Pada suatu siang saat mengecek email, ada sebuah pesan elektronik yang baru saja tiba di kotak masuk. “Invitation to Kick-Off Day,” kurang lebih demikian kalimat yang tertera di bagian subject. Saya segera membukanya, lalu mendapati sejumlah penjelasan mengenai acara yang akan saya ikuti, lengkap dengan panduan menuju lokasi, serta atur acara dalam file terpisah berformat .pdf di bagian attachment. Usai mengetahui acaranya apa saja dari pukul 08.30 sampai 19.00, satu pertanyaan muncul, “Di mana nantinya saya bisa shalat?”
***
Seperti yang kita ketahui bersama, Swedia bukan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Menurut riset terbaru tahun 2016, populasi muslim di negara kaya inovasi ini sekitar 8%, sedangkan populasi muslim di Indonesia lebih dari 80%. Meski begitu, tidak sulit hidup sebagai mahasiswa muslim di sini. Menantang? Boleh dibilang iya, tetapi selalu ada cara untuk mencari solusi, terlebih lagi masyarakat di Swedia itu bersikap fleksibel dan terbuka (dengan perbedaan) selama segala sesuatunya dikomunikasikan. Jika sebelumnya Suci bercerita tentang beribadah di kampus-kampus di Swedia (Ibadah di Kampus-kampus di Swedia Itu..), Marlo
berkisah tentang cerita lebaran di Swedia (Cerita Lebaran dari Swedia: Di Antara Toleransi dan Keberagaman), dan Satu pernah membahas pertanyaan umum seputar muslim di Swedia dan Stockholm, kali ini saya mencoba berbagi pengalaman mengenai tantangan sebagai muslim di Swedia setelah kurang lebih satu tahun tinggal di sini.
Komunitas Mahasiswa Muslim
Sebelum di Swedia, beberapa tahun sebelumnya saya pernah tinggal selama setahun di Thailand dimana populasi muslim di sana sekitar 10%. Sebagai exchange student saat itu, tidak sulit menemukan komunitas mahasiswa muslim yang biasa juga dikenal dengan istilah muslim club atau muslim association. Bahkan di Bangkok, antar komunitas saling berkunjung dan mengadakan kegiatan bersama. Komunitas yang dimaksud di sini adalah resmi, berada di bawah koordinasi pihak kampus, sehingga saat mengadakan kegiatan juga bisa mendapat support baik pemikiran maupun pendanaan dari pihak kampus. Akan tetapi tidak demikian di Swedia, seperti di Stockholm. Di kampus saya (KTH) saat ini, komunitas mahasiswa muslim hanya tergabung dalam Facebook Group. Segala informasi disampaikan di sana, seperti pemberitahuan shalat Jum’at, tanggal melaksanakan hari-hari besar, dan lain sebagainya. Kita juga bisa bertanya di grup tersebut, seperti tempat-tempat makanan halal, mengajak teman jalan-jalan, dan lain sebagainya. Jadi walau belum pernah resmi ada pertemuan, keberadaan grup ini sudah cukup membantu. Setelah mencari selama tujuh bulan, saya menemukan komunitas mahasiswa muslim di kampus tetangga, yaitu Stockholm University (SU). Saya melibatkan diri dengan berbagai kegiatan di komunitas yang bernama “Muslimska Studenter Stockholm University” atau disingkat MSSU ini. Dan tidak mahasiswa SU saja, komunitas ini terbuka untuk seluruh mahasiswa muslim di Stockholm, seperti KTH dan Karolinska Institute (KI). Saya pun mengenal mereka secara face to face, tidak sebatas berkenalan online.
