Bagi pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di Swedia mungkin istilah “cashless society” udah nggak asing lagi. Kalau rajin baca berita dari negara kita, hal ini menjadi salah satu wacana yang tak henti-hentinya menjadi pembahasan hangat di media-media tanah air. Pemerintah Indonesia saat ini juga sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), atau bisa dikenal juga dengan “cashless society”. Isu hangat tersebut berkisar dari biaya top-up kartu e-money, pembebasan biaya penggunaan kartu kredit hingga pemberlakuan pembayaran non-tunai di hampir semua jalan tol di Indonesia.
Uang merupakan salah satu sistem pembayaran yang terus berevolusi mulai dari bentuk koin dan uang kertas, cek/giro, kartu kredit/ATM, e-money, e-wallet hingga virtual currency seperti bitcoin. Dengan perkembangan jaman yang sangat cepat, sistem pembayaran “cashless” memiliki banyak keuntungan, seperti lebih praktis karena nggak perlu repot bawa uang tunai untuk bertransaksi. Selain itu, biaya transaksi secara cashless juga tidak mahal dan bisa memudahkan kita dalam memantau histori transaksi.
Berdasarkan Digital Money Index 2017, kesiapan cashless atau digital money suatu negara ditentukan oleh faktor-faktor antara lain dukungan pemerintah dan pasar, infrastruktur teknologi dan finansial, kemudahan penggunaan digital money dan juga kecenderungan masyarakatnya untuk beradaptasi. Dalam indeks ini, Swedia merupakan negara di kawasan Nordic dengan peringkat tertinggi di antara Denmark, Norwegia dan Finlandia dalam hal kesiapan dan pelaksanaan digital money serta menjadi peringkat keenam di dunia. Saat ini masyarakat Swedia sudah cukup terbiasa menggunakan sistem non-tunai di hampir seluruh transaksi, mulai dari belanja di supermarket sampai beli es krim di kedai pinggir jalan.
Sebagaimana dilansir media online The Guardian, bank sentral Swedia, The Riksbank, mengungkapkan bahwa nilai transaksi tunai di Swedia pada tahun 2015 tidaklah lebih dari 2% jika dihitung dari total keseluruhan transaksi di negara tersebut. Hingga tahun 2020, transaksi tunai di Swedia pun ditargetkan hanya mencapai 0,5% dari total transaksi. Pusat perbelanjaan maupun pertokoan di Swedia juga hanya menunjukan nilai transaksi tunai kurang dari 20%, dimana angka ini cukup jauh di bawah rata-rata transaksi tunai secara global, yaitu 75%. Hal yang lebih mengejutkan lagi, ternyata sebanyak 900 dari 1600 bank di Swedia sudah tidak menyimpan uang tunai maupun melayani setoran uang tunai.
Hidup tanpa uang tunai
Sebagai pelajar yang merantau untuk belajar ke luar negeri, khususnya Swedia, hidup tanpa uang tunai merupakan proses penyesuaian terhadap nilai-nilai budaya setempat. Di masa awal hidup di Swedia saya sempat cukup lama menyimpan uang tunai dalam bentuk Swedish Krona (SEK) di dalam dompet. Namun, dengan banyaknya transaksi yang dilakukan secara cashless di berbagai tempat, saya pun memutuskan untuk tidak lagi menyimpan uang tunai dalam jumlah yang terlalu banyak. Biasanya saya menyimpan sekitar 50-100 SEK saja untuk beberapa toko yang masih membutuhkan uang tunai walau nyatanya bisa tidak terpakai sampai berhari-hari karena jarang dibutuhkan. Hidup di negara yang serba cashless, kuncinya adalah memiliki rekening bank. Mulai dari belanja di supermarket, isi ulang atau membeli kartu transportasi, bayar taksi, isi ulang pulsa, makan di kantin kampus, semua dilakukan dengan kartu debit/kredit bank baik Visa maupun Mastercard dengan sistem PIN yang kurang lebih hampir sama dengan di Indonesia.
Salah satu hal yang membuat cashless system di Swedia berbeda dengan Indonesia adalah penggunaan aplikasi di handphone sebagai sistem pembayaran. Konsepnya sama seperti aplikasi transportasi daring yang sedang sangat digemari masyarakat Indonesia saat ini (Go-Jek atau GrabBike), namun bedanya kita menggunakan aplikasi tersebut untuk transportasi umum seperti bus atau kereta. Memanfaatkan sistem online banking dan mendaftarkannya pada aplikasi, tiket dapat langsung dibeli dalam bentuk QR code yang nantinya bisa di-scan pada QR reader di dalam bus atau kereta. Bahkan untuk kereta jarak jauh milik Swedia yang bernama SJ, kita tidak perlu repot untuk mencetak tiket karena QR code bisa ditunjukkan selama pemeriksaan tiket.
Hal yang sama berlaku untuk nonton film di bioskop, cukup beli lewat aplikasi SF Bio dan kita tinggal mencetaknya sendiri di mesin yang ada di bioskop. Berbelanja di supermarket pun bisa dilakukan secara mandiri dengan self-scanning di cashier-less store. Hampir semua supermarket di Swedia memiliki cashier-less store seperti ICA, WILLY’s, COOP sampai IKEA dimana mayoritas hanya menyediakan cashless payment menggunakan kartu debit/kredit.
Bank-bank di Swedia tidak memiliki sistem transaksi dengan e-money seperti di Indonesia, namun Swedia punya aplikasi mobile payment untuk transaksi antar nomor handphone yang bernama SWISH. Konsepnya cukup sederhana, yaitu transfer ke sesama nomor telepon (person to person payment) secara real-time dan terkonfirmasi. Saat ini SWISH menjadi mobile payment yang paling populer di Swedia, dapat digunakan untuk berbagai macam pembayaran di beberapa toko, restoran, kedai kopi, street food sampai ongkos potong rambut. SWISH juga menjadi sangat praktis digunakan untuk shared expense seperti patungan makan di luar bersama teman-teman karena kamu bisa transfer dengan nominal-nominal ganjil seperti 63 SEK atau 47 SEK, sesuai dengan harga yang harus dibagi per orangnya. Oh iya, transaksi tersebut juga bebas biaya lho!
Kalo teman-teman penasaran dan bertanya-tanya tentang keamanan transaksi non-tunai di Swedia, jawabannya adalah sangat aman. Di Swedia semua transaksi pembayaran membutuhkan verifikasi dengan token digital maupun dalam bentuk aplikasi bernama BankID. BankID memiliki konsep yang mirip dengan token, bedanya BankID tersedia dalam bentuk aplikasi saja. Semua transaksi mobile banking dan SWISH membutuhkan verifikasi melalui BankID. One app to verify all transactions! Verifikasi bisa dilakukan menggunakan PIN atau melalui fingerprint scan untuk pengguna beberapa smartphone.
Setahun di Swedia membuat saya merasakan banyaknya kemudahan sistem non-tunai (cashless). Awalnya memang gak biasa, namun ketika sudah merasakan manfaatnya, ternyata cashless transaction sangatlah memudahkan hidup saya. Semua transaksi dapat tercatat dengan mudah sehingga saya tau pengeluaran setiap waktunya. Harapan saya semoga ketika kembali ke tanah air, sistem non-tunai sudah mulai disosialisasikan dengan baik sebagaimana banyaknya negara-negara maju dimana ‘cashless is king.’ 🙂
Ditulis oleh: Marlodieka - Helsingborg Master of Science in Strategic Communication Lund University - Campus Helsingborg
1 thought on “Belajar Hidup Tanpa Uang di Swedia”