinggal di Luleå, kota dengan luas wilayah sebesar 29 km² dan jumlah penduduk sekitar 77800 orang. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan di kota-kota kecil seperti Älmhult, Pajala, Boden, Ludvika atau Kiruna. Akan lebih sedikit pilihan aktivitas yang bisa dilakukan bersama keluarga di luar rumah, terutama ketika musim dingin.
Saya sempat meragukan pemikiran saya ini, hingga akhirnya saya tanyakan ke beberapa rekan saya yang merupakan orang swedia. Dan hal ini memang benar adanya. Begitu pula dengan kemudahan bagi kami yang tinggal di kota non-metropolitan untuk menabung lebih banyak yang disebabkan karena kurangnya pilihan untuk membelanjakan uang di kota kami.
Dengan kondisi kehidupan masyarakat di Swedia yang seperti ini, saya jadi dengan mudah memahami mengapa Swedia memiliki begitu banyak kesempatan untuk cuti kerja, terutama bagi orang tua. Saya jadi paham mengapa Swedia memiliki banyak sekali libur panjang, misalnya ketika libur musim panas selama hampir 2 bulan, dan ketika musim dingin selama 1-3 minggu. Di masa libur tersebut, terutama saat musim panas, masyarakat Swedia memanfaatkannya dengan berkeliling dunia menghabiskan tabungan mereka sebagai “balasan” atas ”terkungkungnya” kehidupan mereka di kota-kota non-metropolitan tersebut selama satu tahun ke belakang.
Tentu saja gambaran kehidupan ini tidak akan selalu benar, ada juga kemungkinan bahwa masyarakat Swedia sangat menikmati kehidupannya sekalipun dengan kebersahajaan hidup di kota non-metropolitan. Sementara, saya menilai seperti yang saya ceritakan di artikel ini dengan perspektif sebagai seseorang yang berasal dari Asia yang memiliki standar hiburan yang relatif lebih tinggi daripada orang Swedia pada umumnya.
Terlepas dari hal tersebut, hal yang perlu digaris bawahi adalah Swedia telah berhasil mencapai pemerataan pembangunan di berbagai wilayahnya. Sekalipun di kota-kota kecil dan jauh dari kota metropolitan, kehidupan yang layak dan berkualitas tinggi tetap dapat dirasakan oleh setiap masyarakat. Semoga suatu saat hal yang sama bisa kita jumpai di negara kita tercinta, Indonesia.
Sumber referensi:
[1] https://worldpopulationreview.com/country-rankings/countries-by-density.
[2] Google Maps
Rayendra Anandika
Operation and Maintenance Division
Luleå University of Technology
Editor: Darmawan Prasetya