Salah satu kegiatan yang saya berkesempatan ikut adalah seminar akhir pekan bersama AlMaghrib Institute. Hari libur kuliah pun terisi dengan agenda yang bermanfaat. Di samping itu, pada akhir pekan yang lain kami juga pernah berkegiatan bersama, seperti archery dan lasertag. Dari MSSU ini, saya juga mendapatkan pengetahuan baru yang mungkin takkan diperoleh jika tidak belajar di Swedia, seperti boleh mengusap kaos kaki atau sepatu saja saat berwudhu sehingga tidak perlu melepas sepatu untuk membasuh kaki, hukum makan gelatin yang merupakan bahan menu dessert, dan ilmu-ilmu yang lain.
Bagi sebagian kita, komunitas ini mungkin tidak begitu fundamental. Tapi buat saya, selain lebih membuka wawasan berislam secara universal, bisa memperkaya pengalaman dari berbagai pola pikir dan sudut pandang, meski cukup menantang karena belum tentu ada di semua kampus. Beberapa kampus di Swedia yang punya komunitas ini antara lain Chalmers University of Technology. Dan jika tidak menemukannya di kampus, teman-teman juga bisa mencarinya di masjid seperti komunitas muslim di kota Lund.
Menemukan Tempat Ibadah
Ada kalanya kita mengikuti acara-acara di luar kampus, seperti meeting, pameran, atau workshop, yang di tempat acaranya jauh dari masjid serta tidak ditemukan silent room atau contemplation room. Menyambung awal tulisan ini, pada waktu itu saya kemudian bertanya kepada panitia acara melalui email, yang intinya menjelaskan bahwa pada jam-jam tertentu saya perlu beribadah sehingga butuh informasi adakah ruangan yang bisa digunakan. Esok harinya, saya memperoleh konfirmasi bahwa ada ruangan di hotel yang bisa digunakan.
Ada kalanya memastikan akses beribadah menjadi salah satu tantangan yang harus diselesaikan. Tidak seperti di Indonesia dimana ada susunan acara ishoma (istirahat, sholat, dan makan), di Swedia selain istirahat dan makan, kita harus berinisiatif memastikan tempat beribadah. Jangan sekalipun berasumsi, artinya kita bisa mencari segala informasi yang jadi kebutuhan kita sebagai muslim dengan bertanya langsung kepada panitia acara atau siapa saja yang menjadi person in charge (PIC) di acara yang kita akan atau sedang ikuti.
Berdasarkan pengalaman saya, jika dikomunikasikan dengan baik, segala kebutuhan kita yang berkaitan dengan agama pasti terakomodir. “Take your time, Ahmad, please tell me if you need anything more,” kata panitia acara saat itu usai menunjukkan saya ruangan yang bisa dipakai beribadah. Dan kebutuhan beribadah ini berlaku dalam posisi apapun, termasuk saat berada di lingkungan pekerjaan. Jadi walau menantang, semua baik-baik saja. Selain terbuka dengan perbedaan, masyarakat di Swedia menghormati persamaan yang artinya tidak memandang seseorang dari latar belakang, baik agama, gender, pendidikan, maupun yang lain. Saat menjadi satu-satunya muslim di suatu lingkungan, kita bisa lebih merasakan bahwa toleransi, bukan jadi tanggung jawab umat beragama tertentu saja, tetapi tanggung jawab kita bersama sebagai manusia untuk berperan menciptakan kedamaian.
Di samping menemukan tempat ibadah pada acara tertentu, menemukan lokasi masjid juga jadi tantangan tersendiri. Saat ini di Swedia terdapat kurang lebih 600 masjid. Untuk wilayah Stockholm, ada sekitar 50 masjid dan hanya dua masjid yang khutbah Jum’at-nya diterjemahkan ke Bahasa Inggris, yaitu Khadija Center dan Masjid Aysha. Sebenarnya lokasi masjid mudah dicari dengan Google Maps, namun tidak semuanya bertampak luar seperti masjid. Biasanya masjid-masjid besar saja yang dari luar terlihat sebagai masjid, yaitu dengan kubah. Lokasi masjid pada umumnya cenderung tersembunyi dengan penunjuk papan nama, seperti di lantai dasar (basement), tepian trotoar, dan di dalam pertokoan.
Menyesuaikan Waktu Shalat
Durasi matahari terbit di Swedia akan lebih panjang saat musim panas (summer) dan lebih pendek saat musim dingin (winter). Salah satu dampaknya adalah perbedaan waktu shalat yang cukup signifikan. Sebagai contoh di Stockholm, saat summer matahari bisa terbit pukul 03.25 dan terbenam pukul 22.13, sementara saat winter matahari bisa terbit pukul 08.38 dan terbenam pukul 15.01 waktu setempat. Sungguh Tuhan Maha Besar! Untuk jadwal shalat, misalnya saat summer pada Juni-Agustus, waktu Maghrib dan Isya menjadi hampir tengah malam. Waktu Maghrib bisa jam 9-10 malam dan isya bisa jam 10- 11 malam. Kondisi yang demikian membolehkan keduanya digabung dalam satu waktu, jadi usai 3 rakaat maghrib, shalatnya dilanjutkan 4 rakaat isya tanpa rawatib ba’diyah maghrib. Ketika keduanya tidak jelang tengah malam lagi, pengerjaannya kembali seperti semula. Saya pertama kali mengetahui pola seperti ini ketika melaksanakan shalat berjamaah di Stockholm Central Mosque. Lalu saya pun bertanya kepada teman-teman di MSSU, kenapa digabung seperti itu, kemudian mereka menjelaskan bahwa Islam membolehkannya, atau bahasanya “permissible”. Namun tentu saja, bagi yang ingin mengerjakan secara terpisah, tidak menggabung antara maghrib dan isya dalam satu waktu, juga diperbolehkan. Sedangkan saat winter, jarak antara zhuhur dan ashar bisa kurang dari 60 menit, yaitu pada Desember-Januari. Musim dingin di Swedia termasuk lama durasinya, akan tetapi dua bulan itu saja yang biasanya jeda antara Zhuhur dan Ashar relatif singkat. Waktu zhuhur bisa pukul 11.52 dan waktu ashar bisa pukul 12.46. Salah satu cara menyiasatinya bisa dengan mengerjakan waktu Zhuhur mepet dengan waktu Ashar, sehingga ketika masuk Ashar bisa langsung mengerjakannya. Atau cara lainnya, menunggu di masjid atau silent room setelah selesai zhuhur berjamaah, jadi ketika masuk ashar pun langsung bisa mengerjakannya. Berbeda dengan di Indonesia, tidak ada kumandang suara adzan melalui pengeras suara luar di Swedia. Meski demikian, jadwal shalat bisa diakses melalui aplikasi di smartphone, salah satu yang direkomendasikan adalah Muslim Pro. Jadwal shalat (untuk setahun penuh) juga bisa diketahui dari buku saku, biasanya disediakan di Stockholm Central Mosque dan bebas diperuntukkan siapa saja yang membutuhkan. Jadwal shalat pun juga bisa diperoleh secara bulanan oleh beberapa masjid yang mengeluarkannya. Jadi, ada banyak caranya.
Demikianlah teman-teman, sedikit cerita dari sini yang bisa saya bagikan. Semoga tidak terlalu panjang membacanya ya, semoga juga ada manfaat yang bisa diambil. “Meskipun kita jauh dari rumah dan lingkungan yang dekat dengan Islam, jangan sampai kehilangan prinsip,” pesan seorang teman di sini yang ia sampaikan saat Tahun Baru Islam 1440 Hijriyah lalu. Sebagai pelengkap, jika teman-teman ingin tahu seperti apa bulan Ramadhan tahun lalu di Swedia versi saya, boleh juga membacanya di sini. Tetap semangat, sukses selalu!
Oleh:
Ahmad Satria Budiman – Stockholm
Macromolecular Materials
Master Program – KTH Royal Institute of Technology